Di hari-hari ini, berita yang terdengar adalah beban bank sentral untuk menaikkan suku bunganya. Ben Bernanke sudah bilang, tidak mungkin The Fed terus-terusan menahan tingkat suku bunga mendekati 0%. Akan tiba saatnya suku bunga dinaikkan kembali untuk mencegah inflasi. Di Australia, bank sentralnya sudah menaikkan suku bunga dari 3% menjadi 3,25%.
Satu pemikiran yang diduga melandasi kenaikan suku bunga adalah kekhawatiran munculnya inflasi yang tidak terkendali. Bagaimanapun, sejumlah kucuran dana stimulus sudah masuk ke pasar, walaupun ternyata belum dapat sepenuhnya memulihkan ekonomi. Stimulus memang membantu naiknya pasar modal, tetapi di tempat kerja orang masih mengalami PHK. Order masih tetap sepi, belum seperti sediakala. Masalahnya, ada kapasitas-kapasitas produksi yang tidak terpakai, dan masih belum terlihat kapan akan digunakan.
Ketika orang mengalami PHK, sebenarnya Perusahaan bukan saja memutuskan hubungan dengan seseorang melainkan juga menghilangkan pengalaman dan kebijaksanaan. Penggantian orang tidak bisa menggantikan pengalaman dan kebijaksanaan yang muncul. Kesalahan-kesalahan lama mungkin terulangi lagi, dan kesalahan baru membuat situasi semakin membingungkan. Demikian juga dengan kapasitas yang tidak terpakai: masalahnya adalah kerusakan terjadi pada mesin-mesin yang menganggur, serta hilangnya dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan-peralatan. Ada sparepart yang tidak tersedia, teknisi yang sudah keluar kerja, dan material yang tidak lagi dipasok karena alasan ekonomi. Kalaupun ekonomi mulai pulih, ada masalah di setiap perusahaan dan pemerintah untuk memulihkan kapasitas manusia dan peralatan ke kondisi semula.
Secara keseluruhan, tingkat pengangguran di Amerika Serikat masih tetap tinggi – bahkan diperkirakan semakin besar sampai tahun 2010. Dalam harian Kompas 15 Oktober 2009, ada artikel berjudul "Pemulihan Masih Alot – Paul Krugman Berpesan soal Strategi Kebijakan Ekonomi." Pesannya: dalam keadaan seperti ini, diperlukan waktu bertahun-tahun hingga tingkat pengangguran di perekonomian negara-negara maju turun ke level lebih masuk akal. Kebijakan yang tidak standar harus tetap dipertahankan dalam periode yang lebih lama. Artinya, bank-bank sentral harus terus menjaga agar tingkat suku bunga tetap mendekati nol persen.
Pesan bagus dari Krugman, tapi jelaslah bahwa para pengelola bank sentral tidak sepakat. Kalau tingkat suku bunga mendekati nol, maka dana-dana berlimpah tidak terserap di dalam ekonomi yang tingkat pertumbuhannya rendah. Ada banyak yang pegang uang, artinya demand tinggi, tapi tidak ada penyedia, artinya supply rendah, yang berarti harga naik, naik, dan naik. Makin banyak orang tidak bisa membeli, artinya mereka juga tidak bisa menjual. Produksi domestik menurun – tidak bagus karena masih resesi. Logika sederhana ini membuat perekonomian Amerika menjadi tidak menarik dalam jangka panjang – dan kita lihat bahwa dolar Amerika terus melemah.
Jadi, tentunya dibutuhkan upaya untuk mengerem inflasi, yaitu dengan menaikkan suku bunga. Langkah ini juga bertujuan menyerap kembali uang yang semula dikucurkan dalam stimulus. Tapi, apa yang bisa terjadi? Kalau suku bunga dinaikkan, maka bunga kredit membesar kembali di tengah kondisi sukar. Mereka yang tadinya bernafas agak lega dengan tingkat bunga yang rendah, sekarang harus bekerja lebih keras lagi. Beberapa mungkin tidak sanggup lagi, sehingga ada resiko terjadi depresi.
Jadi, suku bunga dinaikkan atau tidak dinaikkan, resiko tetap ada di sana. Hanya sekarang, mana resiko yang lebih mungkin terjadi dan lebih berat akibatnya?
Bagaimana dengan Indonesia? Yang pertama, kondisi ekonomi yang lemah di Barat membuat banyak dana masuk Indonesia, menjadi aliran hot money yang mengangkat berbagai bursa Asia, termasuk Bursa Efek Indonesia, secara signifikan. Bukankah banyak ulasan analis, seperti dari Goldman Sachs yang menunjukkan bahwa pertumbuhan global akan ditarik oleh pertumbuhan Asia? Yang kedua, melemahnya dolar Amerika membuat hutang luar negeri lebih mudah dibayar dan impor lebih murah diperoleh. Masih ada pengamat yang justru merasa bahwa harusnya Rupiah bisa menjadi lebih kuat lagi, toh saat ini ekspor Indonesia ke Amerika dan Eropa telah menurun drastis.
Jadi di dalam negeri orang lebih terfokus dengan dua isu besar. Yang pertama adalah penyusunan pemerintahan yang baru akan diumumkan pada tanggal 21 Oktober mendatang, dan yang kedua adalah langkah-langkah memberantas korupsi di Indonesia, yang menjadi sorotan setelah pemimpin KPK justru dimejahijaukan dengan cara yang aneh sekali. Pemerintah baru Indonesia harus menghadapi tantangan global yang besar, sekaligus perlu membersihkan dalam negeri dari penyakit korupsi yang sekarang ini sudah mengakar-berurat di mana-mana.
Tetapi memikirkan bahwa Indonesia terlepas dari situasi global adalah pemikiran yang tidak tepat. Kalau ekonomi global mengalami depresi, aliran modal akan terhenti, mungkin berbalik keluar kembali untuk menutupi kerugian di negara asal dana. Seandainya mereka berinvestasi sejak awal 2009, bukankan sekarang ini keuntungan dari bursa saham sudah lebih dari 80%? Sebaliknya, Indonesia juga akan kesulitan untuk mengekspor hasil produksinya, sementara pasar dalam negeri belum sanggup menyerap produksi atau komoditas yang ada.
Repotnya, kita sekarang menemukan banyak orang masih berpikir pragmatis dan sektarian, apalagi dengan keramaian politik seperti munas Golkar yang baru lalu. Tidak banyak yang sungguh-sungguh memikirkan untuk bersama-sama memperkuat perekonomian Indonesia, menghilangkan ekonomi berbiaya tinggi, dan meningkatkan produktivitas dan pasar dalam negeri. Orang Indonesia sebenarnya perlu bersikap lebih bijaksana dan percaya diri, menggunakan produk dan jasa dari perusahaan swasta nasional – cintailah produk dalam negeri!
Di sisi masyarakat juga ada kebutuhan, suatu keharusan, untuk lebih baik mengelola keuangan, membuat perencanaan finansial yang benar. Masa depan adalah masa yang tidak terduga dan dihantui banyak masalah. Perencanaan keuangan yang baik, perlindungan finansial yang memadai, dan investasi yang tepat akan menolong setiap keluarga untuk mempunyai masa depan yang lebih baik. Ini menjadi tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan – maksudnya, apapun pilihan orang saat ini dalam bersikap, masalah ekonomi yang muncul kelak tidak dapat dihindari hanya dengan kata-kata.
Sekarang ini, situasinya adalah "Crisis On Hold" – krisis sedang ditangguhkan. Apakah krisis benar-benar berlalu? Atau justru sebaliknya, terjangan krisis berikutnya justru lebih keras dan hebat? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pasti. Karena ada banyak faktor di luar sana yang tidak pasti, maka buatlah agar diri kita mempunyai sejumlah kepastian sekarang, selagi masih ada kelegaan dan kebebasan untuk bersikap. Mungkin saja, kesempatan ini suatu saat akan berakhir…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar