Perkembangan menarik di Indonesia. Adanya Tax Amnesty membuat beberapa reaksi. Bagi negara2 yang selama ini memperoleh dana dari Indonesia, mereka ketar ketir. Bila Tax Amnesty (TA) berjalan dan menarik dana dari negaranya, akan jadi masalah ekonomi. Jadi mereka melakukan lobi dan entah apa, untuk menggagalkan TA, atau untuk membuat TA jadi tidak menarik.
Di sisi lain, investor melihat Indonesia bisa terbang sangat cepat dengan "rocket fuel" dana sangat besar yang dibawa masuk jika TA berjalan. Indonesia masih sangat luas, sangat banyak daerah yang belum berkembang. Jadi ada dana banyak, ada banyak juga daerah bisa dibangun. Keunggulan Indonesia: Stabil dalam pemerintahan, demokratis, dan sekarang kuat membersihkan diri dari korupsi. Aturan yang lebih adil dan terbuka. Plus, jumlah penduduk yang banyak. Saat ini, 252 juta jiwa, dan masih bertumbuh.
Bandingkan dengan negara maju yang tidak ada tempat untuk dibangun besar-besaran, yang penduduknya malas menikah, malas berkeluarga dan punya anak, yang secara statistik orang tuanya banyak sekali.
Demografi adalah akar masalah ekonomi saat ini: Orang muda yg lebih sedikit harus menanggung orang tua dan anak-anak mereka, sementara ada hutang besar yang juga harus dibayar. Hutang yang timbul dari skema serupa Ponzi, tapi ukurannya raksasa, dilakukan oleh negara.
Indonesia bebas dari semua penyakit itu. Hutang Indonesia masih dibawah 60% PDB, dan masih berupa hutang produktif. Bukan hutang untuk bayar gaji PNS, yang merupakan hutang konsumtif.
Tidak heran kalau dana dari luar negeri terus masuk, investor yang mau ambil bagian ketika ekonomi Indonesia melesat. Lihat bagaimana IHSG tetap positif ketika yang lain negatif?
Sudah cukup lama kita duduk sedih dalam kondisi investasi suram dunia. Kini waktunya untuk bangkit dan melihat ada kesempatan bagus yang mungkin segera terjadi.... Tentunya masih ada perjuangan, karena banyak yang tidak mau TA jadi kenyataan hebat, yang berarti musibah hebat bagi mereka....
Mari berdoa dan bersemangat!
Donny A. Wiguna, ST, MA, CFP® QWP® AEPP® QFE. Perencana Keuangan Profesional. Pengajar Keuangan. Pengikut Kristus.
Cari Blog Ini
29 April 2016
16 April 2016
Sektor Jasa Keuangan dan OJK
SEKTOR JASA KEUANGAN
-- adalah area di mana produk keuangan diluncurkan. Di Indonesia, pengawasan
dan regulasi SJK ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan kita saat ini
bisa melihat Master Plan dari OJK untuk SJK dari tahun 2015-2019. Bagian ini penting
karena OJK, yang baru muncul 2014, kini mengambil peran sentral dan penting
dalam sektor jasa keuangan di Indonesia.
Hanya, yang memahami
situasinya, mungkin masih mengangkat alis. Atau angkat tangan? Masih ingat, dua
tahun lalu orang meributkan soal bagian yang harus dibayarkan oleh Lembaga Jasa
Keuangan (LJK) kepada OJK. Lha, ini regulator atau mau pungut memungut dana
saja dari perusahaan keuangan? Ahh…. Itu salah paham yang terjadi dua tahun
lalu.
Ada lima kelompok
yang ditangani OJK. Ada perbankan, ada perusahaan pembiayaan, ada perusahaan
sekuritas dan manajemen aset, ada perusahaan asuransi, dan ada bursa efek juga
bursa berjangka. Eh, dari sudut pandang OJK, pembagiannya adalah Perbankan,
Pasar Modal, IKNB, dan Syariah. OJK juga menangani Konsumen; bagaimana mendidik
konsumen untuk lebih paham.
Ribet-ribetnya:
belum tentu para pelaku, para agen, di dalam SJK ini sungguh memahami
urusannya. Berapa banyak agen bank yang sungguh-sungguh mengerti dan bisa
membantu nasabah untuk membuat perhitungan usaha? Berapa banyak agen asuransi
jiwa yang sungguh-sungguh dapat melayani nasabah memperoleh asuransi jiwa yang
sesuai?
Ok deh. Bicara fakta
ya. Faktanya, orang modern tidak mungkin lepas dari jasa keuangan. Jika mau
bertransaksi, jaman sekarang ini sangat butuh jasa bank. Butuh taruh dana di
bank. Butuh buat penjaminan di bank. Sebaiknya menaruh uang dan menarik uang
melalui bank -- daripada memakai jasa tetangga.
Jadi, ayo pakai jasa
bank! Kalau kantor cabang nggak ada, kan sekarang ada program LAKU PANDAI yang
bisa bawa bank ke depan pintu toko. Manfaatkan dong? Tapi, namanya transaksi ya
ini berjangka pendek.
Untuk jangka
panjang? Sebaiknya menaruh di instrumen investasi; saya menyukai REKSA DANA,
yang bahasa Inggrisnya adalah Mutual Fund. Ini adalah suatu Kontrak Investasi
Kolektif, di mana dana dikelola oleh Manajer Investasi dari suatu perusahaan
Manajemen Aset. Jadi, kalau berpikir mau menabung jangka panjang, lebih dari 1
tahun, ya taruh di Reksa Dana sajalah.
Asuransi sangat
penting sebagai penjamin, memastikan adanya PERTANGGUNGAN di saat terjadi
musibah. Maksudnya begini: kalau terkena musibah (dan semua musibah itu bakal
mengambil duit Anda), ada yang menanggung sebagian atau seluruh pengeluaran
yang besar itu. Kalau nggak ditanggung orang lain, ya siap-siap menanggung
sendiri semua kehilangan itu.
Pusingnya begini:
buat menabung jangka panjang, orang memilih taruh di deposito. Lha, itu kan
jangka pendek? Tapi mereka memakai fasilitas ARO - Automatic Roll Over, dalam
deposito yang tidak lagi dicek, tidak lagi dikendalikan, dan tidak lagi dilihat
apakah bunga riilnya positif atau negatif. Jadi bank dikasih banyak uang yang
tidak mengalir. Tahu apa yang terjadi ketika sang pemilik uang meninggal dunia?
Untuk itu, ada agen
asuransi yang mengajari bahwa lebih baik menabung jangka panjang -- misalnya
untuk biaya pensiun, di Asuransi Jiwa. Nah dibuatlah perbandingan begini: kalau
nabung di bank dapatnya cuma segini, nabung di asuransi unit link dapatnya segini,
lebih besar! Ada salah paham besar di sini: yang namanya investasi itu tidak
pasti, tidak dijamin. Kalau ada ilustrasi asuransi unit link, baca baik-baik
HASIL INVESTASI TIDAK DIJAMIN. Maka tidak bisa dibilang bahwa hasilnya akan
segini dan nanti pasti jadi segini.
Lagipula, sudah
sadar belum, kalau dalam program asuransi unit link, investasi berupa unit itu
akan OTOMATIS dicairkan secara periodik SEPANJANG KONTRAK untuk membayar biaya
asuransi? Jadi misalnya orang berinvestasi untuk pensiun, tapi investasinya
secara periodik dicairkan untuk bayar biaya asuransi. Ini bukan tipuan, MEMANG
seperti itulah Asuransi Unit Link.
Terbayang.… ini ayah dan bunda setengah mati menabung untuk ananda nanti kuliah, tanpa sadar unitnya banyak dihabiskan untuk biaya asuransi, karena agennya dengan manis membujuk untuk mengambil banyak manfaat tambahan dalam asuransi, yang semuanya bakal meminta dibayar biaya asuransi. Soalnya, bagi sang agen, semakin banyak manfaat tambahan, semakin banyak pula komisi didapatkan. Miris 'kan?
Terbayang.… ini ayah dan bunda setengah mati menabung untuk ananda nanti kuliah, tanpa sadar unitnya banyak dihabiskan untuk biaya asuransi, karena agennya dengan manis membujuk untuk mengambil banyak manfaat tambahan dalam asuransi, yang semuanya bakal meminta dibayar biaya asuransi. Soalnya, bagi sang agen, semakin banyak manfaat tambahan, semakin banyak pula komisi didapatkan. Miris 'kan?
Masih mau, menabung
buat biaya pendidikan nanti, di produk Asuransi? Begini lho: jika MEMANG mau
berinvestasi, pilihlah produk investasi. Sekali lagi: sebaiknya menaruh di
instrumen investasi seperti Reksa Dana. Atau kalau punya kemampuan dan
kompetensi cukup, belilah SAHAM. Tuh, OJK juga buat program NABUNG SAHAM….
Susahnya, banyak
yang tidak paham ya.
Seperti, banyak
orang yang gagal paham bahwa Asuransi itu memberikan PERTANGGUNGAN yang sangat
dibutuhkan dalam kondisi terjadi musibah. Semua orang punya risiko, tidak bisa
dihindari. Satu-satunya jasa keuangan yang memberi dana saat musibah terjadi
adalah Asuransi. Yang lain, kalau misalnya punya kredit ke bank, itu kredit
langsung JATUH TEMPO ketika debitor meninggal dunia.
Jadi, yang
terpenting dari Asuransi adalah UANG PERTANGGUNGAN yang diberikan. Dalam
Asuransi Jiwa yang sampai usia 100 tahun, besarnya Uang Pertanggungan (UP) itu
hampir pasti akan diterima, karena jarang yang hidup lebih dari 99 tahun. Dalam
kepastian itu, orang bisa hitung berapa premi yang dibayarkan dibanding berapa
UP yang diterima oleh keluarga…. Dan dengan demikian, Asuransi Jiwa juga
menjadi instrumen untuk pemindahan kekayaan yang sangat efisien, bebas pajak
dan bebas dari biaya hukum. (Soal ini, nanti kapan2 ditulis lebih banyak).
Kondisi saat ini
adalah: banyak yang salah jual, banyak yang salah beli. Produk keuangan itu
bagus, tapi kalau ada salah jual, ada salah beli, dan pastinya salah paham --
maka bisa terjadi kerugian yang sangat menyebalkan.
Peran OJK sangat
penting sebagai regulator, yang memberikan kontribusi untuk mengembangkan
pembangunan. Dengan OJK menjaga kestabilan sektor jasa keuangan, masyarakat
akan lebih aman untuk mengambil produk jasa keuangan -- karena kalau ada yang
ngawur, bisa mengadu ke OJK 'kan? Masyarakat bisa bilang ke OJK, ini produk
ngawur, saya dirugikan! -- maka OJK bisa datang untuk menyelidiki.
Bisa saja,
perusahaan memang salah. Atau agennya salah. Atau konsumennya yang salah. Ada
aturan, dan kita bisa lihat apakah peraturan diikuti, atau dilanggar. Eh. Belum
tentu perusahaan atau agen salah ya. Yang mau nakal terhadap lembaga keuangan
juga ada. Rampok ada di mana-mana…..
UU memberikan
kekuasaan kepada OJK. UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, misalnya,
memberi banyak kekuasaan kepada OJK untuk mengatur. UU itu juga memberikan
ancaman pidana kepada agen atau pihak manapun yang memanipulasi nasabah, yang
merugikan nasabah. Jadi, merasa ditipu oleh agen asuransi? Sekarang bisa datang
ke polisi dan buat LP, atas pelanggaran UU No. 40 Tahun 2014. Ancaman max
hukuman 5 Milyar dan/atau 5 tahun penjara…..
Nggak main-main jadi
agen asuransi ya.
Hal-hal begini,
seharusnya memberikan ketentraman bagi nasabah. Semoga agen yang tidak kompeten
menjadi takut karena ancaman ini dan terus keluar. Maka hanya agen profesional
yang betul-betul mampu yang datang melayani masyarakat. Lebih baik bagi masyarakat
'kan?
Profesionalisme
dibutuhkan, karena kita sedang mengalami situasi yang sukar dalam perekonomian
global. Pilihan yang salah, membawa akibat yang berat. Misalnya begini: dulu
orang tua kita nabung sebisanya, itu cukup untuk memasukkan kita masuk kuliah.
Sekarang, jika kita jadi orang tua, program menabung/berinvestasi harus dibuat
secara serius. Kalau tidak begitu, tidak cukup uang untuk memasukkan anak kita
kuliah.
Asuransi juga
begitu: dulu kalau ada yang kena musibah, banyak keluarga yang datang dan
membantu, juga secara finansial. Untuk pemakaman juga ada uang patungan. Tapi
sekarang, kalau sang ayah meninggal dunia…. Ibu dan anak-anak harus menanggung
sendiri. Mana keluarga besar yang datang membantu? Malah, keluarga harus
keluarkan biaya untuk makan-makan para keluarga yang datang melayat…. Biaya
final jaman sekarang mahal, dan semakin mahal. Kalau asuransi jiwa cuma 10 - 50
juta, mana cukup?
Melek finansial --
literasi finansial -- menjadi suatu kebutuhan yang semakin mendesak. Umm…. OJK
sampai di mana ya, untuk ini? Semoga, OJK bisa bekerja lebih cepat, lebih
profesional, dan tidak terus bingung karena aturan-aturan lama yang tidak cocok
dengan kondisi lapangan….
Namun, nampaknya
kita harus bersabar…. Apalagi dengan para pembuat UU yang nampaknya tidak
begitu paham dengan seluk beluk riil dari kondisi ekonomi dan masyarakat
Indonesia. Dan coba lihat, bukankah ruang media kita masih penuh dengan
keributan tentang Sumber Waras -- yang sebenarnya lebih memperlihatkan betapa
TIDAK KOMPETEN nya BPK dalam bekerja?
Sampai, tidak tahu
lagi, apa sih pentingnya semua pemberitaan dan keramaian begini?
Ini bagus untuk disimpan: http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Master-Plan-Sektor-Jasa-Keuangan-Indonesia-2015-2019.aspx
Ini bagus untuk disimpan: http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Master-Plan-Sektor-Jasa-Keuangan-Indonesia-2015-2019.aspx
Indonesia - Quo Vadis?
INDONESIA berada di
tengah ekonomi global yang lelah. Seperti orang yang terus-menerus harus meniup
balon yang bocor, tapi harus dijaga tetap mengembang. Kalau balon ini kempes,
ekonomi kempes, hancurlah gaya hidup dan kehidupan banyak negara, banyak rakyat
yang akan menderita. Tapi terus menerus meniup balon bocor ini selalu
melelahkan…
Perbankan, bank
sentral, mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan moneter. Sudah tahu
belum, sekarang Bank Indonesia akan menetapkan BI Rate dengan cara berbeda?
Tadinya, BI Rate berlaku untuk jangka waktu 12 bulan. Jadi misalnya mau taruh
duit di deposito, diberi bunga yang hitungannya per tahun (walau depositonya
hanya 1 bulan). Mulai bulan Agustus 2016, yang jadi patokan adalah suku bunga
pinjaman antar-bank yang dikenal sebagai
7-days-reverse-repo-rate.
Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.
Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!
Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.
Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!
Nah, repot-repotnya,
orang masih menaruh duit di bank, seperti deposito, untuk jangka panjang. Kalau
boleh menduga-duga, nanti perubahan BI Rate bisa lebih seru, jadi bunga
deposito juga bisa lebih fluktuatif dari bulan ke bulan. Siapa bilang menaruh
duit di deposito itu stabil dan garis lurus tetap sama? Sebaiknya orang taruh
duit jangka panjang di instrumen investasi, seperti Reksa Dana.
Namun gimana nih,
saat ini dana di reksa dana kebanyakan datang dari institusi baik perusahaan,
yayasan, maupun dana pensiun, bukan perorangan. Jumlah reksa dana dari
perorangan hanya berapa % ya? (belum dapat datanya).
Lantas, ada juga
urusan perpajakan. Pemerintah nampak bingung karena ingin menarik pajak
sekaligus menjaga konsumsi masyarakat. Maka, Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
naik dan diwacanakan naik lagi, sementara kegiatan Dirjen Pajak mengejar WP
Perorangan semakin giat. Yang bayar pajak tentunya adalah para WP yang
pendapatannya di atas 3 jt per bulan (saat ini -- diwacanakan nanti jadi 4,5 jt
per bulan).
Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.
Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.
Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?
Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?
Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.
Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.
Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?
Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?
Daripada jadi
pengusaha. Waktu ada pendapatan besar, harus dilaporkan dan dipajaki sama
besarnya seperti karyawan. Tapi waktu ada kerugian, akibatnya pajaknya lebih
kecil -- terus datanglah petugas pajak dan mencari tahu kenapa pendapatan
menurun, kenapa bayar pajak lebih sedikit? Maunya pajak tinggi terus, makin
tinggi terus….
Dalam ekonomi
seperti sekarang di mana tingkat risiko lebih tinggi, pengusaha mempunyai beban
berat mempertahankan tingkat perputaran usaha. Mau sama saja sudah susah --
bagaimana caranya bisa membuat usaha bertumbuh? Tapi orang pajak punya target
dalam memperoleh pungutan pajak. Ini kan jadi pilar penopang APBN, apalagi
dengan kondisi harga minyak rendah, harga komoditi rendah, dan pajak dari
ekspor tidak bisa diharapkan sebesar dahulu.
Dengan PTKP
dinaikkan ke 4,5 jt per bulan, sebagian besar rakyat Indonesia tidak bayar
pajak. Yang sebagian kecil harus bayar pajak dengan taat -- bukan saja laba,
tapi juga aset dikenakan pajak. Bagi orang yang punya aset, mau taruh di mana?
Menaruh aset di negara-negara yang tidak memajaki aset dan kekayaan menjadi
menarik (termasuk di Amerika Serikat -- di sana aset nggak dipajaki).
Tax Amnesty adalah
usaha 'mengampuni kesalahan' orang yang menaruh aset di luar negeri, sehingga
kekayaannya itu tidak dikenakan pajak. Harapannya, dengan tax amnesty maka
asetnya boleh kembali ke Indonesia…. Nggak dipajaki atas apa yang sudah terjadi
di masa lalu, tapi untuk selanjutnya bisa dikenakan pajak dong?! Lagipula, aset
yang jumlahnya sangat besar itu -- konon mencapai 11 quaddrilliun -- akan
membuat dorongan yang sangat besar dalam likuiditas di Indonesia; dan utamanya
adalah selanjutnya menjadi objek pajak.
Kemarin, dari
konsultasi DPR dengan Presiden, RUU Tax Amnesty nampaknya akan segera
dikeluarkan sebagai UU.
Sejujurnya saya
merasa takut dengan kondisi yang mungkin terjadi. Bayangkan, semisal ada duit
11.000 Triliun (buat perbandingan, total dana pihak ketiga di perbankan
Indonesia sekitar 4.000 Triliun) masuk ke Indonesia…. Duit itu kan milik
institusi dan individu. Lari ke mana? Taruh di Bank?
Kalau taruh di bank,
itu bank nya kelimpungan kebanyakan duit. Mau dikemanain duitnya? Siapa yang
mau pinjam duit, yang punya tingkat risiko sepadan?
Kalau ditaruh ke
pasar, misalnya terus dibelanjakan properti, maka harga properti akan terus
terbang ke langit, sampai menjadi gelembung yang nggak masuk akal.
Kalau ditaruh ke
pasar modal, terjadi gelembung pasar modal yang gila-gilaan -- karena semua
investor (termasuk saya) pasti akan terus beli saham apapun, yang harganya akan
naik jauh berlipat-lipat dibandingkan earning dari perusahaan. Mau beli saham
dengan PER berapa?
Inflasi, jadi
hyper-inflation. Kalau berpikir ada duit banyak masuk Indonesia itu lantas
bagus, mungkin di depannya saja nampak bagus. Sudah tahu belum, ada orang mati
karena kebanyakan makan? Ini perbankan sedang berusaha membuat duit nggak
banyak dan nggak lama2 di perbankan kok, dengan pengaturan BI Rate baru itu.
Hampir pasti, duit
yang banyak itu nggak akan masuk secara merata ke akar rumput, terbagi ke
seluruh rakyat. Kemampuan dan kompetensi orang tetap akan jadi pembeda -- yang
terjadi adalah gap yang lebih besar antara orang kaya dan miskin, parameternya
coba cek koefisien gini yang terjadi.
Tapi orang pajak kan punya target ya….
Tapi orang pajak kan punya target ya….
Bagaimana ya, nasib
rakyat Indonesia?
Secular Stagnation
SECULAR STAGNATION
-- adalah kondisi pertumbuhan ekonomi rendah sekali di mana dalam tingkat
kekayaan yang besar, jumlah tabungan melebihi jumlah investasi jangka menengah
- panjang. Artinya, uang tersimpan lebih banyak di brankas daripada diputarkan
untuk bangun (misalnya) infrastruktur dan pendidikan, yang sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi menurun,
pendapatan per kapita menurun. Bisa dibilang: ekonominya stagnan. Bagi yang
punyai duit di tabungan, nggak mau nilainya menurun dong…. Jadi mereka terus
mengalihkan kekayaannya di negara yang pertumbuhannya masih bagus. Akibatnya,
duit mengalir keluar dan menyebabkan devaluasi mata uang, kalau jumlah uang
keluar banyak sekali.
Devaluasi mata uang
itu membuat nilai barang ekspor jadi menurun, dan terus meningkatkan pesanan,
membuat pabrik berjalan, orang bekerja, dan pendapatan tetap dijaga nggak
jeblok-jeblok amat, pertumbuhan ekonomi nggak sampai negatif -- masih berkisar
di angka 0%.
Cerita ini terjadi di berbagai negara maju, di Eropa dan Jepang. Lihat saja Jepang: ekonomi Jepang parah, tapi investor Jepang banyak taruh duit di Indonesia. Dan bagi negara-negara ini, penguatan mata uang adalah masalah. Mereka mau supaya terjadi devaluasi -- perang mata uang adalah kompetisi saling menurunkan nilai mata uangnya. Mungkin cuma orang Indonesia saja yang suka kalau mata uang Rupiah menguat….
Cerita ini terjadi di berbagai negara maju, di Eropa dan Jepang. Lihat saja Jepang: ekonomi Jepang parah, tapi investor Jepang banyak taruh duit di Indonesia. Dan bagi negara-negara ini, penguatan mata uang adalah masalah. Mereka mau supaya terjadi devaluasi -- perang mata uang adalah kompetisi saling menurunkan nilai mata uangnya. Mungkin cuma orang Indonesia saja yang suka kalau mata uang Rupiah menguat….
Bagi negara seperti
Jepang, duit dikeluarkan dari sistem perbankan dengan membuat rate suku bunga
negatif; artinya orang DIHUKUM karena menaruh duitnya di perbankan Jepang.
Begitu juga dengan Eurozone. Ya itu duit terus dikeluarkan…. Dan untuk itu bank
sentralnya tidak berbuat apa-apa. Tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang
mereka ambil.
Sementara, uang
mengalir kembali ke AS, dan dengan ragu-ragu masuk ke pasar saham serta
investasi lain. Masalahnya, dengan Secular Stagnation maka nilai barang Amrik
jadi tinggi, biaya dan harga barang & jasa Amrik tinggi…. Dan The Fed yang
neracanya seperti gajah bengkak itu, pelan-pelan tapi pasti menaikkan suku
bunganya. Bagi The Fed, sudah tidak banyak pilihan, opsi mereka terbatas. Mau
ikutan bikin duit keluar dari Amerika? Itu bisa meruntuhkan pasar saham. Mau
menahan duit terus ada di dalam negeri? Harga barang menjadi tinggi.
Logika ekonominya
gampang sih. Di mana duit berkumpul, di sana terjadi kenaikan harga yang
menyebabkan barang nggak kompetitif lagi. Kalau mau tetap ada pesanan, tetap
ada pertumbuhan ekonomi, maka duit nggak boleh kumpul terlalu banyak terlalu
lama.
Tapi secular stagnation ini bikin frustasi para pemegang duit. Kalau berlama-lama begini, kepercayaan kepada para pembuat kebijakan menjadi semakin terkikis. Para pembuat kebijakan bank sentral itu mungkin membuat keputusan yang secara politis bagus buat kebanyakan rakyat, 80% penduduk yang hidup dari gaji mereka. Tapi, itu jelek untuk 5% high-net-worth-individual investors yang punya uang sedemikian banyak dan ingin melihat ada pertumbuhan. Mereka kalau mau charity ya charity, yang bisa dipakai potong pajak. Nggak mau disuruh menerima rate negatif.
Tapi secular stagnation ini bikin frustasi para pemegang duit. Kalau berlama-lama begini, kepercayaan kepada para pembuat kebijakan menjadi semakin terkikis. Para pembuat kebijakan bank sentral itu mungkin membuat keputusan yang secara politis bagus buat kebanyakan rakyat, 80% penduduk yang hidup dari gaji mereka. Tapi, itu jelek untuk 5% high-net-worth-individual investors yang punya uang sedemikian banyak dan ingin melihat ada pertumbuhan. Mereka kalau mau charity ya charity, yang bisa dipakai potong pajak. Nggak mau disuruh menerima rate negatif.
Jadi…. Ada
kemungkinan pasar saham di amrik bakal anjlok, yang tidak selalu berarti bursa
efek Indonesia ikutan anjlok…. Haeh. Kondisinya susah
diprediksi.
Moga-moga nggak lelah membaca posting begini…. Hahaha (NEXT: bagaimana Indonesia)
Moga-moga nggak lelah membaca posting begini…. Hahaha (NEXT: bagaimana Indonesia)
12 April 2016
Panama Papers
PANAMA PAPERS
membuat mata terbuka tentang praktek orang-orang kaya untuk menyelamatkan
kekayaannya dari incaran pajak. Ok. Sebelum lebih lanjut, lebih dahulu harus
dipahami ada dua hal yang berbeda soal tidak membayar pajak ini. Yang pertama
adalah PENGGELAPAN PAJAK (Tax Evasion), yang merupakan kriminal. Yang kedua
adalah PENGHINDARAN PAJAK (Tax Avoidance), yang bisa saja sepenuhnya
legal.
Penggelapan pajak adalah, situasi dimana orang atau badan usaha seharusnya membayar pajak, namun melakukan berbagai manipulasi dan pat pat gulipat, sehingga tidak bayar pajak atau membayar pajak lebih kecil. Seringkali caranya kerjasama dengan petugas pajak…. Itu adalah tindakan kriminal, berakhir di penjara.
Penggelapan pajak adalah, situasi dimana orang atau badan usaha seharusnya membayar pajak, namun melakukan berbagai manipulasi dan pat pat gulipat, sehingga tidak bayar pajak atau membayar pajak lebih kecil. Seringkali caranya kerjasama dengan petugas pajak…. Itu adalah tindakan kriminal, berakhir di penjara.
Penghindaran pajak
adalah, situasi dimana orang mengatur badan atau aset dan hasilnya menjadi
BUKAN objek pajak, atau setidaknya hanya sebagian membayar pajak, melalui
penetapan yang SAH dan diijinkan. Ini bukan tindakan kriminal, namun secara
moral patut dipertanyakan.
Kenapa patut dipertanyakan? Karena, secara moral, seorang warganegara yang baik akan bersedia membela dan membangun negaranya dengan rela membayar pajak secara penuh. Seharusnya, selayaknya, pajak dibayar agar negara memperoleh cukup pendapatan untuk bekerja, menjaga kehidupan seluruh rakyat.
Kenapa patut dipertanyakan? Karena, secara moral, seorang warganegara yang baik akan bersedia membela dan membangun negaranya dengan rela membayar pajak secara penuh. Seharusnya, selayaknya, pajak dibayar agar negara memperoleh cukup pendapatan untuk bekerja, menjaga kehidupan seluruh rakyat.
Di sisi dirjen
pajak, pokok utamanya sederhana: ada target yang harus dicapai, di mana
penerimaan pajak menjadi salah satu pendukung utama APBN. Jadi, harus
dipikirkan bagaimana pungutan pajak bisa dilakukan lebih banyak, lebih luas --
supaya anggaran belanja negara tercukupi.
Di sisi wajib
pajak…. Apakah seseorang yang bekerja lebih banyak, lebih keras, menjadi wajib
untuk mendukung bangsa dan negara ini? Mereka yang berjerih lelah membangun
perekonomian, patutkah mereka diberi hadiah berupa dikejar-kejar untuk bayar
pajak?
Sedangkan, sebagian
besar orang di usia kerja, yang pendapatannya 3 jt per bulan, tidak dikenakan
pajak (PTKP adalah 3 jt per bulan atau 36 jt per tahun)?
Pertanyaannya
berlanjut menjadi, masih adakah hak azasi seorang untuk memiliki, menyimpan,
dan mengelola hartanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya? Jika masih ada
hak azasi itu, maka apa yang melarangnya untuk menaruh hartanya di luar negeri?
Orang Indonesia bisa menaruh harta di mana saja, kan?
Mereka menaruh harta
di luar negeri, dengan cara membentuk perusahaan asing. Sahamnya dibuat atas
nama warganegara asing tempat perusahaan didirikan, sementara si pemilik harta
sebenarnya hanya menjadi direktur pelaksana. "Perusahaan asing" ini
terus bekerja di Indonesia, mendapatkan untung, dan tentunya membayar pajak
badan secara normal (bukan menggelapkan pajak lho).
Karena ada keuntungan, maka ada dividen dari saham. Keuntungan ini secara hukum diterima oleh warganegara asing tadi, tapi itu hanya nama saja…. Dan oleh orang Indonesia ini dana itu terus dibuatkan menjadi aset lain, perusahaan lain, juga di luar negeri. Dari waktu ke waktu, kekayaannya bertambah.
Karena ada keuntungan, maka ada dividen dari saham. Keuntungan ini secara hukum diterima oleh warganegara asing tadi, tapi itu hanya nama saja…. Dan oleh orang Indonesia ini dana itu terus dibuatkan menjadi aset lain, perusahaan lain, juga di luar negeri. Dari waktu ke waktu, kekayaannya bertambah.
Orang Indonesia ini
akan 'dibayari' oleh perusahaan asing yang didirikannya -- itu adalah biaya
operasional yang mengurangi laba. Tentunya sebagai 'pegawai' ia akan dikenakan
pajak penghasilan -- tetapi bukan dihitung dari segala kekayaan yang sebenarnya.
Pajak yang dibayarnya jauh lebih kecil daripada peningkatan kekayaan yang
dimilikinya. Perusahaannya terus bertambah, bertumbuh, berada di luar negeri.
Perusahaan Panama
itu menjadi penyedia jasa untuk membuat semua hal ini bisa terjadi.
Secara hukum, semua
ketentuan perpajakan dipenuhi. Tidak ada penggelapan pajak. Kekayaan, aset
perusahaan bertumbuh di negara yang tidak mengenakan pajak pada aset dan
kekayaan. Negara-negara ini hanya memungut sebagian kecil dari pendapatan laba
perusahaan, untuk menutupi biaya negeri yang kecil mungil dan berpenduduk tidak
sampai satu juta orang itu. Kalaupun mau melakukan 'pelacakan' kekayaan, nama
orang Indonesia tidak muncul dalam dokumen pemilik di akte. Perjanjian antara
orang Indonesia dan warga asing yang ditunjuk, itu adalah perjanjian khusus
berdua saja, yang tidak diumumkan.
Jadi….. Kalau tidak
ada pelanggaran hukum, maka tidak bisa dilakukan tindakan hukum. Namun secara
moral, hal ini mengganggu -- dan muncul usaha untuk mengambil kembali
'kekayaan' itu…. Masalahnya, secara politik, bagaimana menyelaraskan antara hak
individu dengan kebutuhan komunitas? Jika secara politik, demi popularitas
partai politik, dilakukan langkah-langkah represif, misalnya memenjarakan orang
kaya itu untuk memaksanya….. Apa dasar hukum untuk memenjarakan orang karena
melakukan penghindaran pajak, dan secara hukum memasang nama orang lain sebagai
pemilik yang sah?
Lebih jauh lagi,
tindakan represif hanya membuat orang-orang kaya itu terus pergi dari
Indonesia, dan menarik semua aset dan usaha mereka. Sebagai pemilik yang
sebenarnya, bukankah mereka bisa melakukan hal itu? Toh masih ada negara lain
di atas muka bumi ini. Pemerintah tidak bisa menjadi lebih pandai daripada
orang yang memikirkan cara untuk memperoleh kekayaannya.
Orang Indonesia
tidak harus punya aset di Indonesia.
Orang Indonesia
tidak harus berbisnis di Indonesia.
Orang Indonesia
tidak harus berbahasa Indonesia.
Orang Indonesia bisa
berubah menjadi bukan Indonesia.
Yang tertinggal
hanya orang Indonesia yang biasa-biasa saja, dan bisanya cari makan -- bukan
menyediakan pekerjaan. Jadi, siapa yang sebenarnya kehilangan?
Langganan:
Postingan (Atom)