Cari Blog Ini

16 April 2016

Secular Stagnation

SECULAR STAGNATION -- adalah kondisi pertumbuhan ekonomi rendah sekali di mana dalam tingkat kekayaan yang besar, jumlah tabungan melebihi jumlah investasi jangka menengah - panjang. Artinya, uang tersimpan lebih banyak di brankas daripada diputarkan untuk bangun (misalnya) infrastruktur dan pendidikan, yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi menurun, pendapatan per kapita menurun. Bisa dibilang: ekonominya stagnan. Bagi yang punyai duit di tabungan, nggak mau nilainya menurun dong…. Jadi mereka terus mengalihkan kekayaannya di negara yang pertumbuhannya masih bagus. Akibatnya, duit mengalir keluar dan menyebabkan devaluasi mata uang, kalau jumlah uang keluar banyak sekali.

Devaluasi mata uang itu membuat nilai barang ekspor jadi menurun, dan terus meningkatkan pesanan, membuat pabrik berjalan, orang bekerja, dan pendapatan tetap dijaga nggak jeblok-jeblok amat, pertumbuhan ekonomi nggak sampai negatif -- masih berkisar di angka 0%.

Cerita ini terjadi di berbagai negara maju, di Eropa dan Jepang. Lihat saja Jepang: ekonomi Jepang parah, tapi investor Jepang banyak taruh duit di Indonesia. Dan bagi negara-negara ini, penguatan mata uang adalah masalah. Mereka mau supaya terjadi devaluasi -- perang mata uang adalah kompetisi saling menurunkan nilai mata uangnya. Mungkin cuma orang Indonesia saja yang suka kalau mata uang Rupiah menguat….

Bagi negara seperti Jepang, duit dikeluarkan dari sistem perbankan dengan membuat rate suku bunga negatif; artinya orang DIHUKUM karena menaruh duitnya di perbankan Jepang. Begitu juga dengan Eurozone. Ya itu duit terus dikeluarkan…. Dan untuk itu bank sentralnya tidak berbuat apa-apa. Tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang mereka ambil.

Sementara, uang mengalir kembali ke AS, dan dengan ragu-ragu masuk ke pasar saham serta investasi lain. Masalahnya, dengan Secular Stagnation maka nilai barang Amrik jadi tinggi, biaya dan harga barang & jasa Amrik tinggi…. Dan The Fed yang neracanya seperti gajah bengkak itu, pelan-pelan tapi pasti menaikkan suku bunganya. Bagi The Fed, sudah tidak banyak pilihan, opsi mereka terbatas. Mau ikutan bikin duit keluar dari Amerika? Itu bisa meruntuhkan pasar saham. Mau menahan duit terus ada di dalam negeri? Harga barang menjadi tinggi.

Logika ekonominya gampang sih. Di mana duit berkumpul, di sana terjadi kenaikan harga yang menyebabkan barang nggak kompetitif lagi. Kalau mau tetap ada pesanan, tetap ada pertumbuhan ekonomi, maka duit nggak boleh kumpul terlalu banyak terlalu lama.

Tapi secular stagnation ini bikin frustasi para pemegang duit. Kalau berlama-lama begini, kepercayaan kepada para pembuat kebijakan menjadi semakin terkikis. Para pembuat kebijakan bank sentral itu mungkin membuat keputusan yang secara politis bagus buat kebanyakan rakyat, 80% penduduk yang hidup dari gaji mereka. Tapi, itu jelek untuk 5% high-net-worth-individual investors yang punya uang sedemikian banyak dan ingin melihat ada pertumbuhan. Mereka kalau mau charity ya charity, yang bisa dipakai potong pajak. Nggak mau disuruh menerima rate negatif.

Jadi…. Ada kemungkinan pasar saham di amrik bakal anjlok, yang tidak selalu berarti bursa efek Indonesia ikutan anjlok…. Haeh. Kondisinya susah diprediksi.

Moga-moga nggak lelah membaca posting begini…. Hahaha (NEXT: bagaimana Indonesia)

Tidak ada komentar: