Cari Blog Ini

27 Desember 2009

Christmas, The Epilogue

Jelaslah ada yang berkeluh kesah menjelang Natal tahun 2009 ini. Dalam pemantauan singkat, tampak bahwa toko-toko tidak seramai dahulu dikunjungi orang yang berbelanja keperluan Natal. Sepertinya pengunjung tidak terlalu bergairah membeli pohon natal, entah yang plastik atau yang asli, demikian juga dengan segala hiasannya. Tapi bukan itu saja: yang jual baju, mainan anak-anak, sepeda, buku-buku, atau barangkali komputer baru – semua juga tidak mendapatkan peningkatan yang jauh berbeda. Memang masih ada peningkatan jumlah yang berbelanja, tapi hanya peningkatan sedikit, jauh berbeda dari harapan para produsen dan penjual.

Bukan hanya di toko. Dalam gereja-gereja pun, tidak semua bersorak-sorai dalam sukacita Natal. Beberapa topik yang diangkat adalah bahwa "Natal menjadi Harapan Umat-Nya" dan juga "Tidak Ada Yang Mustahil Bagi Allah" serta "Setialah Melakukan Pelayanan, Sebagaimana Allah telah memberikan Anak-Nya". Ini topik-topik yang menarik, sampai kita melihat bahwa ada benang merah di sana: suatu seruan, bahkan suatu jeritan manusia kepada TUHAN karena hidup sekarang ini terasa sulit.

Jadi, Natal kali ini digunakan untuk mengingat bahwa TUHAN sudah memberikan Anak-Nya ke dalam dunia, dan karena itu seharusnya orang juga tidak perlu terlalu memikirkan kesulitan karena Dia pasti akan buka jalan. Masalahnya, jalan yang diharapkan terbuka secara ajaib itu tidak serta merta terbuka, apalagi dengan jelas dan mudah dapat dilalui oleh anak-anak Allah. Karena itu, siapa yang dapat tetap merasakan keajaiban Natal dengan segala kemeriahan dan hadiah-hadiah yang menyenangkan?

Akhirnya, komentar yang terdengar adalah, "eh, sekarang ini natalannya beda ya? Kok tidak terasa seperti natalan…" Yah, tidak terlalu jelas memang, apalagi sekarang ini nampaknya pemberitaan tentang Yusuf dan Maria dan bayi Yesus, dengan para gembala di padang, dengan orang-orang Majus, semua ini begitu 'rutin' dan biasa dan membosankan. Natal sekarang ini dipenuhi oleh berbagai cerita-cerita yang lebih kontemporer, mengisahkan kehidupan orang jaman sekarang, entah di kota atau di kampung. Dibutuhkan keahlian kotbah untuk menghubungkan cerita drama dan isi lagu dengan kisah kelahirang Yesus serta maknanya – itupun kalau masih ada kesesuaian makna. Dalam beberapa kesempatan, bahkan tidak terasa ada hubungan sama sekali.

Tidak ada bedanya menjelaskan tentang harapan yang diberikan TUHAN, antara hari-hari biasa dengan hari-hari Natal. Masalahnya, kita juga sudah semakin terbiasa dengan perayaan Natal yang tanpa kelahiran Yesus. Lihat saja di mall, atau di televisi, atau di rumah. Semua yang dipasang adalah tradisi: pohon Natal dan hiasannya, Santa Claus (atau Sinterklaas?) dan hadiah-hadiahnya, lengkap dengan Rudolf The Red Nose Reindeer, rusa-rusa kutub yang lucu. Orang bisa menyanyikan lagu Natal dan memasang sosok dengan baju merah itu, asal jangan menyebut Yesus atau Anak Dara Maria yang melahirkan-Nya. Apalagi kemudian membahas makna Natal dari kelahiran itu… Bosan, katanya.

Jujur sajalah, siapa yang mulai bosan mendengarkan lagu "Malam Kudus"? Bagaimana tidak bosan, lagu ini diputar di televisi, di radio, di mall – sepanjang pertokoan yang diberi sound system itu, terdengar melodi malam kudus sementara orang-orang melakukan hal-hal yang tidak kudus. Kalau dipikir-pikir, siapa yang memahami makna dari kata-kata lagu malam kudus, yang dianggap membosankan?

Malam kudus / sunyi senyap / bintang-Mu gemerlap / Juruselamat manusia / ada datang di dunia / Kristus Anak Daud / Kristus Anak Daud

Ayo siapa yang belum hafal lagu ini? Lebih penting lagi, siapa yang mengerti apa yang sedang dinyatakan oleh lagu ini? Kadang-kadang, orang menyanyikannya dengan merdu sekali, kemudian ternyata yang menyanyi itu sama sekali belum percaya kepada Kristus. Dan kalau lagu ini dimainkan di tempat umum, maka syairnya yang terdengar adalah dalam versi bahasa Inggris. Ini lebih-lebih lagi sukar untuk dipahami, jadi orang pada akhirnya memang hanya menikmati melodinya saja sebagai tanda dari Natal.

Menyedihkan ya, tanda dari Natal bukannya Tuhan Yesus, tetapi sebuah lagu. Yang membuat melodi lagu ini adalah Franz Xavier Gruber, dibuat agar terburu-buru karena waktu itu alat musik organ gereja rusak, sehingga musik pengiringnya hanya sebuah gitar. Kata-katanya sendiri adalah sebuah puisi yang dibuat Joseph Mohr tahun 1816. Tidak banyak yang masih menyimpan kata-kata lagu ini – tetapi sudah menjadi kesepakatan dunia bahwa lagu Silent Night diputar hanya di waktu Natal, melengkapi Christmas Tree dan Santa Claus.

Bagi orang bisnis, selama bertahun-tahun Natal adalah ajang penjualan yang ramai, tetapi sejak 2008 lalu krisis global telah membangkrutkan banyak orang dan usaha. Jadi, apalagi makna dari Natal? Seandainya saja di Indonesia orang kapok berbisnis menjelang Natal, sebaliknya hanya mempersiapkan stok dan diskon toko untuk hari raya Lebaran – barangkali, suatu waktu kelak Natal akan dilupakan. Atau hanya sedikit saja dirayakan, seperti perayaan Paskah yang juga tidak begitu meriah atau dipikirkan orang.

Bagi para aktivis gereja, Natal adalah waktu sibuk, yang tidak selalu mendatangkan sukacita. Seperti biasa, persiapan Natal berarti rapat dan rencana dan kadang konflik, yang ini tersinggung dan yang itu merasa terpinggirkan. Yang punya ide tapi tidak diterima idenya, menjadi tawar hati. Ada juga yang berusaha menikmati Natal dengan berkata kepada diri sendiri, "ini kan untuk melayani TUHAN, harus beri pengorbanan sebagai persembahan…" Tapi, kalau boleh memilih tanpa tekanan atau desakan, mungkin memilih untuk tidak melakukan apa-apa di Natal kali ini, karena sekarang pun masih pusing dengan pekerjaan dan usahanya.

Bagi para hamba Tuhan…nah, ini sukar untuk dikatakan. Beberapa hamba Tuhan dan Pendeta merasa perlu menaikkan semangat jemaat, beberapa yang lain memotivasi jemaat untuk memberi lebih banyak kontribusi, tapi barangkali tidak banyak yang masih terpesona dengan keajaiban kelahiran Yesus serta terdorong untuk mengabarkannya kepada jemaat. Soalnya, mereka yang menjadi hamba Tuhan kebanyakan sudah belajar Teologia, tepatnya belajar Kristologi, yang antara lain 'membedah' peristiwa kelahiran Yesus dari Anak Dara Maria itu melalui berbagai pandangan dan tafsiran. Belajar banyak memang penting, tapi mungkin orang dapat kehilangan 'rasa terpesona' atas kejadian itu.

Apalagi, kalau sudah mengkotbahkan Natal berkali-kali… puluhan kali… mungkin ratusan kali, karena setiap ada Natal, seorang Pendeta bisa kotbah berkali-kali selama satu bulan penuh. Masihkah Natal menjadi hal yang mempesona, yang menakjubkan, setelah hal-hal yang sama dibahas selama bertahun-tahun? Masihkah ia berkotbah dengan penuh kekaguman, atas kelahiran Juruselamat manusia yang ajaib?

Lantas, bagaimana dengan aspek-aspek kekristenan lainnya? Bagaimana dengan Paskah? Bagaimana dengan Kenaikan Tuhan Yesus? Bagaimana dengan hari raya Pentakosta? Orang mengingat Natal dari lagunya, dan Paskah dari telur-telurnya, namun tidak banyak tanda dari kenaikan Yesus. Tentang Pentakosta, beberapa orang dari gereja yang merasa diri bukan gereja Pentakosta, merasa hanya perlu membahas peristiwa hari itu secukupnya saja.

Kalau begitu, apa artinya kekristenan? Apa makna dari segala perayaan religius itu, bagi orang-orang Kristen modern? Beberapa melakukannya karena merasa harus melakukannya, lainnya karena jadwal gereja sudah diatur sedemikian rupa, lainnya merasa harusnya kekristenan juga punya hari-hari khusus sebagaimana semua agama lain di dunia. Tetapi, apa yang membuat semua perayaan-perayaan itu mempunyai suatu arti, suatu makna, sehingga penting untuk dirayakan?

Bisakah orang Kristen hidup dalam iman, jika tidak merayakan Natal? Masihkah ada eksekutif Kristen yang sekarang sedang berada di tengah proyek penting, sehingga tidak bisa merayakan Natal? Dan apa katanya? "Oh, ya Natal kali ini absen dululah. Proyek ini tidak bisa ditinggalkan…" Tetapi, bukan saja ia tidak ikut merayakan Natal di gereja, ia juga tidak memikirkan apapun tentang Natal. Ada atau tidak ada Natal, sama saja. Lebih banyak lagi yang sibuk di waktu Paskah (itu karena biasanya hari Natal berkaitan dengan liburan akhir tahun). Lebih banyak lagi yang tidak memperhatikan hari Kenaikan Tuhan Yesus (baca di kalender: Kenaikan Isa Almasih), selain dari tanggal merah untuk berlibur dan melakukan sesuatu yang menyenangkan, sesaat lepas dari tekanan pekerjaan.

Ketika hari-hari perayaan Natal berlalu, apa yang tersisa menunjukkan bagaimana makna Natal itu dipahami. Pemahaman ini bukan sekedar satu potongan yang disebut 'Natal' saja, melainkan suatu keyakinan iman yang bulat tentang karya penyelamatan Allah atas manusia. Jika kita memikirkannya dengan benar, bagaimana mungkin kita dapat berhenti dari kekaguman dan ketakjuban atas segala Rancangan TUHAN? Seumur hidupnya, Daud terpesona dengan Allah. Bagi kita sekarang, Anak Daud adalah Tuhan yang mengagumkan – yang tidak pernah berhenti menjadi sumber inspirasi, menjadi pusat puja puji dan penyembahan.

Kehidupan modern tidak lebih hebat atau lebih tinggi daripada kehidupan masa lampau, atau kehidupan manapun dalam sejarah manusia. Tidak ada apapun dalam hidup manusia yang lebih tinggi atau lebih mulia daripada TUHAN, Allah semesta alam. Jika kita belajar untuk mengenal Tuhan lebih mendalam, lebih berakar dalam Kristus, sesungguhnya hari Natal dari tahun ke tahun menjadi semakin menakjubkan. Semakin dipikirkan, semakin diketahui detil-detilnya, menjadi semakin hebat untuk diberitakan dengan sukacita. Hal ini begitu mulia, sehingga di dalam dunia ini tidak ada apapun yang dapat menyamainya; bagaimana TUHAN mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia untuk menyelamatkannya!

Semoga, setelah Natal ini berlalu, hati kita menjadi semakin penuh terisi oleh kasih kepada Tuhan. Terpujilah TUHAN!

Tidak ada komentar: