Cari Blog Ini

08 November 2007

Value Add

Apa yang orang pikirkan tentang 'memberi nilai tambah'? Biasanya, pertanyaan langsung adalah: "saya dapat apa?" Masalahnya, banyak orang berpikir sesuai dengan apa yang disebut 'maksud ekonomi' yaitu "dengan sumber sesedikit mungkin mendapatkan sebanyak mungkin." Ini, saya dapatkan dulu sekali, waktu di SMA. Betulkah?

Saya ingin memulai dengan teori ekonomi klasik, tentang pasar dan pekerjaan. Teorinya, selama tidak ada intervensi, masyarakat selalu bisa mendapatkan keadaan seimbang di mana setiap orang mendapatkan pekerjaan penuh. Bagaimana kalau ada pengangguran? Jika banyak orang menganggur, maka persaingan untuk pekerjaan akan menjadi tinggi. Karena itu, gaji dapat ditawarkan lebih rendah. Dengan rendahnya gaji, maka lebih banyak usaha yang bisa dibangun, sehingga membuka lebih banyak lowongan kerja. Akhirnya, yang tadinya menganggur bisa bekerja semua. Kalau masih ada yang menganggur, itu karena dia memilih untuk tetap menganggur (voluntary unemployment).

Teori klasik juga menunjukkan keseimbangan yang lain, seperti misalnya keseimbangan antara tabungan dengan investasi. Begini: kalau investasi naik, maka akan timbul kebutuhan lebih akan uang. Muncul ketertarikan alias interests akan uang, yaitu bunga yang diberikan kepada orang yang mau menabungkan uangnya. Akibatnya, bunga tabungan semakin tinggi dan investasi jadi tidak terlalu menarik, karena pasar masuk ke keseimbangan antara tabungan dan investasi.

Semua keseimbangan ini secara klasik dirumuskan oleh hukum Says, dibuat oleh Jean Baptiste Says, yang mengatakan bahwa setiap supply akan menciptakan permintaannya sendiri. Keseimbangan penawaran dan permintaan membuat selalu ada pekerjaan, selalu ada proses... itu kan teori klasik. Tidak salah ketika teori ini dirumuskan, di saat ekonomi di seluruh dunia bergairah karena modernisasi dan industrialisasi. Tapi sekarang?

Seorang ahli ekonomi bernama Keynes protes keras. Salah itu! Begitu katanya. Pengangguran dapat selalu terjadi di setiap tingkat gaji dan jumlah pekerjaan. Karena itu dibutuhkan Pemerintah yang secara aktif mengendalikan permintaan. Permintaan aktif paling banyak datangnya dari Perusahaan, waktu Pemerintah membelanjakan dana untuk barang dan jasa, ekonomi negara akan bangkit. Kalau Pemerintah tidak ikut campur, ekonomi tidak maju dan pengangguran tetap ada walaupun gaji menjadi turun.

Oh ya, urusan gaji turun inilah yang jadi pokok kesalahan teori klasik menurut Keynes. Sebab, mana ada orang yang mau gajinya turun? Jadi, walaupun tingkat pengangguran tinggi, gaji tidak akan turun. Mana ada perusahaan yang siap didemo oleh karyawannya sendiri, kecuali perusahaan itu sudah morat marit mau bangkrut? Singkat kata, tingkat pengangguran tidak akan turun karena pasar bebas. Lagipula orang akan terdorong untuk lebih banyak menabung ketika menghadapi keadaan sukar, karena perlu berjaga-jaga atas pengeluaran di masa depan. Akibatnya, orang lebih sedikit berbelanja, membatasi hanya barang-barang yang benar-benar perlu. Tingkat penjualan akan menjadi semakin turun, bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan bisa terus berekspansi dan menyerap tenaga kerja?

Lain halnya kalau banyak orang yang mau berbelanja, secara keseluruhan (agregat) ada peningkatan transaksi. Karena barang-barang menjadi laku, perusahaan bisa berekspansi lebih banyak. Dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja, yang berarti lebih banyak orang menerima gaji, dan kembali lagi mendatangkan lebih banyak lagi penjualan. Prosesnya akan lebih cepat kalau orang tidak banyak menabungkan uangnya, sebab seandainya mereka terus menabung, dana ekstra yang diperoleh segera menghilang dan tidak sempat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Apakah teori-teori ini benar? Asumsi bahwa perusahaan selalu membesarkan usaha ketika omzet bertambah adalah hal yang tidak selalu terjadi. Ketika perusahaan dikelola dengan buruk, peningkatan omzet membuat lebih banyak inefisiensi terjadi, termasuk yang timbul dari korupsi dan pencurian oleh karyawan sendiri. Akibatnya, walaupun omzet perusahaan naik, laba bersihnya tidak bertambah. Keberadaan pungutan liar, pungutan, retribusi, dan berbagai macam pajak juga dapat mengakibatkan kesulitan berusaha. Bahkan ketika sebuah perusahaan mau berinvestasi, hambatan yang timbul dapat membatalkan ekspansi. Globalisasi telah membuat jalan yang bagus untuk membangun industri di negara lain, membawa keluar dana yang semula akan digunakan untuk memperluas usaha di Indonesia.

Orang akhirnya kembali ke teori klasik, dengan sebuah rumusan teori yang disebut "The Quantity Theory of Money" Rumus dari teori ini adalah:

MV = PT

M = Jumlah uang beredar

V= Kecepatan perputaran uang

P = Harga

T = Jumlah transaksi yang terjadi

Jika jumlah uang beredar bertambah, maka harga secara keseluruhan akan naik, suatu inflasi. Orang jaman sekarang sudah lebih pandai, kita tahu bahwa inflasi dapat terjadi karena perubahan nyata atau atas sesuatu sebab lain yang lebih bersifat keyakinan, seperti ketika orang yakin bahwa permintaan akan melonjak di bulan puasa dan telah lebih dahulu menaikkan harga. Waktu Pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri 10%, para pedagang sudah lebih dahulu menaikkan harga dagangannya 10%! Demikian juga halnya bila ada pertambahan uang yang beredar. Orang membuat relasi dalam persamaan ini menjadi:

^ M -> P ^

Perhatikanlah: baik jumlah uang beredar (M) maupun harga (P) adalah bilangan yang ditetapkan orang. Di mana usaha yang sebenarnya dapat kita lihat? Lihatlah V dan T! Ini adalah speedometer dari produktivitas sebuah negara, menunjukkan seberapa produktif bangsa dan negara itu adanya. Seberapa produktif kita adanya. Kuncinya adalah nilai tambah, karena ketika rakyat memberikan lebih banyak nilai tambah, maka akan terjadi lebih banyak transaksi serta perputaran uang lebih cepat. Sebaliknya dari berfokus pada jumlah uang beredar dan kenaikan harga, fokusnya adalah bagaimana membuat bisnis yang lebih sehat, transaksi yang lebih sering terjadi.

Ketika fokus terpusat pada V dan T, maka campur tangan Pemerintah menjadi irrelevan, karena Pemerintah tidak dapat secara langsung membuat perputaran lebih cepat atau transaksi lebih sering. Tidak mungkin memaksa orang melakukan jual beli lebih sering. Yang mungkin adalah memberikan insentif-insentif, misalnya insentif pajak, tetapi itu pun terbatas. Cara lain secara tidak langsung adalah dengan meningkatkan pendidikan bagi masyarakat, yang membuat penduduk lebih pandai memberikan nilai tambah, menciptakan permintaan-permintaan baru, dan meningkatkan pasar karena lebih banyak orang yang sejahtera.

Apakah pendidikan kita menuju ke arah sana? Pendidikan kita masih bicara tentang mendapatkan nilai tertentu, bukan memberi nilai tambah atau menciptakan nilai tambah. Ketika orang berpikir, "saya dapat apa?" ia tidak berpikir, "saya memberikan apa?" Di situlah masalahnya: ketika semua meminta, siapa yang akan memberi?

Andakah?

Powered by Qumana

Tidak ada komentar: