Cari Blog Ini

15 Desember 2008

Sikap Beradaptasi Terhadap Krisis

Ketika dunia menghadapi kenyataan bahwa kekayaan mereka tidak sebesar yang dibayangkan, ada tiga sikap yang muncul. Sikap pertama, sebagian orang menyangkal kenyataan itu. Dikatakan bahwa semua yang terjadi hanyalah bersifat sementara dan tak lama lagi keadaan akan pulih menjadi seperti semula. Orang-orang ini terus menerus bertahan dan berharap pemulihan segera terjadi, menunggu waktu membereskan semua kekacauan.

Sikap kedua, sebagian orang melihat keadaan menjadi buruk dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Dalam situasi ini, mereka justru menjadi serakah, mengikuti pandangan “/Survival of the fittest/” menurut teori evolusi. Keserakahan ini bukan muncul dari karakter dasar, melainkan keluar dari kekuatiran di tengah situasi sulit. Hidup menjadi seperti peperangan: untuk bisa hidup, yang lain dibiarkan mati. Pandangan ini juga berangkat dari keyakinan akan keterbatasan akan segala sesuatu, jadi kalau mau bertahan harus mengambil bagian orang lain. Begitulah mereka terus berupaya mengambil dan menyimpan untuk diri sendiri.

Sikap ketiga, diambil oleh orang-orang yang melihat bahwa semua ini merupakan bagian dari perubahan, suatu roda kehidupan yang kadang di atas, kadang di bawah. Dalam pandangan mereka yang mengambil sikap ketiga, tantangan terpenting bukanlah soal selamat di hari ini, melainkan bagaimana meneruskan hidup di hari esok. Sampai tingkat tertentu, kesulitan di hari ini diterima walau terasa sakit agar dapat tetap memiliki kesempatan di masa yang akan datang. Untuk itu, bukan hanya diri sendiri saja yang selamat tetapi orang lain juga. Jika di masa depan hanya diri sendiri yang selamat, maka masa depan itu akan menjadi awal dari proses akhir, sebelum akhirnya semua binasa. Orang membutuhkan kerja sama untuk tetap bertahan.

Tantangan yang orang Indonesia hadapi sekarang adalah memahami ketiga sikap ini. Kita melihat bahwa sikap pertama banyak dianut oleh para pejabat pemerintah, apalagi pemerintah daerah yang sepertinya sama sekali tidak mengerti krisis yang terjadi. Sikap ini juga ditunjukkan oleh sebagian partai politik yang masih tetap berkampanye seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi di atas dunia ini. Urusan yang diangkat masih seputar konflik-konflik internal dan pencitraan diri, sama sekali tidak menyentuh realita – bahkan menunjukkan ketidak-pahaman yang utuh. Mengingat mereka menjadi pemerintah, tentu hal ini terasa ironis sekali.

Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan juga pemain di pasar modal dan komoditas – baik sebagai investor atau trader yang betul-betul mengikuti peristiwa-peristiwa dunia – mengambil sikap kedua. Kalau diperhatikan, kejatuhan pasar modal Indonesia sebagian diakibatkan oleh kepanikan pemodal domestik ketika melihat pihak asing secara besar-besaran melepas aset mereka, baik saham, obligasi, maupun surat berharga lainnya. Kita bisa memahami alasan pihak asing mencairkan aset; mereka harus menutupi kebutuhan akan likuiditas yang tersendat akibat kerugian besar dalam subprime mortgage. Tetapi alasan pihak domestik adalah ketakutan hilangnya nilai akibat harga yang jatuh oleh pencairan besar-besaran ini. Mereka turut berupaya secepatnya memegang dana tunai, seperti sedang berlomba dengan investor asing. Bahkan, mereka juga berlomba untuk memegang dana tunai dalam mata uang US Dollar, karena siapapun bisa memperhitungkan bahwa permintaan akan dollar menjadi tinggi secara ekstrim dalam jangka pendek. Bukankah semua aset yang dicairkan itu dalam mata uang Rupiah, sedang yang dibutuhkan adalah dana dalam US Dollar?

“Kerja sama” antara kedua sikap menyangkal dan serakah ini secara efektif menempatkan pasar modal Indonesia di posisi sulit. Hanya sebagian yang mengambil sikap ketiga, untuk beradaptasi sambil tetap memperjuangkan kepentingan bersama di Indonesia. Kita harus menghargai usaha-usaha tidak kenal lelah yang diupayakan oleh Ibu Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan seluruh jajaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Masalahnya, otoritas keuangan terbatas oleh kebijakan dan peraturan, dan tentunya tidak dapat memaksa orang untuk bersikap tertentu. Selain itu, masih banyak jajaran pemerintah yang nampaknya sama sekali tidak membantu karena masih mengambil sikap pertama sekalipun Bapak Presiden sudah menyatakan kekritisan situasi yang terjadi.

Sementara itu, situasi perekonomian negara maju (yang sekarang tidak maju, melainkan sedang mundur) mulai menyentuh jalanan dan kehidupan sehari-hari. Siklus dimulai dari hutang; rakyat Amerika terbelit hutang rumah tangga yang jumlah totalnya lebih besar daripada PDB. Akibatnya, perbankan melakukan pengetatan pinjaman, baik untuk konsumen maupun kredit usaha. Pengetatan ini mempersulit banyak orang dan badan usaha, karena selama ini perputaran kas ditopang oleh hutang (karena sebelumnya, bunga kredit sangat rendah). Otomatis terjadi penurunan pembelanjaan, karena orang kesulitan dana tunai. Orang yang semula tidak berhutang pun kini kehilangan pendapatan, mau tidak mau harus berhutang juga padahal mereka belum tentu bisa membayarnya. Perbankan tentunya mengetahui hal ini, sehingga memperketat lagi pinjaman, dan lingkaran setan ini berputar kembali.

Pukulan paling keras langsung dirasakan oleh dua sektor yang bertumpu pada “pembelian besar” yaitu perumahan berikut isi rumah dan transportasi. Harga rumah dan furniture di Amerika merosot tajam, tetapi masih tidak ada pembeli. Demikian juga dengan transportasi, khususnya penjualan mobil. Masalahnya, mobil umumnya dibeli dengan cara dicicil, sedang sekarang kredit tertahan. Lagipula, produsen mobil di Amerika seperti General Motors dan Chrysler mengambil posisi pada mobil kelas 'atas' yang mengutamakan kenyamanan dan kemewahan. Hanya Ford yang masih berada pada segmen kelas menengah dan bawah, bersama dengan Toyota, Honda, dan Nissan. Kita lihat sekarang GM dan Chrysler dalam kesulitan keuangan besar; GM bahkan sudah mulai menyewa pengacara untuk kebangkrutan. Ford masih bertahan, tetapi kalau kedua perusahaan otomotif raksasa lain mengalami kebangkrutan, Ford juga akan mengalami kesulitan besar karena kehilangan pemasok.

Untuk memahami masalahnya lebih baik, jangan membayangkan kebangkrutan ini hanya dihadapi perusahaan otomotif. Mereka tidak memproduksi semua sendiri; banyak hal yang dipasok oleh ribuan perusahaan lain kepada ketiga perusahaan otomotif raksasa Amerika ini. Mereka juga menjual mobil melalui jaringan jutaan dealer di seluruh Amerika, yang memasarkan ketiga mereka. Kebangkrutan dua raksasa otomotif akan turut membangkrutkan ribuan perusahaan pemasok dan entah berapa banyak dealer yang tidak bisa secara cepat beralih ke produk mobil dari Asia. Kesulitan ini secara efektif akan turut memangkas jalur supply dan distribusi Ford juga, dan mungkin akan segera membangkrutkan semuanya.

Saat ini, bailout yang diajukan sebesar USD 14 Milliar telah ditolak oleh Senat. Harapan perusahaan otomotif, administrasi Bush akan mengambil dana talangan yang USD 700 Miliar. Banyak orang berharap-harap cemas, dan kita lihat Wall Street langsung jatuh menyusul penolakan Senat. Tetapi, sebenarnya mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan oleh dana USD 14 Milliar. Seandainya ketiga perusahaan mendapat talangan, tetap saja ada banyak sekali dealer mobil yang telah bangkrut, demikian juga sejumlah perusahaan pemasok yang tidak lagi menerima order dari ketiga raksasa ini. Beberapa melihat, sebenarnya dana talangan ini akan sia-sia saja, karena tidak mungkin pemerintah menalangi hilangnya pasar akibat krisis ekonomi. Kebangkrutan adalah hal yang tidak dapat dihindari, sebagaimana kita lihat perusahaan yang tadinya ditalangi seperti AIG pun masih meminta lagi. Apakah memang semuanya harus bangkrut dahulu, sebelum bisa bangkit lagi?

Amerika adalah pasar pembeli terbesar dunia. Ketika Amerika tidak lagi berbelanja, efeknya langsung dirasakan oleh semua negara yang berproduksi. Amerika juga adalah pasar modal terbesar di dunia. Ketika pasar modal Amerika jatuh, pasar modal di Inggris dan Uni Eropa turut bertumbangan. Secara keseluruhan, negara-negara maju mengalami kontraksi ekonomi dalam skala sangat besar; sesuatu yang tidak pernah terjadi selama 50 tahun terakhir. Kontraksi ekonomi ini membuat semua negara pemasok juga mengalami kontraksi, termasuk Cina dan India yang selama ini bertumbuh pesat. Mereka yang selama ini mencari bahan baku, turut menghentikan permintaan.

Indonesia tidak dalam posisi pemasok besar ke Amerika, tetapi kita banyak menjual bahan baku ke Cina, ke India, juga ke Timur Tengah. Semula, krisis di Amerika tidak terlihat mengkhawatirkan karena nyatanya persentase ekspor ke sana tidaklah dominan. Namun ketika Cina dan India turut menyetop permintaan, masalahnya menjadi lebih serius. Negara-negara Arab yang semula memiliki daya beli tinggi oleh karena minyak, kini juga mengalami kontraksi sesuai turunnya harga minyak yang drastis.

Tentang negara-negara ini, kita perlu mengerti bahwa masalah di sana menyerupai kondisi di Indonesia dalam hal kesenjangan. Di antara pihak yang berkuasa dan orang-orang yang berperan dalam perekonomian, terdapat sejumlah besar kekayaan yang terkonsentrasi pada sekelompok golongan. Terhadap total penduduk, seperti di Cina yang tahun 2007 diestimasi lebih dari 1,3 Miliar, diperkirakan golongan kaya ini persentasenya kecil; namun tidak ada yang tahu jumlahnya. Intinya, walaupun PDB besar tetapi jumlah produk untuk didistribusikan di negara-negara Asia ini masih belum besar. Bagi sebagian besar rakyat Asia, perjuangan hidup adalah memenuhi kebutuhan primer. Diferensiasi produk belum menjadi strategi utama, karena kebanyakan orang masih mencari barang yang paling murah.

Dengan pemahaman ini, bagaimana kita dapat mengambil sikap menghadapi krisis? Kembali ke pembahasan sebelumnya, sikap menyangkal dan serakah akan menghancurkan peluang masa depan. Sementara itu, kondisi di Amerika masih belum dapat dipastikan, melihat besarnya masalah di sana. Demikian juga kita lihat pasar di negara-negara Asia mengalami kontraksi, karena banyak produsen yang kehilangan pasar. Seperti apa sikap “beradaptasi” yang dapat orang Indonesia ambil?

Masalah kita adalah kesenjangan ekonomi, berkaitan dengan perbedaan besar di antara kelas masyarakat. Golongan atas yang eksklusif mempunyai banyak sumber dan informasi; mereka masih tetap berbelanja namun karena jumlahnya sedikit, volume yang ditimbulkan juga terbatas. Golongan menengah hidup dalam perjuangan yang berbeda, membeli produk yang berbeda pada tingkat layanan dan harga yang berbeda, antara mencari barang yang berkualitas dan harga yang didiskon. Golongan bawah yang jumlahnya besar masih hidup dalam pola tradisional, mereka tidak mengerti segala persoalan 'kelas dunia' dan hanya termangu-mangu ketika mendadak harga jual jatuh secara ekstrim dan order berhenti. Walaupun sama-sama tinggal di Indonesia, ketiga golongan ini seperti tinggal di negara yang berbeda.

Jika Indonesia hendak bertumpu kepada ekonomi domestik, mau tidak mau kesenjangan ini harus dijembatani. Untuk memperoleh tingkat ekonomi yang cukup, dibutuhkan dua hal: pemerataan informasi dan pemerataan tingkat pendapatan, yang timbul oleh peningkatan produktivitas yang merata. Dengan pemerataan dua hal ini, kita bisa mengharapkan munculnya banyak pasar-pasar baru, perputaran ekonomi, dan juga berarti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan.

Apakah kita mau beradaptasi menghadapi krisis? Maka, kita harus bersedia berbagi pengetahuan, berbagi informasi yang menguntungkan banyak orang. Kesenjangan antar golongan harus dikikis, minimal dalam hal informasi. Tidak boleh lagi ada diskriminasi informasi! Dalam prosesnya, mutlak dibutuhkan kepercayaan, yang hanya bisa muncul jika setiap pihak menjaga etika dan integritas dalam membagi informasi dan kesempatan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Lihatlah: kita sekarang mengenal internet! Hari ini, jutaan orang saling terhubung satu sama lain. Orang dari berbagai belahan dunia saling berbagi dengan blog. Orang saling bersumbang relasi dan informasi dengan Facebook dan MySpace dan Friendster. Forum-forum dibuka, dan apa saja bisa dipelajari.

Ini adalah suatu sistem yang baru terbentuk, yang memungkinkan setiap orang menyumbangkan ide dan produktivitas demi kepentingan bersama. Untuk ini, sudah ada istilahnya: wikinomics. Memang hal ini nampak asing, bahkan mungkin terasa mengancam keberadaan bisnis-bisnis yang sudah mapan. Tetapi, bukankah dengan kondisi krisis, justru kemapanan menjadi suatu ancaman? Masalah di depan mata terlalu besar untuk dihadapi sendiri; sedang untuk berhasil, kesenjangan antar golongan harus diselesaikan.

Kalau tidak mau, bayangkanlah pada suatu hari di masa depan nanti, ada kemungkinan rakyat di Amerika akan sulit untuk mendapatkan makanan di atas meja mereka. Jutaan orang dari berbagai negara maju, termasuk dari negara tetangga kita, akan bertahan dengan masuk ke pasar yang lain. Mereka yang pandai, yang masih punya modal, akan berjuang di pasar-pasar yang masih terbuka seperti Indonesia. Melalui skema kerja sama seperti AFTA dan APEC yang sudah disetujui, mereka akan punya akses untuk berusaha di Indonesia, menyaingi rakyat Indonesia. Apakah mereka setuju dengan pemerataan? Sebaliknya, kesempatan dan informasi menjadi sesuatu yang bersifat diskriminatif secara absolut.

Kalau tidak mau beradaptasi dan menjadi pandai secepat-cepatnya, siapa tahu orang Indonesia akan terjajah di negaranya sendiri. Bukan oleh senjata atau kekerasan, melainkan oleh kompetensi dan informasi.

Mau?

Tidak ada komentar: