Cari Blog Ini

12 April 2016

Panama Papers

PANAMA PAPERS membuat mata terbuka tentang praktek orang-orang kaya untuk menyelamatkan kekayaannya dari incaran pajak. Ok. Sebelum lebih lanjut, lebih dahulu harus dipahami ada dua hal yang berbeda soal tidak membayar pajak ini. Yang pertama adalah PENGGELAPAN PAJAK (Tax Evasion), yang merupakan kriminal. Yang kedua adalah PENGHINDARAN PAJAK (Tax Avoidance), yang bisa saja sepenuhnya legal.

Penggelapan pajak adalah, situasi dimana orang atau badan usaha seharusnya membayar pajak, namun melakukan berbagai manipulasi dan pat pat gulipat, sehingga tidak bayar pajak atau membayar pajak lebih kecil. Seringkali caranya kerjasama dengan petugas pajak…. Itu adalah tindakan kriminal, berakhir di penjara.

Penghindaran pajak adalah, situasi dimana orang mengatur badan atau aset dan hasilnya menjadi BUKAN objek pajak, atau setidaknya hanya sebagian membayar pajak, melalui penetapan yang SAH dan diijinkan. Ini bukan tindakan kriminal, namun secara moral patut dipertanyakan.

Kenapa patut dipertanyakan? Karena, secara moral, seorang warganegara yang baik akan bersedia membela dan membangun negaranya dengan rela membayar pajak secara penuh. Seharusnya, selayaknya, pajak dibayar agar negara memperoleh cukup pendapatan untuk bekerja, menjaga kehidupan seluruh rakyat.

Di sisi dirjen pajak, pokok utamanya sederhana: ada target yang harus dicapai, di mana penerimaan pajak menjadi salah satu pendukung utama APBN. Jadi, harus dipikirkan bagaimana pungutan pajak bisa dilakukan lebih banyak, lebih luas -- supaya anggaran belanja negara tercukupi.

Di sisi wajib pajak…. Apakah seseorang yang bekerja lebih banyak, lebih keras, menjadi wajib untuk mendukung bangsa dan negara ini? Mereka yang berjerih lelah membangun perekonomian, patutkah mereka diberi hadiah berupa dikejar-kejar untuk bayar pajak?

Sedangkan, sebagian besar orang di usia kerja, yang pendapatannya 3 jt per bulan, tidak dikenakan pajak (PTKP adalah 3 jt per bulan atau 36 jt per tahun)?

Pertanyaannya berlanjut menjadi, masih adakah hak azasi seorang untuk memiliki, menyimpan, dan mengelola hartanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya? Jika masih ada hak azasi itu, maka apa yang melarangnya untuk menaruh hartanya di luar negeri? Orang Indonesia bisa menaruh harta di mana saja, kan?

Mereka menaruh harta di luar negeri, dengan cara membentuk perusahaan asing. Sahamnya dibuat atas nama warganegara asing tempat perusahaan didirikan, sementara si pemilik harta sebenarnya hanya menjadi direktur pelaksana. "Perusahaan asing" ini terus bekerja di Indonesia, mendapatkan untung, dan tentunya membayar pajak badan secara normal (bukan menggelapkan pajak lho).

Karena ada keuntungan, maka ada dividen dari saham. Keuntungan ini secara hukum diterima oleh warganegara asing tadi, tapi itu hanya nama saja…. Dan oleh orang Indonesia ini dana itu terus dibuatkan menjadi aset lain, perusahaan lain, juga di luar negeri. Dari waktu ke waktu, kekayaannya bertambah.

Orang Indonesia ini akan 'dibayari' oleh perusahaan asing yang didirikannya -- itu adalah biaya operasional yang mengurangi laba. Tentunya sebagai 'pegawai' ia akan dikenakan pajak penghasilan -- tetapi bukan dihitung dari segala kekayaan yang sebenarnya. Pajak yang dibayarnya jauh lebih kecil daripada peningkatan kekayaan yang dimilikinya. Perusahaannya terus bertambah, bertumbuh, berada di luar negeri.

Perusahaan Panama itu menjadi penyedia jasa untuk membuat semua hal ini bisa terjadi.

Secara hukum, semua ketentuan perpajakan dipenuhi. Tidak ada penggelapan pajak. Kekayaan, aset perusahaan bertumbuh di negara yang tidak mengenakan pajak pada aset dan kekayaan. Negara-negara ini hanya memungut sebagian kecil dari pendapatan laba perusahaan, untuk menutupi biaya negeri yang kecil mungil dan berpenduduk tidak sampai satu juta orang itu. Kalaupun mau melakukan 'pelacakan' kekayaan, nama orang Indonesia tidak muncul dalam dokumen pemilik di akte. Perjanjian antara orang Indonesia dan warga asing yang ditunjuk, itu adalah perjanjian khusus berdua saja, yang tidak diumumkan.

Jadi….. Kalau tidak ada pelanggaran hukum, maka tidak bisa dilakukan tindakan hukum. Namun secara moral, hal ini mengganggu -- dan muncul usaha untuk mengambil kembali 'kekayaan' itu…. Masalahnya, secara politik, bagaimana menyelaraskan antara hak individu dengan kebutuhan komunitas? Jika secara politik, demi popularitas partai politik, dilakukan langkah-langkah represif, misalnya memenjarakan orang kaya itu untuk memaksanya….. Apa dasar hukum untuk memenjarakan orang karena melakukan penghindaran pajak, dan secara hukum memasang nama orang lain sebagai pemilik yang sah?

Lebih jauh lagi, tindakan represif hanya membuat orang-orang kaya itu terus pergi dari Indonesia, dan menarik semua aset dan usaha mereka. Sebagai pemilik yang sebenarnya, bukankah mereka bisa melakukan hal itu? Toh masih ada negara lain di atas muka bumi ini. Pemerintah tidak bisa menjadi lebih pandai daripada orang yang memikirkan cara untuk memperoleh kekayaannya.

Orang Indonesia tidak harus punya aset di Indonesia.
Orang Indonesia tidak harus berbisnis di Indonesia.
Orang Indonesia tidak harus berbahasa Indonesia.
Orang Indonesia bisa berubah menjadi bukan Indonesia.


Yang tertinggal hanya orang Indonesia yang biasa-biasa saja, dan bisanya cari makan -- bukan menyediakan pekerjaan. Jadi, siapa yang sebenarnya kehilangan?

Tidak ada komentar: