Dalam beberapa hari terakhir, nampaknya keadaan ekonomi dunia mulai 'siuman' setelah terpukul keras. Akhirnya, Wall Street di bulan Maret ini mulai nampak bergerak naik, ditunjukkan oleh indeks Dow Jones Composite Average. Di satu sisi, orang-orang mulai berupaya untuk menjalankan lagi usahanya walaupun harus dengan susah payah. Di sisi lain, pemerintahan Obama memulai programnya untuk memberikan stimulus, yang konon dapat membuat pemulihan terjadi di akhir masa pemerintahan Barack Obama. Begitulah katanya.
Tetapi yang kita lihat sebenarnya, hari ini Amerika melakukan intervensi yang dalam atas sistem ekonominya. Pemerintah AS kini bergerak mengatur pasar, mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan seharusnya bekerja. Memang, sebagian disebabkan oleh sikap tidak bertanggung jawab yang ditunjukkan, seperti ketika para petinggi AIG masih menerima bonus yang bernilai jutaan dollar. Sedemikian tidak bertanggung jawabnya, sehingga Presiden Obama sendiri berusaha menghentikan kekacauan dalam perusahaan yang baru-baru ini kembali menerima persetujuan dana talangan US$ 30 milyar. Total, AIG sudah menerima US$ 173 milyar dalam kurun waktu 6 bulan. Tetapi rupanya para eksekutif itu masih merasa bahwa mereka berhak atas bonus sebagaimana kontrak, sekalipun pembayarannya adalah dari dana talangan! Nyatanya, mereka sendiri sebagai eksekutif bekerja dengan kecerobohan dan keserakahan.
Jadi, dalam kasus ini kita mengerti dan bisa membenarkan kemarahan dari Presiden Obama. Kita bisa mengerti bagaimana Pemerintah mulai masuk dan membuat lebih banyak peraturan. The Fed juga dibuat untuk lebih banyak mengawasi, diberi lebih banyak kewenangan. The Fed kini dapat mendirikan pusat eksekusi dan pengawasan produk derivatif yang dilakukan melalui kontrak atas produk yang berasal dari saham, obligasi, nilai tukar, dan komoditas. Perbaikan kini mulai menunjukkan hasil, dan kita lihat bagaimana raksasa Citigroup bisa mulai mengatasi problemnya. Hal-hal inilah yang mendorong Wall Street mengalami peningkatan, yang diikuti oleh peningkatan di berbagai belahan dunia termasuk Asia, Indonesia.
Sayangnya, perbaikan di pasar saham tidak menunjukkan perbaikan yang lebih luas. Ukuran yang sesungguhnya harus dilihat dari pertukaran produktivitas dengan valuasi, suatu pertambahan nilai dari produksi atau jasa akan menimbulkan keuntungan dalam nilai uang. Mengalirkan uang tanpa meningkatkan produksi akan membuat ilusi, seolah-olah terjadi peningkatan produktivitas. Padahal, uang ini mengalir dari mesin cetak! Jika produktivitas tidak bertambah, pencetakan lebih banyak uang hanya membuat nilai uang semakin turun, atau inflasi. Bayangkan, bagaimana jika program stimulus sebesar US$ 2 Triliun benar-benar dikucurkan?
Hari-hari ini, realita produktivitas adalah penurunan. Di Amerika, orang masih di PHK di mana-mana, setiap bulan PHK mencapai 650.000 orang. Tingkat pengangguran mencapai 8.1%, dugaan yang mencemaskan adalah tahun ini tingkat pengangguran mencapai 10%. Angka yang kurang lebih sama juga terjadi di Eropa. Efeknya mulai terasa oleh sektor riil di Indonesia. Untuk kuartal I (Jan-Mar) 2009, Departemen Perindustrian memprediksi pertumbuhan industri hanya 2.5%. Kadin memprediksi kondisi ini lebih buruk lagi di kuartal II (Apr-Jun).
Stimulus yang dilakukan oleh Pemerintahan Obama memang besar, tetapi pertanyaan besarnya: apakah stimulus itu benar-benar meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek? Kalau programnya diteliti, sebagian masuk ke pendidikan, masuk ke infrastruktur, masuk ke proyek kemanusiaan -- tapi apakah hal-hal ini dapat segera meningkatkan produktivitas? Bagi warga Wall Street, program yang ada tidak menunjukkan keseriusan yang mendalam untuk meningkatkan ekonomi sekarang. Jadi, program stimulus memang membuat sejumlah laporan keuangan perusahaan yang bermasalah kelihatan bagus, tetapi tidak mengubah situasi fundamentalnya. Setelah dana talangan habis, seperti make-up yang luntur, nampak kembali keburukan dari industri yang sakit. Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah Indonesia memang membuat stimulus fiskal sebesar Rp 73,3 Triliun, tetapi kalau kita perhatikan ternyata lebih dari separoh adalah berupa pemotongan pajak. Belanja yang dilakukan dari angka ini hanya 14% saja, atau sekitar Rp 10,3 Triliun -- itupun dilakukan untuk proyek yang efeknya baru terasa dalam jangka panjang, seperti proyek infrastruktur. Bagaimana hal-hal jangka panjang ini dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6% di tahun ini?
Berita yang lebih suram terdengar dari Direktur Perencanaan Makro Bappenas, Bapak Bambang Prijambodo. Melihat indikator yang ada, rupanya perekonomian Indonesia telah positif memasuki era resesi. Indikator seperti perlambatan sektor produksi, penurunan kredit pembiayaan, pelemahan konsumsi domestik, dan perlambatan kinerja ekspor menegaskan kesimpulan Bappenas ini. Dugaan sementara, perlambatan akan terjadi sampai Oktober 2009 -- itu jika Pemilu yang diadakan dapat tuntas dengan aman dan tenteram.
Bagi masyarakat Indonesia, saat-saat ini adalah saat yang krusial untuk melakukan 2 hal. Yang pertama adalah melakukan lindung nilai terhadap kekayaan dan aset yang ada, paling tidak untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Yang kedua adalah melakukan diversifikasi dan leverage untuk meningkatkan produktivitas.
Lindung nilai dibutuhkan untuk memastikan kesejahteraan tetap dapat dipertahankan dan diteruskan kepada keluarga dan generasi penerus. Misalnya, hari ini seseorang telah memiliki Rp. 5 Milyar. Kondisi saat ini masih baik, tetapi penurunan bisa terjadi dengan cepat sehingga mungkin tahun depan nilainya menurun dan menurun lagi. Jika kita memperhatikan sekeliling, mungkin kita akan mendapati orang yang semula memiliki kekayaan berakhir dengan keadaan jatuh miskin. Akibatnya, anak dan cucunya hidup dalam kekurangan!
Untuk mendapatkan lindung nilai yang memadai, semasa orang masih mempunyai kemampuan ia dapat mengambil asuransi jiwa sebesar nilai kekayaan bersihnya sekarang. Dalam contoh di atas, seseorang bisa mengambil dengan besaran uang pertanggungan Rp. 5 Milyar atau lebih. Karena sifatnya yang lindung nilai, perlindungan ini diperoleh dengan cara premi tunggal, sehingga tidak ada resiko gagal bayar atau berhentinya proteksi di kemudian hari. Bila kemudian orang mengalami kemunduran dalam kekayaan bersihnya karena krisis moneter, ada suatu kepastian bahwa ada warisan yang cukup besar yang ditinggalkan kepada keluarga sebagai ahli waris.
Diversifikasi dan leverage menuntut kita semua untuk memikirkan kembali di mana saja kita menaruh uang. Jika selama ini seluruh dana disimpan di bank -- walaupun di bank yang berbeda-beda -- pada prinsipnya kita tidak mempunyai daya ungkit (leverage) finansial sehingga masa depan seluruhnya tergantung pada produktivitas kita sendiri. Ketika kita mengalami krisis, beban seluruhnya harus dipikul sendiri pula, bagaimana kita dapat bertahan melalui masa resesi yang terjadi?
Padahal ada banyak instrumen investasi yang dapat kita peroleh. Diversifikasi dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara resiko dan hasil, antara jangka panjang dan jangka pendek. Sejumlah investasi jangka pendek bahkan dapat memberikan tingkat pengembalian yang cukup tinggi, walaupun tentunya menuntut pengendalian yang lebih besar. Untuk investasi jangka panjang, kita tidak perlu melakukan banyak pengendalian asal kita bisa memilih manajer investasi yang benar-benar kompeten.
Yang terakhir, di saat-saat begini ada suatu hal ironis yang terjadi, menyangkut kepercayaan. Sejumlah orang menjadi orang yang tidak percaya -- mereka maunya hanya melihat ada uang di sana sini, baru percaya. Sebagian lain, menjadi orang yang percaya betul tentang satu tempat sehingga tidak melihat bagaimana kinerja yang sesungguhnya.
Jika kita menjadi orang yang tidak percaya, maka pada akhirnya kita akan terjebak dengan nilai nominal uang, sementara daya beli sesungguhnya memudar dengan cepat. Kalau sudah demikian, apa gunanya sikap tidak percaya yang serba-melindungi-uang itu? Sebaliknya, jika kita menjadi orang yang percaya total (dan agak membabi buta), tidak ada lagi pengendalian yang dilakukan dan tiba-tiba saja kita terkejut oleh situasi yang terjadi.
Kiranya, kita tidak jatuh dalam situasi yang ironis ini, yang berakhir dengan tererosinya masa depan yang kita harapkan. Kini adalah kesempatan sebelum resesi benar-benar meledak dan membuat kita begitu sibuk serta tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar