Cari Blog Ini

16 Oktober 2008

Shockwave Tahap 2

Beberapa hari ini para pelaku pasar modal bisa menarik nafas, sedikit. Beberapa orang malah merasa bahwa "krisis sudah berlalu" dan mulai bersiap-siap mengantisipasi loncatan dalam indeks saham, setelah beberapa minggu melalui jurang yang mengerikan. Nah, harapan memang menyenangkan, tetapi sebagai konsultan keuangan, kami harus jujur mengatakan bahwa masih ada kelanjutan masalah. Krisis belum berakhir.

Masih ingat apa yang menyebabkan krisis pertama kali? Masalahnya adalah soal hutang. Ada begitu banyak hutang di tangan rakyat Amerika (dan ternyata, Eropa juga) sehingga kemacetan yang terjadi begitu besar, menjatuhkan sejumlah firma keuangan besar yang berusia lebih dari seabad. Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk mengamankan posisi bank-bank yang terancam, dengan tujuan agar kepercayaan kepada bank tidak runtuh. Diharapkan ada uang pada bank, sehingga bank bisa mengalirkan kredit kembali, menjalankan roda perekonomian kembali, dan krisis berlalu. Itu harapannya.

Tapi masalahnya adalah: hutang tetap hutang, dan banyak orang di Amerika kehilangan kemampuan untuk membayar. Bayangkan saja, kemarin ini ada 159.000 orang pandai dan berpengalaman, orang-orang "kerah putih" yang kehilangan pekerjaan. Bagi kita di Indonesia, mungkin berita ini tidak terasa hebat, karena toh di sini juga buruh-buruh yang di PHK pada saat krismon dahulu jumlahnya kurang lebih sama. Kalau kita membandingkannya dengan cara begitu, marilah kita ingat bahwa dalam kasus ini, produktivitas ke 159.000 orang yang di PHK itu jauh lebih tinggi daripada produktivitas buruh di Indonesia. Secara total, PHK itu berarti hilangnya potensi produktivitas yang jumlahnya mencapai milyaran dollar per tahun, kalau dihitung pendapatan mereka umumnya di atas $25.000 per tahun. Gaji itu hanya indikator, karena dalam struktur biaya, gaji seseorang seharusnya lebih kecil daripada produktivitasnya. Jadi orang yang gajinya $25.000/tahun mungkin mempunyai produktivitas $100.000/tahun.

Bayangkan kehilangan potensi produktivitas di Amerika. Lalu apa hubungannya?

Hubungannya, produktivitas akan tersalurkan menjadi penghasilan, yang secara langsung mempengaruhi daya beli. Krisis kali ini bukan saja membuat perbankan di Amerika dan Eropa terancam, melainkan juga menurunkan daya beli, artinya nilai penjualan yang lebih kecil, artinya pertumbuhan ekonomi yang negatif. Efeknya, semua penyedia jasa dan barang tiba-tiba saja kehilangan pelanggan, dan itu juga membuat daya belinya menurun, pertumbuhan ekonominya negatif.

Sebagai contoh, Singapura kemarin ini telah mengumumkan negaranya ada dalam situasi resesi; ini berarti telah terjadi penurunan ekonomi selama 2 kuartal berturut-turut. Negara ini memang menjadi penyedia jasa, yang pelanggan utamanya adalah negara-negara G-7. Karena di negara G-7 terjadi kemunduran, Singapura juga terpaksa harus menelan ekonomi negatif selama 6 bulan terakhir. Pemerintahnya berusaha mendorong ekonomi dengan melonggarkan bank dalam memberikan kredit, tetapi hal ini tidak langsung berpengaruh karena masalahnya bukan soal uang melainkan soal pembeli. Kalau tidak ada pembeli, ada pinjaman pun buat apa?

Kondisi ini bukan hanya dihadapi Singapura sebagai penyedia jasa, tapi juga dialami banyak negara di Asia lain. Jepang, Hong Kong, Malaysia, dan tentu juga Cina dan India tiba-tiba kehilangan pasar yang biasanya selalu membeli apa saja yang ditawarkan. Kini tidak lagi; pasar yang biasa tidak lagi menerima semua penawaran. Penjualan-penjualan turun...jadi ke mana penjualan dilakukan? Setiap pabrik biasanya mempunyai beban harus memakai seluruh kapasitas produksinya agar terjadi efisiensi. Kalau kapasitas produksi terpasang tidak digunakan, dalam pembukuan terjadi kerugian karena depresiasi tetap dihitung. Menjalankan mesin tidak sukar, tapi hasilnya mau dijual kemana?

Maka, guncangan berikutnya adalah ketika sejumlah besar produk dan jasa beralih pasar, ke mana saja produk dan jasa itu bisa masuk. Sementara itu, di Amerika sendiri ada industri besar; industri perumahan dan otomotif, teknologi tinggi, peralatan rumah tangga, dan segala macam lain, yang mendapati pasar dalam negerinya merosot dan tidak kelihatan titik terang kebangkitannya kembali. Untuk menyelamatkan diri, baik produsen dari Amerika maupun dari negara-negara manufaktur di Asia melemparkan barangnya dengan diskon penuh; yang penting aset sediaan dapat cair dan menjadi uang lagi.

Siapa yang jadi tujuan pasar mereka? Ya, banyak negara yang masih stabil antara lain Indonesia juga. Efeknya mungkin mulai akan terlihat minggu-minggu ini; barang impor jadi murah. Buat yang suka belanja, mula-mula rasanya menyenangkan. Tetapi kemudian, barang-barang ini mematikan produsen lokal yang masih tetap menjual dengan harga normal, tidak banting-bantingan demi mencairkan uang. Kalau dari tahun lalu industri tekstil sudah merasakan kerasnya persaingan dengan produk luar yang harganya murah, sekarang ini industri lain juga mungkin mengalami hal serupa.

Sebenarnya, melihat hal seperti ini kita seharusnya senang jika dollar kuat. Dengan nilai dollar yang tinggi, barang impor tidak terlalu murah dan produsen dalam negeri bisa mendapat sedikit proteksi. Tetapi, di sisi lain ada kepentingan untuk menahan penguatan nilai tukar dollar, dan pagi ini kurs dollar kembali melemah, turun kembali ke Rp 9800-an per dollar. Semakin lemah dollar, semakin murah produk mereka, semakin mudah masuk, dan semakin berat dilawan pengusaha lokal. Tapi, orang Indonesia memang banyak yang cinta produk asing, semakin bergairah untuk melakukan impor. Kita lupa, masyarakat bisa membeli karena produktivitas yang tersalur melalui pengusaha lokal, bukan asing. Untuk itu, kita harus bisa memasarkan produk, lebih dari pemasaran produk asing. Istilah "Aku Cinta Buatan Indonesia" bukan lagi slogan, namun jadi syarat bagi keberhasilan jangka panjang.

Dalam hal ini, kuncinya adalah kebenaran dan keadilan yang kita jalankan, bukan hanya semangat untuk memperkaya diri sendiri. Masalah ekonomi yang tadinya nampak hanya di bursa modal, akan menjadi masalah di bursa nyata, waktu barang-barang kita harus bersaing dengan produk global. Dapatkah kita bertahan, apalagi dengan mentalitas meninggikan barang buatan luar negeri?

Tidak ada komentar: