Cari Blog Ini

10 November 2007

Globalisasi

Liberalisasi ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keadaan masyarakat dunia saat ini. Kalau dipikirkan, sebenarnya semua teori ekonomi adalah benar pada jamannya; teori klasik benar di saat mulainya jaman modern, dan Keynes benar saat dinyatakan pertama kali di paruh pertama abad ke-20. Tapi masyarakat berubah sesuai dengan cara orang berkomunikasi satu sama lain, di mana kemajuan terbesar dimulai dengan terhubungnya saluran telegraf yang dibuat oleh Bell.


Sejak waktu itu, kita melihat keterkaitan erat antara ekonomi dengan teknologi. Setiap kali sebuah temuan teknologi hadir, ekonomi didorong lebih cepat. Komunikasi pertama-tama terjadi antara orang dengan orang; pesan atau berita yang tadinya butuh waktu berminggu-minggu, kini bisa diterima dalam hitungan hari. Telepon merevolusi hubungan antar manusia sehingga orang di satu belahan dunia bisa secara langsung bicara dengan orang di belahan dunia lain. Peningkatan ekonomi yang tercipta adalah peningkatan eksponensial; globalisasi dimulai dengan terpasangnya kabel-kabel telekomunikasi bawah laut antar benua dan diluncurkannya satelit-satelit di orbit geostasioner mengelilingi bumi.


Itu baru permulaannya. Hubungan antar orang memang membuka banyak peluang, tetapi yang lebih perlu sebenarnya adalah komunikasi data. Di mulai dari proyek militer seperti ARPA, kini komunikasi terjadi antara komputer dengan komputer. Data dalam jumlah besar dapat dipindahkan dalam waktu nyata / real-time dan manusia dapat terhubung secara virtual. Saya dengan Anda dapat hadir dalam sebuah "ruang" yang sama tanpa harus secara fisik berada di sana. Ini meningkatkan ekonomi ke skala globalisasi, ketika Perusahan-Perusahaan memanfaatkan teknologi dan membangun basis-basis manufakturnya di lokasi-lokasi yang berbeda di seluruh dunia.


Kalau sudah begini, teori ekonomi apa yang masih berlaku? Sekarang produk dari Cina dipasarkan di lima benua. Hasil keringat tenaga kerja di Brazil dinikmati di Indonesia. Harga-harga kini ditentukan bukan dalam kondisi lokal, melainkan global. Itu bisa berarti harga yang semakin mahal, atau lebih mungkin lagi, harga yang jauh lebih murah karena ongkos produksi yang dapat ditekan. Perbedaan kemampuan antar negara juga menjadi sumber keuntungan Perusahaan; mereka memproduksi di negara yang mata uangnya lemah, untuk dipasarkan di negara yang mata uangnya tinggi. Pemerintah tidak lagi hanya perlu memperhatikan pasar tenaga kerja dalam negeri, tetapi juga harus berkompetisi dengan tenaga kerja di negara lain. Belanja Pemerintah tidak lagi menjadi pendorong terbesar, karena sekarang dana-dana swasta telah menyamai, atau bahkan melebihi, dana pemerintah.


Malangnya, negara seperti Indonesia terlalu lambat mendidik rakyatnya untuk berpartisipasi. Dalam globalisasi, suatu "nilai tambah" yang diberikan harus memenuhi standar-standar tertentu; kalau tidak maka nilai tambahnya itu tidak signifikan, tidak berarti. Misalnya saja, orang membuat sesuatu jasa, atau sebuah produk. Yang dihasilkan itu bagus, menarik, amat bernilai secara lokal. Tetapi tidak ada penjelasan dalam bahasa lain, tidak ada keterangan dalam bahasa Inggris dan Mandarin -- maka produk yang bagus itu tidak bernilai saat dibawa keluar, karena tidak komunikatif. Kita saat ini memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengharuskan setiap produk yang dijual di Indonesia mempunyai keterangan dalam Bahasa Indonesia. Tapi yang lebih penting sebenarnya: apakah setiap produk yang dibuat juga mempunyai keterangan dalam bahasa asing sesuai negara tujuan pemasaran?


Sekarang kita membeli produk buatan Malaysia, Thailand, dan Cina, yang dipajang di rak-rak toko raksasa yang merupakan jaringan raksasa global seperti Carrefour, Giant, atau Wal-Mart. Konsultan AC Nielsen mengatakan, saat ini lebih baik para peritel tradisional di Indonesia bergabung dengan jaringan retail seperti Alfamart, Indomaret, atau -mart lain untuk mendapatkan produk yang lebih kompetitif dengan harga lebih rendah. Ekonomi sekarang tidak lagi dapat dijabarkan dalam keputusan-keputusan individu, karena kekuatannya ada pada kelompok. Untuk berhasil, orang harus berkelompok, bekerja sama.


Kalau begitu, kenapa tidak dimulai segera? Untuk bekerja sama, pertama-tama orang harus berada di satu 'ruang' yang sama. Ini seperti mendayung perahu naga: orang harus mau duduk berderet-deret, memegang dayung dengan cara tertentu, dan mengayuh berdasarkan satu irama gendang. Orang tidak dapat mengayuh sendiri, atau tidak mengikuti irama, bahkan ketika irama itu salah. Konon, kecepatan sebuah perahu naga tidak tergantung kepada pengayuhnya, melainkan pada penabuh gendangnya. Jika iramanya terlalu cepat, para pengayuh akan segera kehabisan tenaga dan gagal mengikuti ritme. Jika iramanya terlalu lambat, perahu naganya akan ketinggalan. Itu sebuah perahu, dengan aktivitas fisik yang jelas dan nyata. Bagaimana dengan kegiatan ekonomi?


Nilai tambah yang diberikan harus mengikuti 'ritme' dari kelompoknya. Jika yang dilakukan adalah korupsi, maka setiap orang di kelompok itu harus berkorupsi. Jika yang dilakukan adalah kerja keras sampai malam, maka setiap orang di kelompok itu harus rela kerja keras sampai malam. Pertanyaannya: kita sekarang ini berada di kelompok apa, mengikuti ritme apa? Ada filosofi yang berbeda, motivasi yang berbeda, visi dan misi yang berbeda. Di Indonesia, banyak yang visi dan misinya berbunyi, "menjadi yang terbaik," dalam pengertian "yang paling banyak mendapatkan segalanya." Orang yang bekerja di Pemerintahan pun berlomba-lomba mendapatkan bagian terbesar, bahkan ketika mereka diharapkan berdedikasi untuk melayani dan memberikan segalanya. Ujung-ujungnya adalah nilai tambah apa --atau nilai kurang apa-- yang diberikan oleh  kelompok, entah di Pemerintahan atau di Swasta masyarakat. Globalisasi bercerita tentang nilai tambah yang diberikan suatu kelompok, yang juga mengurangi nilai tambah kelompok lain.


Di sisi individu, pikiran dan filosofi global ini memaksa orang untuk bersikap kompromistis, bahkan menjaga dirinya untuk selalu "politically correct". Perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan menjadi tidak relevan dibicarakan, malah dikatakan seharusnya tidak lagi ada pembedaan. Bahkan pemikiran modern yang mengutamakan rasionalisme pun tidak lagi mendapat tempat, karena dalam komunikasi dan hubungan antar manusia yang lebih berperan adalah emosi perasaan, di mana ada asumsi-asumsi berbeda tentang segala sesuatu. Pernahkah melihat iklan bank HSBC yang menunjukkan nilai-nilai lokal yang saling berbeda makna untuk satu hal yang sama? Di sini 'rasa kemanusiaan' lebih penting daripada penjelasan "rasional", karena perasaan itu bersifat universal sementara rasio tergantung pada asumsi lokal. Dalam dagang, misalnya, semua orang di segala belahan dunia menginginkan perdagangan yang rasanya "adil" dan "jujur", walau tentu ada perbedaan penafsiran dalam hal apa yang bisa disebut "adil" dan "jujur" itu.


Tak heran, pandangan yang muncul adalah yang menguniversalkan "perasaan manusia" sementara menolak semua standar yang mengklaim diri universal. Dalam pengertian ini, tidak ada lagi hal yang absolut, karena semuanya dilihat dalam konteks komunikasi budaya, semua adalah teks yang bisa didekonstruksi berdasarkan suatu budaya, yang berbeda dengan budaya lain. Globalisasi bergerak di dalam kabel-kabel saluran komunikasi, di mana semuanya, termasuk filosofi dan standar nilai, akan diterjemahkan sesuai nilai tambah dari kelompok. Kita mengenalnya dengan istilah "post modern" dan berusaha melokalisirnya sebagai salah satu moda berfilosofi dan berteologi, tapi sekarang ini saya yakin bahwa kaitannya jauh lebih luas.


Apakah kalau begitu, maka kita harus tunduk pada nilai kelompok, dalam bekerja, dan setuju atau tidak akhirnya mengikuti filosofi post modern, betapapun diri kita mungkin tidak setuju (atau malah tidak mengerti) filosofi ini?


Saya sudah melihat, bahwa orang Kristen pun dalam kehidupannya di pekerjaan tunduk pada nilai kelompok, betapa pun ia berusaha mengkompensasi dengan aktivitas gereja yang lebih giat. Jadinya orang seperti mempunyai standar ganda: ketika di pekerjaan ia mengikuti apa yang 'biasa' seperti memanipulasi data, menyuap pejabat, memakai bahan yang kualitas lebih rendah, dan menekan para buruh dengan keras (baca: kejam). Ketika di gereja ia menjadi majelis, menjadi penyumbang besar, dan orang datang padanya untuk meminta nasehat. Dualisme sikap ini sudah merupakan wujud dari post-modern, karena pada hakekatnya orang ini tidak menerima kemutlakan suatu nilai; ia bisa memakai nilai yang satu dan menggantinya dengan yang bertolak belakang!


Bagaimana dengan nilai-nilai kita sendiri? 


Powered by Qumana


Tidak ada komentar: