Dalam beberapa hari terakhir ini, saya berkali-kali menerima telepon dari teman dan nasabah yang bertanya, "sebaiknya saya bagaimana, Pak?"
Kepanikan memang tidak bisa dicegah, apalagi kemudian terjadi peristiwa yang mencemaskan di seluruh dunia. Bisa dibilang, ini adalah gelombang ketiga dari krisis ekonomi yang terjadi selama ini, yang merembet mulai dari surat hutang yang buruk, hingga menjatuhkan ekonomi global.
Gelombang ketiga terjadi akibat gelombang kedua ketika negara-negara berkembang mengalami kekacauan ekonomi akibat dua hal. Yang pertama, mereka kehilangan negara pembeli yang potensial. Yang kedua, di antara negara berkembang sendiri ada Brasil, Rusia, India, dan Cina yang selama ini pertumbuhan industrinya luar biasa, menghasilkan produk dalam jumlah luar biasa, yang segera mengalir mencari pasar-pasar yang masih bisa dimasuki. Kita patut memuji langkah Pemerintah yang segera mengetatkan impor, walaupun tidak bisa apa-apa kalau ternyata barang diselundupkan melalui perairan Indonesia yang luas dan banyak tidak terjaga ini :(
Negara-negara berkembang yang baru muncul (emerging markets) banyak mendapatkan sumber finansial dari negara-negara maju. Sekali lagi, rakyat Indonesia perlu bersyukur karena posisi kita saat ini sudah jauh lebih baik, tidak berhutang, dan tidak lagi disokong IMF. Tetapi banyak negara, terutama di Eropa Timur, yang bertumbuh karena hutang dari negara-negara di Eropa Barat. Sekarang, mereka mengalami gelombang kejut kedua dan kehilangan pasar Eropa dan Amerika, padahal negara Eropa Timur belum cukup lama berkembang untuk bisa menabung cukup banyak. Tabungan yang ada segera habis, dan negara-negara ini mengalami krisis moneter besar yang menjatuhkan mata uang mereka.
Perlu dipahami, yang disebut 'uang' jaman sekarang sebenarnya adalah surat utang yang dikeluarkan bank sentral, yang nilainya dijamin oleh kekuatan ekonomi negara itu -- beda dengan jaman dahulu, dimana uang dijamin oleh emas murni yang dimiliki negara. Jika ekonomi suatu negara runtuh, maka runtuh pula nilai dari uang yang diterbitkan. Gelombang keruntuhan ini membuat negara-negara pemberi hutang mengalami masalah, sedang mereka sendiri harus menghadapi kerugian akibat krisis investasi dan pasar modal serta likuiditas.
Bayangkanlah, seandainya banyak negara berkembang jatuh tidak sanggup bayar hutang (default), mereka membuat negara pemberi hutang turut runtuh karena besarnya nilai hutang yang diberikan. Kenapa hutang banyak diberikan ke negara berkembang? Karena beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi di negara maju sangatlah kecil, jauh lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Kalau di negara sendiri mendapat bunga 2% sudah lumayan, di negara berkembang bisa diperoleh bunga 8% - 15% sebagai angka yang normatif, wajar. Akhirnya negara maju menggelontorkan lebih dari 50% dananya ke negara berkembang dengan harapan dana itu bisa bertumbuh dengan cepat dan mengembalikan bunga yang tinggi, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.
Tapi krisis ini diluar perkiraan, dan hutangnya menjadi tidak dibayar. Negara pemberi hutang kehilangan uangnya secara masif. Mereka lantas juga kehilangan kemampuan untuk menalangi krisis investasi yang terjadi, seperti kalau ada bank yang bangkrut. Artinya, mereka kehilangan kemampuan untuk memberikan perlindungan finansial, yang membuat timbulnya ketidak-percayaan, lalu kepanikan. Masalahnya sekarang, jumlah uang yang dipinjamkan itu jumlahnya triliunan dollar US, jauh melebihi krisis pertama subprime mortgage yang waktu awal belum mencapai 1 triliun US$.
Masalahnya, negara-negara Eropa Barat dan Timur, juga banyak negara berkembang, adalah pasar yang dibutuhkan juga oleh Amerika untuk memulihkan keadaan ekonominya. Tetapi sekarang, dengan gelombang ketiga ini Amerika juga kehilangan pasar, sedang pasar domestiknya sendiri berada dalam masalah. Beban berat dirasakan terutama oleh industri AS, yang terpaksa harus memangkas biaya agar tetap bertahan. Sebuah kabar mengatakan pabrik Motorola di AS sudah merencanakan akan mem PHK 3000 orang karyawannya. Demikian juga dengan berbagai industri di Amerika, yang turut mengalami kesulitan dalam transaksinya. Hal-hal ini membuat para ahli ekonomi yang semula optimis, melihat bahwa kemungkinan AS masuk ke dalam resesi di kuartal keempat 2008 sampai pertengahan tahun 2009.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau benar terjadi resesi di Amerika, sebenarnya efeknya tidak langsung karena saat ini pun ekspor Indonesia tidak lagi mengalir ke sana. Sementara ekspor Indonesia masih ke asia timur dan tengah, kondisi industri kita masih cukup baik. Efeknya baru mulai akan terasa ketika gelombang kedua dan ketiga bersama-sama menurunkan perekonomian di negara-negara tujuan ekspor kita, yang mungkin bisa terjadi dalam satu atau dua bulan mendatang. Di dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi memberi dorongan bagi banyak industri untuk tetap meraup keuntungan. Pemerintah juga tetap mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program peningkatan ekonomi. Semua ini kita harapkan dapat tetap membuka peluang, walaupun untuk sejumlah sektor seperti tekstil mengalami tekanan hebat karena hilangnya pasar ekspor.
Posisi industri yang kuat membuat emiten saham pada umumnya masih memberikan keuntungan. Earning Per Share (EPS) Indonesia secara rata-rata masih cukup tinggi dibandingkan bursa saham lain. Hari ini misalnya, ternyata laba BRI mengalami kenaikan sampai 17,13% atau jadi Rp. 4,238 Triliun pada triwulan ke 3 dibandingkan keuntungan pada periode sama tahun lalu. Ketika terjadi penurunan indeks, harga saham Indonesia menjadi luar biasa murahnya, dan dalam dua hari ini mulai terjadi pembelian-pembelian, sehingga kita lihat akhirnya indeks mulai mengalami kenaikan yang signifikan.
Kondisi makroekonomi yang baik, cadangan devisa yang cukup tinggi dan utang luar negeri yang terkendali, juga membuat pasar surat utang Indonesia masih cukup baik. Selain saham, obligasi juga mempunyai daya tarik yang cukup besar di tengah-tengah kondisi seperti ini. Memang belum kuat benar dan masih akan turun naik, tetapi kita lihat fundamental yang ada cukup tangguh untuk menghadapi kondisi sekarang.
Dengan fundamental yang baik, kita lihat nyatanya harga-harga, baik saham maupun obligasi, kini berada di tingkat yang sangat rendah. Kita percaya bahwa pasar modal di Indonesia masih berpeluang besar untuk meningkat, maka sekarang ini adalah saat yang baik untuk berinvestasi -- tentunya dengan tetap berhati-hati dan memilih penyedia investasi. Bagi yang sudah memiliki saham atau reksadana saham, sebaiknya jangan sampai dijual, sebaliknya justru ditambah. Kita melihat gerakan ini sudah dimulai oleh pihak asing, yang mulai mencari-cari saham yang undervalued di bursa efek Indonesia.
Hanya perlu dipahami, gelombang-gelombang ini sama sekali belum reda, sebaliknya satu kejatuhan memicu kejatuhan yang lain. Taruhan yang ada bukan lagi angka miliaran USD, melainkan triliunan. Masih banyak orang akan mengalami kesulitan dalam pekerjaan, kehilangan pasar, bahkan harus memulai lagi dari awal. Artinya, tidak ada solusi dalam jangka pendek yang bisa kita harapkan, atau keadaan membaik dalam waktu 1 tahun ke depan. Berharap tentu masih bisa, tapi mungkin tidak lagi cukup realistis.
Sekarang, kita berinvestasi untuk jangka panjang. Kita perlu memikirkan jangka panjang, saat-saat di mana kebutuhan memang muncul dan harus dipenuhi, seperti uang sekolah anak, atau uang pensiun. Jangan menunda atau mengorbankan tujuan-tujuan jangka panjang karena masalah jangka pendek. Lagipula, ketahanan fundamental harus dilihat sebagai efek jangka panjang, bukan? Ini bukanlah kemampuan teknikal untuk mendapat laba dalam jangka pendek, yang hari ini sama sekali tidak ketahuan ujung pangkalnya.
Jadi, tetaplah berinvestasi. Jika waktunya panjang sekali >10 th, pilihan saham bluechips atau reksa dana saham merupakan pilihan baik. Jika waktunya lebih pendek, reksa dana campuran menawarkan kombinasi yang menarik. Kalau waktunya kurang dari 3 tahun, pilihan obligasi atau reksa dana pendapatan tetap bisa dipertimbangkan. Untuk waktu di bawah 1 tahun, investasi yang disarankan hanyalah deposito, pilihlah di bank yang baik, artinya mempunyai cadangan modal yang cukup besar, melebihi persyaratan 8% yang ditetapkan BI dan tentunya pengelolaan yang profesional.
Dalam jangka pendek, persiapkanlah diri untuk lebih banyak menggarap pasar domestik, meraih kesempatan waktu kosong yang timbul karena barang impor berkurang. Sebaliknya, kita juga perlu lebih banyak memakai produk dalam negeri, menunda konsumsi produk impor atau tidak melakukan perjalanan keluar negeri. Jika kita bersama-sama bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan produksi dan konsumsi dalam negeri, memanfaatkan jumlah rakyat yang besar, maka kita bisa berharap akan tetap menikmati pertumbuhan pada saat ekonomi dunia kembali membaik. Siapa tahu, justru pada saat itu kita benar-benar bisa menggantikan posisi negara maju yang saat ini malah kehabisan dana dan tenaganya.
Tentu saja, ini adalah harapan untuk masa depan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar