INDONESIA berada di
tengah ekonomi global yang lelah. Seperti orang yang terus-menerus harus meniup
balon yang bocor, tapi harus dijaga tetap mengembang. Kalau balon ini kempes,
ekonomi kempes, hancurlah gaya hidup dan kehidupan banyak negara, banyak rakyat
yang akan menderita. Tapi terus menerus meniup balon bocor ini selalu
melelahkan…
Perbankan, bank
sentral, mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan moneter. Sudah tahu
belum, sekarang Bank Indonesia akan menetapkan BI Rate dengan cara berbeda?
Tadinya, BI Rate berlaku untuk jangka waktu 12 bulan. Jadi misalnya mau taruh
duit di deposito, diberi bunga yang hitungannya per tahun (walau depositonya
hanya 1 bulan). Mulai bulan Agustus 2016, yang jadi patokan adalah suku bunga
pinjaman antar-bank yang dikenal sebagai
7-days-reverse-repo-rate.
Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.
Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!
Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.
Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!
Nah, repot-repotnya,
orang masih menaruh duit di bank, seperti deposito, untuk jangka panjang. Kalau
boleh menduga-duga, nanti perubahan BI Rate bisa lebih seru, jadi bunga
deposito juga bisa lebih fluktuatif dari bulan ke bulan. Siapa bilang menaruh
duit di deposito itu stabil dan garis lurus tetap sama? Sebaiknya orang taruh
duit jangka panjang di instrumen investasi, seperti Reksa Dana.
Namun gimana nih,
saat ini dana di reksa dana kebanyakan datang dari institusi baik perusahaan,
yayasan, maupun dana pensiun, bukan perorangan. Jumlah reksa dana dari
perorangan hanya berapa % ya? (belum dapat datanya).
Lantas, ada juga
urusan perpajakan. Pemerintah nampak bingung karena ingin menarik pajak
sekaligus menjaga konsumsi masyarakat. Maka, Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
naik dan diwacanakan naik lagi, sementara kegiatan Dirjen Pajak mengejar WP
Perorangan semakin giat. Yang bayar pajak tentunya adalah para WP yang
pendapatannya di atas 3 jt per bulan (saat ini -- diwacanakan nanti jadi 4,5 jt
per bulan).
Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.
Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.
Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?
Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?
Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.
Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.
Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?
Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?
Daripada jadi
pengusaha. Waktu ada pendapatan besar, harus dilaporkan dan dipajaki sama
besarnya seperti karyawan. Tapi waktu ada kerugian, akibatnya pajaknya lebih
kecil -- terus datanglah petugas pajak dan mencari tahu kenapa pendapatan
menurun, kenapa bayar pajak lebih sedikit? Maunya pajak tinggi terus, makin
tinggi terus….
Dalam ekonomi
seperti sekarang di mana tingkat risiko lebih tinggi, pengusaha mempunyai beban
berat mempertahankan tingkat perputaran usaha. Mau sama saja sudah susah --
bagaimana caranya bisa membuat usaha bertumbuh? Tapi orang pajak punya target
dalam memperoleh pungutan pajak. Ini kan jadi pilar penopang APBN, apalagi
dengan kondisi harga minyak rendah, harga komoditi rendah, dan pajak dari
ekspor tidak bisa diharapkan sebesar dahulu.
Dengan PTKP
dinaikkan ke 4,5 jt per bulan, sebagian besar rakyat Indonesia tidak bayar
pajak. Yang sebagian kecil harus bayar pajak dengan taat -- bukan saja laba,
tapi juga aset dikenakan pajak. Bagi orang yang punya aset, mau taruh di mana?
Menaruh aset di negara-negara yang tidak memajaki aset dan kekayaan menjadi
menarik (termasuk di Amerika Serikat -- di sana aset nggak dipajaki).
Tax Amnesty adalah
usaha 'mengampuni kesalahan' orang yang menaruh aset di luar negeri, sehingga
kekayaannya itu tidak dikenakan pajak. Harapannya, dengan tax amnesty maka
asetnya boleh kembali ke Indonesia…. Nggak dipajaki atas apa yang sudah terjadi
di masa lalu, tapi untuk selanjutnya bisa dikenakan pajak dong?! Lagipula, aset
yang jumlahnya sangat besar itu -- konon mencapai 11 quaddrilliun -- akan
membuat dorongan yang sangat besar dalam likuiditas di Indonesia; dan utamanya
adalah selanjutnya menjadi objek pajak.
Kemarin, dari
konsultasi DPR dengan Presiden, RUU Tax Amnesty nampaknya akan segera
dikeluarkan sebagai UU.
Sejujurnya saya
merasa takut dengan kondisi yang mungkin terjadi. Bayangkan, semisal ada duit
11.000 Triliun (buat perbandingan, total dana pihak ketiga di perbankan
Indonesia sekitar 4.000 Triliun) masuk ke Indonesia…. Duit itu kan milik
institusi dan individu. Lari ke mana? Taruh di Bank?
Kalau taruh di bank,
itu bank nya kelimpungan kebanyakan duit. Mau dikemanain duitnya? Siapa yang
mau pinjam duit, yang punya tingkat risiko sepadan?
Kalau ditaruh ke
pasar, misalnya terus dibelanjakan properti, maka harga properti akan terus
terbang ke langit, sampai menjadi gelembung yang nggak masuk akal.
Kalau ditaruh ke
pasar modal, terjadi gelembung pasar modal yang gila-gilaan -- karena semua
investor (termasuk saya) pasti akan terus beli saham apapun, yang harganya akan
naik jauh berlipat-lipat dibandingkan earning dari perusahaan. Mau beli saham
dengan PER berapa?
Inflasi, jadi
hyper-inflation. Kalau berpikir ada duit banyak masuk Indonesia itu lantas
bagus, mungkin di depannya saja nampak bagus. Sudah tahu belum, ada orang mati
karena kebanyakan makan? Ini perbankan sedang berusaha membuat duit nggak
banyak dan nggak lama2 di perbankan kok, dengan pengaturan BI Rate baru itu.
Hampir pasti, duit
yang banyak itu nggak akan masuk secara merata ke akar rumput, terbagi ke
seluruh rakyat. Kemampuan dan kompetensi orang tetap akan jadi pembeda -- yang
terjadi adalah gap yang lebih besar antara orang kaya dan miskin, parameternya
coba cek koefisien gini yang terjadi.
Tapi orang pajak kan punya target ya….
Tapi orang pajak kan punya target ya….
Bagaimana ya, nasib
rakyat Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar