Cari Blog Ini

02 Desember 2008

Digital: Dekonstruksi Kualitas...

Dear Teman-Teman,

Apa yang menyebabkan timbulnya Subprime Mortgage di Amerika? Konon, ini adalah buah dari Alan Greenspan untuk meredam kejatuhan pasar modal akibat krisis dot.com. Masalah dot.com telah menjadi sebuah gelembung besar yang penuh harapan, yang tiba-tiba saja meletus dengan keras dan mengagetkan banyak orang. Ternyata, bisnis di internet tidaklah sebagus yang dibayangkan, meskipun eforia internet yang dimulai tahun 1995 gemanya masih terasa sampai sekarang. Namun, apa masalah yang sebenarnya?

Kalau direnungkan, masalahnya adalah tentang ilusi akan masa depan. Kita semua belajar dari berbagai pakar "kesuksesan" untuk terlebih dahulu membayangkan kesuksesan. Covey menyebutkan kebiasaan "start with an end in mind" sebagai kebiasaan orang yang efektif. Nah, kita percaya bahwa sesuatu benar-benar berharga, maka kita pun mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, kita bisa berharap mendapatkan seperti yang kita bayangkan itu. Bentuk-bentuk pengharapan ini senantiasa muncul dengan berbagai istilah dan penjelasan, yang terakhir mungkin digambarkan oleh The Secret, sebagai Law of Attraction. Rahasia besar terakhir...

Dalam kenyataannya, mari kita memikirkan soal nilai. Makanan, misalnya. Ada makanan Jepang yang murah. Ada makanan Jepang yang mahal. Mengapa yang satu murah dan yang lain mahal, sedangkan keduanya menggunakan bahan yang sama, dimasak dengan cara yang sama? Oh, ternyata ada perbedaan: yang satu memakai kecap impor dari Jepang, yang lain membeli kecap Jepang di supermarket di Indonesia. Tetapi inipun menimbulkan pertanyaan: apa bedanya kecap yang dibeli di Jepang dengan kecap yang dibeli di Indonesia, sedangkan kedua kecap itu mempunyai merek yang sama? Kalau dijelaskan lebih lanjut, kita mungkin menemukan jawaban: kecap yang produksi Jepang memakai kedelai dari Jepang, yang ditanam di tanah di Jepang...dan seterusnya.

Ini adalah ilusi dari nilai, yang diciptakan oleh keyakinan. Dalam ilusi ini, presisi dari pengerjaan menjadi hal yang penting. Mungkin modelnya sama, tetapi yang satu dikerjakan dengan ketelitian tinggi, sedang yang lain ketelitiannya rendah. Karena itu, yang satu harganya akan lebih mahal daripada yang lain. Tetapi ilusi ini menggunakan asumsi bahwa memang segala sesuatu dikerjakan secara demikian, dalam ketelitian dan perbedaan-perbedaan yang berukuran mikron. Yang banyak orang tidak sadari, hal ini tidak terjadi dalam rancangan-rancangan digital. Bisa dikatakan, teknik digital telah mendekonstruksi kualitas. Mari kita lihat.

Pertama-tama yang disebut "digital" adalah teknik yang berdasarkan pada dua kondisi: nol dan satu. Hidup dan mati. Dalam elektronika, itu bisa berarti 0 V dan 5 V. Teknik digital tidak memaksakan presisi tertentu, karena 0V dan 5V juga bisa dinyatakan dengan 0V dan 1,5V. Atau 0V dan 1,6V. Dalam pandangan digital, semua itu sama, tidak perlu presisi sampai beberapa angka dibelakang koma. Ini berbeda dari teknik analog dengan pendekatan linear. Kalau orang memakai motor analog, perbedaan 0,1 V bisa berarti perbedaan kecepatan putaran yang cukup signifikan. Tetapi ketika memakai motor servo digital, perbedaan itu tidak berarti, karena penentunya bukan tegangan melainkan sinyal. Setiap kali ada '1', motor akan bergerak sekian derajat searah atau berlawanan arah jarum jam. Dari penggambaran ini, jelaslah bahwa presisi tegangan tidak lagi signifikan.

Makna dari kualitas juga berubah. Ketika orang masih menggunakan tabung-tabung transistor, reproduksi suara menuntut ketepatan perhitungan penguatan (gain) transistor dan kecepatan responsnya mengikuti frekuensi bunyi yang direproduksi. Sekarang, frekuensi transistor dalam teknik digital sudah jauh melebih frekuensi suara, dan reproduksi suara kini bergantung kepada frekuensi sampling dari analog menjadi digital. Mau suaranya bagus sekali? Buat saja sampling dengan laju 256 Kilo bit per second (Kbps) - tapi ukuran hasilnya pun besar. Mau suaranya biasa saja? 128 Kbps sudah cukup. Mau dibuat hasilnya kecil dan bisa dikirimkan melalui internet? Samplingnya mungkin hanya 32 Kbps, dengan kualitas seperti radio jaman dahulu.

Apakah ada perbedaan antara sampling yang dilakukan di Jepang dengan sampling yang dilakukan di Indonesia? Tidak ada. Dalam teknik digital, logika gerbang-gerbangnya akan selalu sama di manapun juga di atas muka bumi. Kalau kita lihat lebih detil, mungkin sebenarnya buatan Amerika hasilnya lebih presisi: yang disebut 1 adalah 5V dan 0 adalah 0V, beda dengan buatan China yang 1 adalah 4,8V dan 0 adalah -0,1V. Tetapi, toh dalam dunia digital semua ini sah-sah saja dan peralatan yang dimaksud bisa bekerja. Tidak ada perbedaan kualitas dalam produk digital; entah dibuat di Amerika atau di Indonesia, logikanya tetap sama.

Ketika teknik digital berkembang menjadi teknologi komputer, lalu menjadi teknologi informasi, kita menemukan kualitas yang sama antara apa yang dibuat di Amerika dengan hasil salinannya di Jakarta. Antara software asli dengan software bajakan ada kesamaan dan keserupaan, identik. Kualitas program asli dengan program bajakan akan sama persis, karena memang program hasil copy tidak berbeda dari aslinya. Lalu, kalau semuanya serba sama, bagaimana menghargai yang satu lebih daripada yang lain?

Dari sisi hukum, penegakan dilakukan melalui Undang Undang Hak Cipta. Tetapi hal ini bukan suatu proses pemasaran yang positif, karena dengan begitu orang membeli berdasarkan rasa takut. Sekarang orang didorong untuk mencari program gratisan alias open source, yang semakin hari menjadi semakin baik. Secara bisnis, gambaran keuntungan besar dari perusahaan software menjadi semakin kabur. Tetapi ilusi bahwa perusahaan seperti Microsoft selamanya akan tetap untung masih ada serta diwujudkan dalam harga sahamnya yang masih tinggi. Mungkinkah mereka dapat terus menerus mendapat keuntungan?

Teknik digital memberikan kemampuan kepada manusia untuk membuat reproduksi-reproduksi yang persis sama, yang kemudian merambat pada bidang-bidang produksi lain. Sekarang orang bisa mereproduksi produk seperti sepatu dan tas dan pakaian menggunakan teknologi komputer, di mana hasilnya 99,99% sama. Maka, sementara produk fashion mewah dan mahal diciptakan di Paris, dalam hitungan minggu produk serupa dibuat di berbagai pelosok Asia dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga juga bisa dijual murah. Tentu ada perbedaan dalam material yang dipakai, tapi siapa peduli? Toh produk fashion bersifat musiman dan tidak membutuhkan daya tahan sekuat itu.

Kenyataan ini kemudian dimanfaatkan dengan cerdas oleh berbagai pengusaha dan industriawan, sehingga kita melihat pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan sementara Amerika terus menerus mengalami defisit perdagangan. Malah pengusaha komputer di China bisa membeli divisi komputer pribadi IBM, dan sekarang meluncurkan komputer dengan rancangan berkualitas dari IBM dengan harga jauh lebih murah, dijual dengan merek Lenovo. Transaksi ini menjadi suatu kisah tersendiri yang menonjol dalam industri komputer dunia. Bagaimana Amerika tidak semakin kehilangan nilainya? Tetapi, rakyat dan pemerintah Amerika dan negara maju lainnya masih tetap yakin pada ilusi kesuksesan masa depan mereka, serta mengenakan harga tinggi pada produk yang mereka buat. Sementara itu, dunia dalam kenyataannya mulai beralih pada produk-produk dari Asia: China, Taiwan, Korea, Malaysia, Singapore, Indonesia... Sayang Indonesia hanya kebagian yang berteknologi rendah.

Ilusi tentang kesuksesan di masyarakat negara maju di beri bahan bakar hutang, yang membuat mereka membeli apa saja dengan kartu kredit. Mereka yakin bahwa apapun yang dibuat negara maju mempunyai nilai tambah yang besar. Nyatanya mereka terus mengembangkan teknologi digital dan komputer dua kali lipat setiap 2 tahun, dihitung dari jumlah transistor yang dipakai pada sebuah CPU. Kondisi ini sedemikian konsisten seperti yang diramalkan seorang direktur dan co-founder Intel bernama Gordon Moore, yang pada tahun 1965 menyebutnya sebagai "Hukum Moore" dan masih berlaku hingga sekarang. Yang terjadi, justru negara-negara berkembang yang memanfaatkan teknologi ini untuk memajukan industrinya dan membuat barang yang lebih murah dengan keuntungan yang lebih kecil. Dari negara produsen, Amerika dan banyak negara Eropa berbalik menjadi negara pembeli, sementara mereka mengenakan harga yang tinggi untuk segala jasa dan hasil produksi mereka.

Krisis yang terjadi sekarang adalah pecahnya gelembung ilusi ini. Ternyata, hutang rakyat Amerika begitu besar. Ternyata, harga tanah dan rumah tidak dapat terus menerus meningkat. Ternyata, nilai dari jasa dan hasil produksi negara maju tidaklah setinggi harga yang mereka kenakan. Tetapi masalahnya, ilusi ini sudah diterima oleh seluruh dunia sebagai aksioma yang tidak dipertanyakan lagi. Orang di Indonesia masih ada yang berpikir bahwa semua yang dibuat di Amerika itu bagus dan layak berharga mahal -- padahal nyatanya tidak demikian dan harganya kemahalan. Ironisnya, hal seperti ini sudah terjadi waktu gelembung dot.com meletus -- ternyata nilai dari teknologi internet tidaklah setinggi yang diharapkan. Banyak orang di negara maju nyatanya masih terperangkap dalam ilusi kesuksesan.

Pada kita sekarang ada hal-hal yang lebih nyata. Kita memiliki komoditas, yang walaupun harganya sekarang turun tetapi dalam realita masih tetap dibutuhkan oleh manusia yang hidup. Kita memiliki pasar, jumlah penduduk yang bertumbuh. Dan pada kita ada kesanggupan yang sama untuk menangani teknologi digital, karena orang Indonesia juga sanggup berlogika seperti orang lain di seluruh dunia. Ada kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yang serupa, atau justru berkontribusi dalam teknologi informasi. Sementara ilusi dapat hilang, hal-hal fundamental tetap bertahan.

Pertanyaannya, apakah kita juga turut terperangkap dalam ilusi yang serupa?

Tidak ada komentar: