Cari Blog Ini

01 Desember 2008

Awas Gelombang Tsunami Ekonomi Melanda Indonesia

Sampai akhir bulan lalu, kita semua berharap melihat sebuah perbaikan terjadi di dunia. Bagaimanapun, di awal bulan lalu posisi bank sentral sudah bersepakat menurunkan suku bunga, sementara pemerintahan negara maju bersama-sama akan menggelontorkan dana talangan. Dengan perhitungan bahwa rasio P/E dari saham-saham sudah sangat rendah, tentunya akan terjadi pembelian kembali saham-saham, perbankan mendapat kembali keleluasaan dana untuk mengalirkan kredit, dan semuanya menjadi baik lagi -- setidaknya di Amerika dan Jepang. Yang masih berat adalah Uni Eropa dan negara-negara "emerging markets" karena yang satu memberi hutang dan yang lain dilanda hutang.

Tetapi, ternyata keadaan tidak berbalik secara demikian. Memang pasar modal sempat membaik, tetapi investornya bukan berasal dari rakyat Amerika. Orang-orang di Amerika masih kesulitan dengan hutang dan kehilangan aset, sehingga ekonomi mereka mengalami penyusutan. Ketika Wall Street mendapat berita baik seperti talangan dana untuk Citigroup, kondisi di Main Street (pasar riil) justru semakin berat. Mr. Obama melakukan gerakan yang tak lazim dengan mengajukan program untuk mendorong ekonomi dalam negeri selama 2 tahun kepada Kongres, sebelum ia dilantik di bulan Januari. Bagaimanapun kondisi seperti yang dialami oleh industri otomotif di Amerika telah menekan banyak sektor. Jutaan orang di PHK, jelaslah bahwa dunia tidak akan menjadi baik dalam semalam.

Bagaimana Asia? Saat ini jumlah pengangguran di seluruh Asia sudah mencapai 500 juta orang. Di China, beberapa kota seperti Guang Dong mulai mengalami protes dari buruh. Masalah Asia menjadi semakin pelik dengan adanya terorisme seperti di India dan protes politik seperti di Thailand. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa banyak orang di Asia tidak tahu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi. Fokus banyak orang masih pada "siapa yang salah" ketimbang mengerti bahwa kondisi sekarang menuntut kerja sama -- tepatnya kerja keras bersama-sama -- baik dari pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat. Pemimpin di Asia nampaknya mengalami kesulitan membawa rakyat bersama-sama mengatasi krisis, sementara tekanan ekonomi tidak kunjung mereda.

Di Indonesia sendiri, tekanan dari turunnya perekonomian mulai terasa nyata. Industri rotan di Cirebon menurun lebih dari 35%. Industri tekstil dengan tujuan ekspor turun lebih dari 40%. Industri elektronika, dan segala industri lain yang menggunakan bahan impor, untuk kemudian di ekspor, hari ini mengalami masalah serius. Dengan kondisi likuiditas ketat yang masih menarik banyak dollar kembali ke Amerika, di seluruh dunia nilai dollar menjadi tinggi. Biasanya, kalau dollar Amerika tinggi, eksportir Indonesia mengalami kemudahan karena harga produk menjadi lebih murah. Tetapi sekarang, eksportir justru kehilangan order sampai bulan Februari mendatang. Padahal, untuk mengimpor bahan baku dibutuhkan dana yang lebih besar. Bagaimana mempertahankan keberadaan industri? Rasionalisasi, efisiensi, dan tak terelakkan -- PHK.

Kunci untuk mengatasi kondisi seperti ini adalah kerja sama, yang harus dimulai dengan bersama-sama memahami persoalan yang ada. Kita membutuhkan birokrasi pemerintah yang mendukung produktivitas. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang membuka pasar-pasar baru, meraih peluang-peluang baru dalam negeri. Kita membutuhkan pekerja-pekerja yang produktif dan kreatif. Semua harus tahu bahwa saat ini adalah saat untuk memberi, untuk menanam benih-benih baru. Untuk itu, lebih daripada waktu-waktu sebelumnya, kita harus membuat rencana keuangan dan produktivitas yang lebih detil, lebih lengkap.

Produktivitas dimulai dari kompetensi. Aset terbesar adalah orang-orang yang mengerjakan, yang kreatif, dan bekerja sama. Kita membutuhkan positive business yang mempunyai 5 pilar: kasih, pengaruh/kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Sudah waktunya orang Indonesia memecahkan masalah lama: orang Indonesia ragu dengan produk sendiri, malas beli produk dalam negeri. Ini adalah faktor kritis: selama kita tidak nyaman dengan produk dalam negeri, selama itu pula kita tergantung pada impor yang berarti tekanan ekonomi lebih besar lagi. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan atau "gerakan" seperti yang dilakukan semasa orde baru, melainkan harus dengan promosi dan pencitraan yang baik, yang berangkat dari produk yang memang bagus.

Sisi berikutnya adalah perencanaan finansial, yang pada prinsipnya terbagi 3 hal: (1) Operasional, (2) Pertumbuhan/investasi, dan (3) Perlindungan /asuransi. Operasional yang efisien membutuhkan pengendalian yang baik, seperti balance scorecard dan activity based costing. Investasi dibutuhkan untuk melindungi kebutuhan arus kas di masa depan karena tekanan inflasi dan devaluasi. Asuransi dibutuhkan untuk menjamin likuiditas pada saat terjadi hal-hal seperti musibah yang menghilangkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.

Kondisi sulit menuntut sikap yang berbeda dalam membuat perencanaan finansial. Dalam kondisi yang lebih mudah, mungkin kontrol operasional bisa lebih longgar, dan tindakan-tindakan uji coba, try-and-error, masih bisa dibuat karena masih ada budget untuk eksperiman. Tetapi sekarang, kita harus lebih banyak bersandar pada data dan analisa sebelum membuat suatu langkah; tidak boleh melakukan banyak kesalahan sekarang. Demikian juga dengan investasi: mungkin sebelumnya kita hanya mengejar tingkat bunga saja, setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sekarang, kita harus membuat investasi dengan pertimbangan lengkap di keempat sisi investasi: resiko, hasil, perubahan, dan peraturan yang berlaku. Portofolio investasi yang seimbang harus memiliki margin yang cukup pada bentuk-bentuk yang stabil seperti obligasi pemerintah, sementara mempertahankan pertumbuhan yang baik pada bentuk yang lebih fluktuatif, baik saham (jangka panjang) maupun komoditas (jangka pendek).

Di sisi asuransi, dalam 3 tahun terakhir ini kita semua menyukai unit link. Produk ini masih tetap baik, tetapi kita harus mulai menghitung tingkat pengembaliannya dibandingkan biaya yang dikenakan, kalau-kalau polis kita tahu-tahu dibatalkan karena jumlah unitnya menjadi 0. Kita perlu mengingat, dalam unit link hasil investasi akan dipotong secara teratur untuk membayar biaya asuransi. Ketika jumlah biaya lebih tinggi daripada hasil investasi, mungkin karena investasi terlalu kecil atau biaya terlalu besar, maka sedikit demi sedikit pokok investasi akan berkurang, sampai akhirnya menjadi nol. Yang lebih baik mungkin mengambil produk asuransi jiwa seumur hidup yang perlindungannya dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa.

Tentang asuransi seumur hidup, berlawanan dengan paham umum, saya justru menemukan bahwa lebih untung mengambil asuransi seumur hidup dengan satu kali pembayaran premi, atau disebut juga single premium. Mengapa? Karena, dalam single premium, komisi untuk agen persentasenya adalah yang paling kecil. Kalau mempunyai dana, kita bisa memindahkan sekaligus untuk asuransi DAN investasi bukan pada 1 produk unit link, melainkan 2 kontrak, yang satu polis asuransi yang lain kontrak reksa dana. Dengan dana 250 juta, seorang pria berusia 40 tahun bisa mendapat asuransi jiwa seumur hidup sampai Rp 1 Milyar, dijamin berlaku sampai umur 100 tahun DAN reksa dana yang baik, sehingga dengan rata-rata tingkat bunga 11% saja, uang 250 juta itu bisa kembali kira-kira di tahun ke-10. Lebih menarik lagi, asuransi jiwa seumur hidupnya mempunyai bonus majemuk, sehingga semakin lama polis berjalan, uang pertanggungan yang diterima dapat lebih besar, menahan laju inflasi yang menurunkan nilai uang pertanggungan di masa depan.

Perencanaan finansial harus berkaitan langsung dengan produktivitas yang diharapkan. Kombinasi yang tepat dari kedua hal ini mempersiapkan kita untuk menghadapi gelombang tsunami ekonomi yang mungkin akan melanda Indonesia, setidaknya di kuartal pertama tahun 2009. Ini adalah gelombang Wealth Destruction yang menggerus kemampuan orang Indonesia untuk meraih laba dan peningkatan, sekaligus mengikis kekayaan yang ada dalam tingkat yang sangat besar; sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 70 tahun terakhir. Untuk itu, sekali lagi kita harus bergantung, satu-satunya dan hanya kepada TUHAN yang lebih besar daripada semua masalah ini. Kebergantungan kita kepada Tuhan juga menuntut kita untuk bersikap benar, dalam segala situasi, pada kesempatan pertama. Kemudian kita mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, dalam hormat dan takut, melakukan bagian kita dengan baik.

Kebenaran meninggikan derajat bangsa.

Tidak ada komentar: