Cari Blog Ini

16 April 2016

Indonesia - Quo Vadis?

INDONESIA berada di tengah ekonomi global yang lelah. Seperti orang yang terus-menerus harus meniup balon yang bocor, tapi harus dijaga tetap mengembang. Kalau balon ini kempes, ekonomi kempes, hancurlah gaya hidup dan kehidupan banyak negara, banyak rakyat yang akan menderita. Tapi terus menerus meniup balon bocor ini selalu melelahkan…

Perbankan, bank sentral, mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan moneter. Sudah tahu belum, sekarang Bank Indonesia akan menetapkan BI Rate dengan cara berbeda? Tadinya, BI Rate berlaku untuk jangka waktu 12 bulan. Jadi misalnya mau taruh duit di deposito, diberi bunga yang hitungannya per tahun (walau depositonya hanya 1 bulan). Mulai bulan Agustus 2016, yang jadi patokan adalah suku bunga pinjaman antar-bank yang dikenal sebagai 7-days-reverse-repo-rate.

Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.

Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!

Nah, repot-repotnya, orang masih menaruh duit di bank, seperti deposito, untuk jangka panjang. Kalau boleh menduga-duga, nanti perubahan BI Rate bisa lebih seru, jadi bunga deposito juga bisa lebih fluktuatif dari bulan ke bulan. Siapa bilang menaruh duit di deposito itu stabil dan garis lurus tetap sama? Sebaiknya orang taruh duit jangka panjang di instrumen investasi, seperti Reksa Dana.

Namun gimana nih, saat ini dana di reksa dana kebanyakan datang dari institusi baik perusahaan, yayasan, maupun dana pensiun, bukan perorangan. Jumlah reksa dana dari perorangan hanya berapa % ya? (belum dapat datanya).

Lantas, ada juga urusan perpajakan. Pemerintah nampak bingung karena ingin menarik pajak sekaligus menjaga konsumsi masyarakat. Maka, Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) naik dan diwacanakan naik lagi, sementara kegiatan Dirjen Pajak mengejar WP Perorangan semakin giat. Yang bayar pajak tentunya adalah para WP yang pendapatannya di atas 3 jt per bulan (saat ini -- diwacanakan nanti jadi 4,5 jt per bulan).

Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.

Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.

Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?

Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?

Daripada jadi pengusaha. Waktu ada pendapatan besar, harus dilaporkan dan dipajaki sama besarnya seperti karyawan. Tapi waktu ada kerugian, akibatnya pajaknya lebih kecil -- terus datanglah petugas pajak dan mencari tahu kenapa pendapatan menurun, kenapa bayar pajak lebih sedikit? Maunya pajak tinggi terus, makin tinggi terus….

Dalam ekonomi seperti sekarang di mana tingkat risiko lebih tinggi, pengusaha mempunyai beban berat mempertahankan tingkat perputaran usaha. Mau sama saja sudah susah -- bagaimana caranya bisa membuat usaha bertumbuh? Tapi orang pajak punya target dalam memperoleh pungutan pajak. Ini kan jadi pilar penopang APBN, apalagi dengan kondisi harga minyak rendah, harga komoditi rendah, dan pajak dari ekspor tidak bisa diharapkan sebesar dahulu.

Dengan PTKP dinaikkan ke 4,5 jt per bulan, sebagian besar rakyat Indonesia tidak bayar pajak. Yang sebagian kecil harus bayar pajak dengan taat -- bukan saja laba, tapi juga aset dikenakan pajak. Bagi orang yang punya aset, mau taruh di mana? Menaruh aset di negara-negara yang tidak memajaki aset dan kekayaan menjadi menarik (termasuk di Amerika Serikat -- di sana aset nggak dipajaki).

Tax Amnesty adalah usaha 'mengampuni kesalahan' orang yang menaruh aset di luar negeri, sehingga kekayaannya itu tidak dikenakan pajak. Harapannya, dengan tax amnesty maka asetnya boleh kembali ke Indonesia…. Nggak dipajaki atas apa yang sudah terjadi di masa lalu, tapi untuk selanjutnya bisa dikenakan pajak dong?! Lagipula, aset yang jumlahnya sangat besar itu -- konon mencapai 11 quaddrilliun -- akan membuat dorongan yang sangat besar dalam likuiditas di Indonesia; dan utamanya adalah selanjutnya menjadi objek pajak.

Kemarin, dari konsultasi DPR dengan Presiden, RUU Tax Amnesty nampaknya akan segera dikeluarkan sebagai UU.

Sejujurnya saya merasa takut dengan kondisi yang mungkin terjadi. Bayangkan, semisal ada duit 11.000 Triliun (buat perbandingan, total dana pihak ketiga di perbankan Indonesia sekitar 4.000 Triliun) masuk ke Indonesia…. Duit itu kan milik institusi dan individu. Lari ke mana? Taruh di Bank?

Kalau taruh di bank, itu bank nya kelimpungan kebanyakan duit. Mau dikemanain duitnya? Siapa yang mau pinjam duit, yang punya tingkat risiko sepadan?
Kalau ditaruh ke pasar, misalnya terus dibelanjakan properti, maka harga properti akan terus terbang ke langit, sampai menjadi gelembung yang nggak masuk akal.
Kalau ditaruh ke pasar modal, terjadi gelembung pasar modal yang gila-gilaan -- karena semua investor (termasuk saya) pasti akan terus beli saham apapun, yang harganya akan naik jauh berlipat-lipat dibandingkan earning dari perusahaan. Mau beli saham dengan PER berapa?

Inflasi, jadi hyper-inflation. Kalau berpikir ada duit banyak masuk Indonesia itu lantas bagus, mungkin di depannya saja nampak bagus. Sudah tahu belum, ada orang mati karena kebanyakan makan? Ini perbankan sedang berusaha membuat duit nggak banyak dan nggak lama2 di perbankan kok, dengan pengaturan BI Rate baru itu.

Hampir pasti, duit yang banyak itu nggak akan masuk secara merata ke akar rumput, terbagi ke seluruh rakyat. Kemampuan dan kompetensi orang tetap akan jadi pembeda -- yang terjadi adalah gap yang lebih besar antara orang kaya dan miskin, parameternya coba cek koefisien gini yang terjadi.

Tapi orang pajak kan punya target ya….

Bagaimana ya, nasib rakyat Indonesia?

Tidak ada komentar: