Cari Blog Ini

11 Maret 2009

Mari Saling Berbagi

Sejak bertahun-tahun lamanya, orang belajar untuk menjadi pebisnis dengan cara mengalahkan para pesaingnya. Berbagai cara dilakukan, bahkan dengan saling sikut dan saling mematikan. Inilah lingkungan bisnis yang dog-eats-dog. Inilah yang dikatakan "realita bisnis" dan orang menganggap bahwa mereka yang berjiwa lemah dan berhati kecil tidak akan dapat memenangkan persaingan.

Dengan komunikasi dan transportasi yang baik, persaingan menjadi luas. Pengusaha di Jakarta bisa bersaing dengan Surabaya. Orang Bandung bersaing dengan orang Semarang. Orang Indonesia bersaing habis-habisan, sampai akhirnya mengulangi lagi kejadian yang membuat negeri ini terjajah. Persaingan dilakukan dengan menggandeng orang-orang asing.

Tidak ada yang salah dengan asing, sebenarnya, karena sekarang ini seluruh dunia sudah terhubung menjadi ekonomi global. Sudah bukan waktunya lagi orang hanya berpikir sempit dan lokal; ada banyak kesempatan dan penawaran yang tersedia di berbagai penjuru dunia. Tetapi masalahnya menjadi lain ketika untuk memenangkan persaingan, orang Indonesia memakai tangan orang asing untuk mematikan sesama orang Indonesia dalam bisnis. Yang menang, adalah orang asing yang bisa masuk.

Coba kita lihat. Perbankan kita sekarang didominasi kepemilikan asing. Toko raksasa kita adalah jaringan asing semua, yang menggeser peran pasar tradisional. Pendidikan kita yang dianggap hebat adalah yang asing. Kesehatan yang disediakan dan dianggap paling bagus, yaitu yang asing punya. Kita mau pengobatan modern dari Barat, atau sekarang ini mulai dengan pengobatan alternatif dari China. Pengobatan tradisional Indonesia?

Bedanya, kalau di China ilmu pengobatan menjadi aset yang dikelola dengan serius oleh Pemerintah China. Kalau di Indonesia, justru praktek tradisional dilihat dengan sebelah mata, menjadi incaran POM kalau ada yang 'menyimpang'. Tidak ada investasi, tidak ada regulasi yang serius untuk mengembangkan pengobatan tradisional. Untungnya masih ada pengusaha yang berjuang mengangkat jamu dari Indonesia.

Maka kita menemukan keganjilan Ponari. Di sisi yang lain, kita menemukan praktek-prakter yang merugikan dan memeras orang yang dilakukan oleh rumah sakit dan dokter yang berpraktek. Ini adalah suatu praktek yang benar secara medis, tetapi salah secara finansial. Alhasil, mungkin orangnya sembuh tetapi secara finansial terjadi kerugian, bahkan kerusakan. WHO menunjukkan, setiap tahun 100 juta orang menjadi miskin karena harus menebus biaya kesehatan.

Sayang, tidak ada survei yang lengkap tentang jumlah orang Indonesia yang jadi miskin setiap tahun karena harus menebus biaya kesehatan.

Ketika terjadi krisis global, tiba-tiba saja semua keunggulan lenyap. Apa yang semula dilihat sebagai kemampuan bersaing -- competitive advantage -- tidak lagi berarti. Dan tiba-tiba juga, kita bersaing dengan pasar global, di mana orang Indonesia harus bertemu dengan pemain-pemain kelas dunia dan permodalan yang jauh lebih besar dan kuat.

Kita tidak punya banyak kesempatan jika hanya bergerak sendiri. Maka, satu-satunya cara adalah dengan bekerja sama secara kolektif. Itu berarti membuka diri, membagikan kekuatan dan daya saing kita kepada orang-orang lain sebangsa dan setanah air. Itu berarti bersedia merangkul sesama saudara Indonesia, bukan merangkul orang asing.

Lihatlah, saat ini seluruh dunia berusaha keluar dari kemelut krisis global. Pemerintah melakukan penalangan (bailout) bagi perusahaan-perusahaan, untuk menopang daya saing. Pemerintah Indonesia memberi dana talangan untuk membuat orang tetap konsumtif. Apakah program stimulus dari Pemerintah kita membuat pengusaha kita menjadi lebih tangguh?

Kalau memang benar-benar mau berhasil, kita harus saling berbagi dan saling memperkuat produktivitas kita. Pemerintah juga harus menolong rakyat untuk menjadi lebih produktif, bukan sekedar lebih senang atau berterima kasih agar nanti memilih dalam Pemilu 2009.

Ayo, mari saling berbagi....

Tidak ada komentar: