Mat 7:26 Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.
Tahun 2009 dimulai dengan buyarnya segala impian. Orang mengingat bulan Oktober tahun 2008 dengan peristiwa tsunami ekonomi yang melanda berbagai negara secara global. Ingat seperti apa tsunami? Gempa bumi. Terjangan air yang menghancurkan. Banjir. Air yang tiba-tiba datang, sesaat setelah laut menjadi surut. Ironisnya, sebaliknya dari merasa kuatir, justru surutnya air mendatangkan kegembiraan bagi banyak orang di tepi pantai, karena bisa mengumpulkan banyak kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik.
Begitu juga dengan kondisi yang terjadi sebelum tsunami ekonomi. Untuk sesaat, ada orang yang begitu senang karena harga minyak bumi melonjak amat tinggi, mencapai US$ 150 per barrel. Ada banyak yang begitu senang karena harga saham-saham energi dan pertambangan melonjak drastis. Untuk sesaat ada banyak orang yang menjadi jauh lebih kaya. Seperti mendapat kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik. Lalu timbullah laporan-laporan yang mengagetkan semua orang. Pengakuan kegagalan Lehman Brother. Bank raksasa di Amerika, WaMu berantakan, akhirnya diakuisisi dengan harga murah. Merril Lynch tidak ada lagi. Minyak bumi harganya turun, turun, turun sampai dibawah US$ 40 per barrel. Semua lembaga keuangan mengalami masalah. Pabrik-pabrik nyaris bangkrut. Jutaan orang di PHK.
Tiba-tiba saja, kita semua sadar bahwa tsunami ekonomi datang. Dunia tidak siap.
Kita hidup di dunia yang dipenuhi dengan paradigma atau cara pandang pragmatis. Praktis dan instan. Yang langsung terlihat. Sekarang. Cepat. Mudah dirasakan. Ada dalam genggaman. Coba pikirkan.
Pertama, waktu seseorang lulus sekolah, lulus kuliah, apa yang dibawanya? Kebanyakan orang menganggap ijazah adalah hal terpenting. Yang kedua terpenting adalah daftar nilai, atau transkrip. Mengapa? Karena, secara praktis kedua hal ini adalah syarat untuk melamar pekerjaan. Dan kenapa melamar pekerjaan begitu penting? Pertama, orang berharap bisa langsung menyebut dirinya 'pekerja'. Kedua, berharap bisa langsung menerima uang secara tetap dan teratur tiap bulan, yaitu gaji yang diterima.
Jadi, belajar 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 4 tahun kuliah – total 16 tahun – adalah untuk mendapatkan selembar ijazah dan transkrip, untuk berebut mendapatkan pekerjaan. Ini adalah awalnya. Sesudah bekerja, orang menentukan hal-hal seperti waktu kerja sebagai ukuran utama. Masalah terlambat masuk kerja adalah masalah besar, bisa membuat orang mendapat surat peringatan dan lalu dipecat. Sebaliknya, kalau bisa mengikuti sebuah seminar yang diberikan oleh menteri sebagai 'keynote speaker', seorang karyawan bisa mendapat promosi lebih cepat. Kalau seorang sales bisa membuat omzet ekstra besar, dia langsung mendapat penghargaan lebih tinggi.
Jika ijazah dan transkrip menjadi pokok utama, lalu apa gunanya sungguh-sungguh mengerti ilmu pengetahuan? Ada banyak cara untuk mendapat nilai yang baik tanpa perlu menguasai pelajaran. Lalu, kalau sudah bekerja, memenuhi jam kerja bukan hal yang sulit jika hanya itu yang menjadi ukuran. Orang bisa berada di tempat kerja untuk menghabiskan waktu, bukan? Demikian juga dengan mengikuti sebuah seminar; apa yang benar-benar dibawa dari seminar yang diikuti hanya untuk menerima sertifikatnya?
Bagaimana dengan omzet besar? Benar, sekali itu ia berhasil menutup order besar, tetapi apakah hal itu terjadi karena kecakapannya menguasai produk dan jasa serta menjual, atau dari keberaniannya membujuk dan membangun 'relasi' dengan orang lain yang memakai cara-cara yang tidak etis?
Ini adalah buah dari pragmatisme. Pokoknya order besar di tangan, keberhasilan instan tercatat dan diberi penghargaan. Beberapa tahun lalu, dunia dikejutkan dengan manipulasi oleh Enron, yang membuat nilai sahamnya naik dengan 'laba' yang palsu. Di akhir tahun 2008, dunia lebih terkejut lagi oleh manipulasi hedge fund yang dilakukan Bernard Madoff. Siapa yang dapat mengatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi? Manipulasi Ponzi sudah menjadi penyakit menular di seluruh dunia, tapi banyak orang belum juga sembuh dari kebodohannya.
Selama paradigma orang masih sekedar mencari yang langsung, instan, pokoknya asal ada, asal kelihatan hasil, asal bisa disaksikan dan dibuat 'testimony', semua itu sudah dianggap cukup. Tak usah pikir panjang, yang penting untung sekarang! Pertanyaan: apakah orang sungguh-sungguh belajar dari tsunami ekonomi yang baru terjadi?
Tuhan Yesus sudah mengerti sifat manusia ini sejak pertama. Waktu itu, orang-orang dengan takjub mendengarkan kotbah Yesus di atas bukit. Orang merasa bahwa Yesus berbicara dengan penuh kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang monoton dan membosankan, meributkan setiap detil cara hidup agar sesuai dengan hukum Taurat. Benarlah, orang yang mengikuti hukum memang lebih menekankan pada hal-hal yang dilarang, yang tidak sesuai, yang tidak boleh dilanggar. Semua itu adalah rambu-rambu yang diletakkan, sudah ada di sana berabad-abad lamanya. Rambu-rambu yang melarang dan beberapa menyuruh orang berbuat sesuatu, khususnya perkara ritual dan agama.
Orang Yahudi waktu itu sudah merasa baik karena sudah punya rambu, aturan, hukum. Orang sudah merasa oke karena sudah mendengarkan kotbah yang luar biasa. Orang menganggap hidupnya berubah karena telah melakukan suatu ritual. Instan. Praktis. Pragmatis. Orang modern pun merasa sudah aman karena punya tabungan, punya polis asuransi, punya pekerjaan, punya investasi. Punya rumah.
Tuhan Yesus menunjuk pada perumpamaan rumah. Ini adalah hal yang dibutuhkan manusia secara mendasar, suatu tempat untuk menjalani kehidupan. Rumah bukan sekedar suatu bangunan, tapi juga organisasinya, lingkup pengaruhnya, kepentingan-kepentingan dalam kehidupan seorang manusia. Rumah adalah oikos dan pengaturan adalah nemein, pengaturan rumah lalu di sebut oikonomia, ekonomi. Bagaimana rumah diatur? Apa landasannya, fondasinya?
Setelah Tuhan Yesus selesai memberikan pengajaran di atas bukit, Dia memberi peringatan: orang yang mendengarkan tapi tidak melakukannya menjadi orang bodoh. Bodoh kalau hanya merasa cukup dengan memiliki pengalaman mendengar. Orang bodoh merasa istimewa hanya karena pernah berada di bukit dan takjub mendengar pengajaran yang penuh kuasa. Mereka yang berkumpul itu bisa saja terus bercerita kepada kerabat keluarganya, lantas menyatakan, “marilah mengikuti Yesus!” Mereka memasang label, menambah identitas pada ktp mereka dengan kata-kata 'Pengikut Yesus'. Tapi, hanya itu saja. Hidup mereka tetap sama, perilaku mereka tidak berubah.
Sebagian orang lain juga mendengarkan, tetapi bukan hanya itu saja; mereka juga melakukan apa yang Tuhan Yesus ajarkan. Untuk melakukan, prosesnya tidak bisa instan. Orang harus belajar untuk mengenali apa yang selama ini menjadi perilakunya, lalu belajar untuk berubah dari hari ke hari. Beberapa hal bisa berubah dengan cepat. Beberapa hal lain membutuhkan waktu tahunan. Untuk sesaat kelihatannya orang berhasil, tetapi mereka jatuh lagi dan harus mulai lagi dari bawah. Untuk melakukan ajaran Tuhan Yesus, orang harus berkomitmen: mereka harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan berusaha mengikuti Yesus setiap hari.
Ekonomi yang sejati bukan berdasarkan sertifikat seminar dengan keynote speaker yang hebat. Bukan karena punya ijazah akademik setingkat Master atau Doktor. Ada orang yang mempunyai titel Doktor, hebat dalam berargumen dan menyusun tulisan dan mengajari mahasiswa, namun perilakunya menjadi masalah banyak orang. Dia bisa menjabarkan setiap ayat kotbah di bukit dengan fasih, tetapi tidak melakukannya. Dia bisa mengajukan berbagai dalil-dalil ekonomi dengan cara yang mengagumkan tetapi hidupnya sendiri, ekonominya, berantakan. Dia sudah membangun rumahnya, bahkan membuat rumah yang besar, megah, menakjubkan.
Tapi, rumah itu dibangun di atas pasir, yang rubuh diterjang masalah. Herannya, sebelum itu terjadi kita memperhatikan, bahkan mengidolakan. Apa yang kita lihat?
Orang membicarakan dirinya, membuat kita mengagumi pengaturan rumahnya, ekonominya kelihatan dahsyat, serta melihat sebuah gelembung besar raksasa yang berkilauan dibawah lampu-lampu sorot dunia. Semua itu langsung kelihatan, segera bisa nampak dan dinikmati. Kita ingin seperti begitu, berkhayal bahwa kita sendiri memiliki semua kemilau itu, lantas bertanya-tanya bagaimana caranya. Bagaimana cara membangun rumah dengan cepat di atas pasir?
Ini semua mengingatkan kita, para pengikut Tuhan Yesus Kristus. Ada orang menjadi pengikut Kristus, tetapi tidak melakukan ajaran-Nya. Orang ini mempunyai citra yang hebat untuk sesaat, ketika segala sesuatu baik dan tenteram, tidak ada masalah.
Tetapi, kemudian datanglah hujan dan banjir. Datanglah angin yang keras. Seperti akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim, yang baru diakui kegentingannya dalam tiga tahun terakhir padahal para ahli sudah meributkan hal ini sejak belasan tahun lalu. Tuhan Yesus dengan tepat menggambarkan akibat bencana itu pada rumah-rumah yang ada. Rumah yang dibangun di atas batu memang mengalami hal yang berat, tetapi masih tetap berdiri. Rumah yang dibangun di atas pasir hancur rubuh. Terjangan air yang keras menghapus hasil kerja bertahun-tahun. Ijazah yang diperoleh dengan susah payah tiba-tiba saja tidak berarti lagi untuk mencari kerja, nama yang dibangun dalam waktu lama mendadak tidak ada maknanya.
Bayangkan jika yang datang bukan sekedar banjir, tapi tsunami. Kita sebut: tsunami ekonomi. Apa yang tersisa dari rumah yang dibangun di atas pasir? Gelembung besar itu pecah, suaranya memekakkan telinga. Ketika orang sadar dirinya tertipu oleh Madoff, ada yang terus membunuh diri dengan memotong urat nadi tangannya sendiri. Bagi banyak orang lainnya, mereka mengalami gangguan mental dan kejiwaan.
Orang Kristen yang mendengarkan Firman Tuhan tapi tidak melakukan, menjadi orang bodoh. Karena dunia ini berubah dan membawa bencana, tidak ada yang bisa berharap lepas dari segala kesulitan dan masalah sepanjang tinggal di atas muka bumi yang sudah tua ini. Tuhan menjanjikan dunia baru kelak yang sempurna, tapi sekarang kita masih tinggal di sini. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ajarkan, justru karena itulah cara yang benar untuk mengatasinya. Tuhan Yesus adalah kebenaran, adalah jalan, adalah hidup.
Sekarang, banyak rumah yang rubuh. Pengaturan rumah yang kacau. Ekonomi yang berantakan – kita bukan bicara soal ekonomi negara, melainkan ekonomi keluarga. Terjangan masalah keuangan membuat kekacauan yang membingungkan, karena apa yang diandalkan selama ini adalah label dan titel. Yang diutamakan adalah ijazahnya, bukan ilmu pengetahuan untuk diterapkan. Yang dibayangkan adalah menjadi karyawan yang pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan, bukan menjadi orang yang berusaha. Yang dibanggakan adalah citra, sekalipun itu hanya gelembung sesaat saja.
Menyedihkan, tapi diperlukan – ini adalah saatnya rumah diatur ulang. Fondasinya ditanam pada batu, bukan pasir. Bukan tentang label dan titel, bukan sekedar memiliki surat. Bukan sekedar memenuhi absensi pagi dan sore, tanpa mengerjakan sesuatu yang benar-benar berarti. Mari kita melakukan ajaran Tuhan Yesus, berdoa agar kita dimampukan untuk mengikuti-Nya. Mari kita melakukan pekerjaan yang benar, yang produktif, agar nama Tuhan dimuliakan dan hidup kita dibangkitkan.
Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar