Cari Blog Ini

25 Oktober 2008

Di Tepi Resesi

Teman-Teman,

Minggu ini ditutup dengan kelam. Seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, guncangan tahap dua mulai nyata. Mungkin, memang bulan Oktober adalah masa yang menakutkan, mengingat dahulu depresi besar juga dimulai pada bulan Oktober. Di tahun 1929 itu, beban berat terjadi di pasar modal dan berlangsung jadi resesi hebat, yang berlangsung selama 10 tahun sebelum pulih lagi. Dari kerusakan ekonomi, perasaan frustasi melanda rakyat di banyak negara dan secara tidak langsung, jadi pemicu Perang Dunia II. Siapa sangka?

Mudah-mudahan, kali ini tidak menjadi seperti itu.

Masalahnya, walaupun OPEC sudah berusaha bertemu dan memangkas produksi minyak, harga minyak bumi jatuh ke bawah $64 /barrel dalam penutupan hari ini. Saham konglomerat raksasa dunia seperti GE dan Samsung bertumbangan. Inggris hari Jumat ini secara resmi menunjukkan kondisi ekonominya ditepi masa resesi. Kepala Treasury Inggris, Alistair Darling, mengatakan "Every business, every individual -- we have to live within our means," sambil menunjukkan bahwa bisnis apapun sedang mengalami penurunan atau kontraksi. Perhitungan sementara, sampai Desember pun kecenderungannya tetap turun. Kalau nanti memang demikian, artinya Inggris memang resesi, hal yang tidak pernah terjadi sejak 1991.

Posisi yang buruk sudah lebih dahulu ditunjukkan oleh Singapura yang menyatakan resesi. Definisi resesi secara teknis adalah terjadinya kontraksi PDB / penyusutan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini menjadi epidemi di seluruh negara maju, dan rupanya hal ini berakar pada suatu sikap yang serba-optimis dan serba-meningkat yang menghinggapi banyak pebisnis dan pengelola modal di negara maju. Permulaannya sederhana saja: karena orang percaya pada teknologi dan komunikasi serta berbagai "peningkatan bisnis", maka seringkali suatu bisnis dihargai tinggi sebelum hasil sebenarnya muncul. Harapan ini diikuti oleh disimpannya sejumlah investasi, yang akhirnya menjadi suatu nilai yang bukan main besarnya jauh melampaui kemampuan sesungguhnya dari bisnis itu memberikan laba.

Dunia sebenarnya sudah berkali-kali melalui situasi yang serupa. Ketika internet mulai berkembang, saham dot.com begitu hebat membumbung, sampai akhirnya gelembung 'pecah' dan nyata bahwa teknologi internet tidak sedahsyat yang dibayangkan orang. Alan Greenspan waktu itu mengalihkan permainan ke bidang perumahan, yang lalu menjadi gelembung lain yang lebih besar dan pecahnya lebih bersifat merusak.

Kalau sudah begini, siapa yang dapat didengarkan sebagai sumber yang lebih baik daripada "kearifan pasar" yang terbukti tidak arif ini?

Kita beruntung karena masih ada tokoh dalam hal investasi yang masih bisa dipelajari -- walau nyatanya orang ini tidak pernah berbicara, tidak jadi motivator atau pembicara terkenal. Tetapi sekarang orang semua melihat apa yang ia lakukan, belajar apa prinsip-prinsip yang dipakainya, yang terbukti menyelamatkannya dari banyak masalah.

Dia adalah Warren Buffet. Dia berhasil lolos dari pecahnya gelembung dot.com -- sama sekali tidak ikut membeli saham itu karena "saya tidak paham". Nampaknya Warren Buffet juga tidak terjebak dengan Subprime Mortgage, dan sekarang dia masih jadi orang paling kaya di Amerika. Apa prinsipnya Warren Buffet?

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa prinsip ini bukan datang dari Buffet sendiri, melainkan dari Benjamin Graham yang menjadi dosennya. Berlawanan dengan kebanyakan orang yang berjual beli saham sebagai dagangan, Graham berprinsip untuk membeli BISNIS yang mempunyai nilai intrinsik tinggi namun dijual dengan harga diskon. Bisnis yang menunjukkan potensi usaha besar di masa depan, namun sekarang harganya di bawah rata-rata pasar. Graham menekankan pada diskon harganya. Tetapi Buffet belakangan mengerti bahwa lebih penting lagi mengerti potensi usaha, sehingga belakangan ia berani membeli pada harga premium karena sudah memahami di masa depan keuntungannya akan jauh lebih besar lagi.

Pendekatan ini tidak populer karena dua hal. Yang pertama, untuk memahami bisnis tidaklah mudah. Orang harus bisa membaca laporan keuangan yang rumit, yang bahkan lulusan ekonomi pun banyak yang tidak menyukainya. Yang kedua, hal ini berarti harus berinvestasi dalam jangka waktu panjang, cukup memberi waktu hingga usaha yang diperkirakan berhasil meraih laba benar-benar bisa mewujudkan visinya. Orang masih lebih menginginkan yang serba mudah dan serba cepat menghasilkan. Dan terjadilah, gelembung demi gelembung pecah...

Apakah Indonesia di tepi resesi?

Satu hal pasti, prinsip Buffet juga bisa diterapkan di pasar modal Indonesia. Negara ini masih mempunyai keunggulan intrinsik, yang posisinya membuat perusahaan-perusahaan tetap menjanjikan hasil besar di masa yang akan datang.

1. Indonesia adalah negara berkembang. Artinya masih ada banyak sekali yang harus dibangun, ada banyak sekali pekerjaan untuk dibereskan, dan banyak sekali peluang untuk berbisnis dan memperoleh bagian laba dari peningkatan ekonomi yang terjadi.

2. Indonesia mempunyai penduduk yang bukan main besarnya, tahun ini sudah lebih dari 220 juta orang. Jumlah penduduk yang banyak memang mengancam ketahanan mata uang dan seringkali membuat inflasi yang lebih tinggi, ketika laju produksi tidak dapat mengimbangi laju permintaan. Tetapi di sisi lain, kemampu-labaan dari perusahaan di Indonesia masih besar. Bagi perusahaan yang sudah terbuka pun, nyatanya Earning Per Share dari emiten Indonesia tetap lebih tinggi daripada emiten di bursa-bursa modal lainnya di kawasan Asia.

3. Pasar di Indonesia belum sejenuh pasar di luar, dan untuk banyak bidang, perusahaan yang bergerak masih yang itu-itu juga. Karena mereka jadi perusahaan terbuka untuk memperoleh pendanaan, maka emiten di Indonesia juga tidak terlalu banyak, hanya ratusan. Di antaranya ada perusahaan BUMN yang masih serba monopoli, contohnya PT Telkom, yang memonopoli telepon kabel di Indonesia. Kalaupun tidak monopoli, perusahaan yang ada menjadi oligopoli.

4. Posisi keuangan Pemerintah Indonesia menjadi lebih baik, karena sekarang subsidi berkurang dan cadangan devisa masih cukup banyak, cukup membiayai 4,5 bulan impor. Nilai kurs bisa bertahan cukup stabil dalam 8 tahun terakhir -- baru dua bulan ini terasa tekanan besar pada Rupiah. Korupsi diberantas lebih keras, walau perjalanan masih panjang. Tapi, semuanya harus diakui, menjadi lebih baik.

5. Indonesia adalah negara dengan sumber alam yang luar biasa. Ketika orang tidak lagi bisa mengandalkan kekayaan intelektual, tidak lagi bisa berharap pada hasil industri yang melambat, hasil dari sumber-sumber alami tetap menjadi suatu produktivitas yang nyata. Walaupun sekarang terjadi penurunan, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan, tetapi nilai sesungguhnya tidak berkurang karena selama manusia hidup tetap ada kebutuhan hasil perkebunan dan pertambangan.

Jadi, Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih baik, jauh lebih besar daripada Singapura atau Malaysia, misalnya. Tapi, kalau begitu kenapa Indonesia masih juga mengalami keruntuhan pasar modal? Penutupan hari ini, IHSG ada pada 1,244.864, turun 6,91%. Kepanikan apa yang memicu turunnya bursa efek di Indonesia?

Perlu kita pahami, bahwa PEMAHAMAN adalah kunci penting. Pemahaman bahwa ada prinsip-prinsip yang berlaku, yang seharusnya tidak dilanggar. Karena nyatanya, pelaku bisnis di Indonesia masih terjebak dengan pat-gulipat, seperti dalam kasus Bakrie & Brother yang menggadaikan saham untuk membeli/repo saham yang sama, dengan keyakinan luar biasa bahwa sahamnya akan tetap tinggi. Ketika saham BUMI dan dua lainnya jatuh, grup ini justru terlibat masalah hutang yang pelik, yang akhirnya menjatuhkan seluruh nilai bisnis mereka. Ini adalah bentuk langsung dari kesalah-pahaman mengantisipasi pasar.

Pemahaman juga membuat pelaku pasar menjadi goyah, karena melihat bursa-bursa lain di dunia berguguran hari ini. Sinyalnya adalah "ayo kita jatuh" dan orang yang sebenarnya tidak perlu jatuh pun tergesa-gesa menjual sahamnya dengan harga yang dijatuhkan. Pelaku kita banyak yang mengikuti juga investor asing, yang saat ini banyak menarik dananya dari pasar berkembang (emerging market) karena harga minyak yang masih di bawah $70. Padahal, untuk apa? Mengapa harus ikut-ikutan?

Kembali lagi ke Warren Buffet, menarik untuk memperhatikan bahwa ia tidak menyatakan sedang membeli saham, melainkan membeli bisnis. Sebuah saham bukan soal surat yang harganya turun-naik, melainkan bisnis yang bisa berkembang dan menyusut. Itulah sebabnya Buffet menolak membeli saham yang "tidak saya mengerti". Ia tidak masuk keluar berdasarkan trend pasar, melainkan dari bisnis yang ditanganinya. Buffet tidak ikut-ikutan, karena dia paham.

Seberapa jauh orang Indonesia bisa bertahan, tergantung dari pemahaman bersama-sama tentang keadaan yang sesungguhnya dari bisnis di Indonesia, bukan soal pasar yang cenderung jual atau cenderung beli. Jika kesalah-pahaman diteruskan, kita tidak tahu berapa lama lagi waktunya sebelum orang Indonesia membongkari bisnisnya sendiri. Kini waktunya kita mengerti apa yang sedang kita kerjakan, menghargainya dan melihat potensinya secara utuh; memang ada masalah dan kekurangan, tetapi juga ada harapan dan sumber-sumber untuk digali.

Satu aspek lagi adalah adanya Pemilu yang akan dilangsungkan tahun depan, di mana pengalaman menunjukkan bahwa masa pemilu adalah masa masyarakat menerima kucuran dana yang jumlahnya cukup besar. Hal ini tentunya meningkatkan konsumsi dan perputaran uang -- terlepas dari apakah uang itu halal atau tidak -- dan walaupun buruk sekali bagi praktek politik, bagi ekonomi ini adalah hal yang baik. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami resesi; kalaupun terjadi berarti harus dilihat dalam 6 bulan mendatang, karena selama 3 kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di atas 6%.

Bagaimanapun, kita harus waspada. Dunia ada di tepi resesi, bagi kita sekarang adalah waktunya untuk melihat ke dalam, untuk menghargai segala produk buatan dalam negeri, dan kita harus bisa bergerak dengan dana kita sendiri. Pelajaran penting: jangan berhutang, tetapi marilah mulai saling berbagi dan mendukung pertumbuhan. Kalau dunia di sekitar kita jatuh dan runtuh, tak ada alasan untuk ikut-ikutan runtuh. Memang tidak mudah, tidak mungkin menganggap enteng atau menyederhanakan masalah, namun kita juga harus bisa melihat dengan dua mata, melihat dalam kedalaman.

Sementara itu, menarik melihat bahwa awalnya Warren Buffet meningkat dengan perusahaan Asuransi Jiwa. Melihat keadaan sekarang, kita perlu secara serius mempertimbangkan Asuransi Jiwa yang memadai untuk melindungi kesejahteraan keluarga, karena dunia finansial yang semakin tidak menentu menuntut adanya suatu perlindungan. Kondisi hari ini berbeda: jika dahulu terjadi kemalangan, keluarga masih bisa menanggung bebannya. Tetapi kondisi sekarang membuat daya dukung keluarga menjadi terbatas, sehingga kita harus menemukan sarana perlindungan yang lebih baik. Yang paling baik dari semuanya adalah: TUHAN. Dia jauh lebih baik daripada segala perlindungan yang bisa diberikan manusia, entah keluarga atau lembaga keuangan atau negara! Percayakanlah diri kepada-Nya. Lalu, jika kita berpeluang untuk merencanakan keuangan dengan bertanggung jawab, baiklah kita juga menghitung berapa asuransi yang kita perlukan. Kalau masih belum memahami, temuilah agen asuransi bersertifikat (dikeluarkan AAJI) yang dapat dipercaya untuk memberikan saran-saran terbaik mengelola perlindungan finansial.

Kiranya Tuhan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia!

Tidak ada komentar: