Psst... Dengar! Ada yang ngobrol di akhir tahun 2005. Apa kata mereka?
"Sudah dengar berita buruk?"
"Belum! Tapi kamu sudah dengar yang lebih jelek lagi nggak?"
"Lho, kamu belum dengar, tapi kok sudah tahu itu lebih jelek?"
"Oh, karena sejelek-jeleknya beritamu, pasti lebih jelek beritaku."
"Nggak mungkin!"
"Oke deh. Nah, coba, apa berita burukmu itu?"
"Pendidikan di negeri ini berantakan! Ternyata, Presiden dan jajaran
pemerintahan melanggar konstitusi! Sudah jelas, dalam amandemen UUD
disyaratkan anggaran 20%, tapi kenyataannya? Ini pelanggaran serius!
Bukankah ini buruk sekali? Kalau dibiarkan, pendidikan kita berantakan.
Tetapi kalau mau ditindak, mosok Presiden taon depan mau diturunkan lagi?"
"Oh, itu belum terlalu buruk! Memang betul, bahkan Wapres naik pitam
gara-gara mendengar puisi yang bilang kalau sekolah lebih jelek daripada
kandang ayam. Tetapi itu belum seberapa! Yang lebih buruk lagi adalah
kenyataan bahwa semua dana itu dikorupsi! Tuh, kemarin waktu ulang tahun
ke-2 KPK, ketuanya bilang kalau di Indonesia ini belum pernah ada niat
sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi. Tidak ada yang bersungguh-sungguh
membenahi sistem. Kalau KPK hari ini menggebrak dan merantai koruptor ke
penjara, besok ada orang lain yang menggantikan posisi menjadi koruptor yang
sama saja buruknya!"
"Tapi itu bukan berita yang benar-benar buruk. Kenyataannya, saat ini
kesenjangan gaji di antara pegawai negeri dan petinggi-petingginya adalah
begitu besarnya, itulah berita yang amat buruk! Karena dengan demikian,
pemerintahan didominasi oleh dua kelompok orang. Yang pertama adalah
sebagian besar orang-orang kecil yang harus kongkalikong untuk menyiasati
gajinya yang kecil, lalu menjadi koruptor jabatan. Yang kedua adalah
sebagian kecil orang-orang di posisi strategis yang walaupun dapat gaji
edan-edanan, masih juga berusaha jadi raja kecil yang ingin lebih kaya lagi!
Mereka yang sedikit ini punya tameng politik, punya tameng hukum. Bahkan,
KPK sendiri pun tidak bisa menyentuh mereka! Tuh, lihat saja kasus KPK
membongkar korupsi di KPU. Yang dua masuk bui, tapi yang dua lagi?"
"Korupsi itu di saat terjadinya tidaklah terlalu buruk! Yang lebih buruk
lagi adalah akibatnya. Sudah puluhan tahun negeri ini digerogoti korupsi,
selama itu pula semua kekayaan dan pembangunan bangsa ini habis tak
berbekas. Kalau semua daya hanya untuk membuat apa yang kelihatan di luarnya
saja, apa yang tersisa untuk membangun yang di dalam? Sekarang, setelah
semuanya habis, apa yang tersisa bagi negeri ini? Ini berita yang amat
buruk! Ekonomi kita rusak berat! Utangnya banyak, daya saingnya rendah, dan
industrinya tergantung pada subsidi dan proteksi! Tak heran kalau banyak
yang tumbang karena harga BBM naik, perusahaan tutup dan ratusan ribu
karyawan kena PHK!"
"Lebih buruk lagi, karena hidup sulit, semua orang menjadi tidak peduli! Mau
tahu apa yang amat buruk? Produsen dan distributor makanan yang tidak mau
rugi memakai formalin untuk mengawetkan barangnya! Para nelayan yang melaut
memakai formalin untuk mengawetkan ikan-ikan! Tahu, mi, baso, ikan, ayam,
dan segala macam bahan makanan lain sudah diberi formalin yang merusak
badan! Ini benar-benar berita buruk: kehidupan di negeri ini semakin buruk,
dan tahu-tahu kita bisa mati kena kanker!"
"Aah, ini belum teramat buruk! Kena kanker itu matinya perlahan-lahan!
Sekarang ini, banyak teror dan bom. Dan bahkan pada hari ini, bom meledak
lagi di Palu! Nyawa tidak ada nilainya. Orang bisa mati begitu saja di
jalanan! Bukankah ini yang teramat sangat buruk?"
"Ya, ada yang lebih buruk lagi...."
Heiii!! Stop, stop, stop!
STOP!
Ini akhir tahun, dan kita sedemikian bersemangatnya membahas tentang kabar
buruk! Tidakkah cukup semua berita-berita buruk itu menghiasi koran-koran
dan laporan akhir tahun? Tidakkah mata menjadi merah karena setiap kali
melihat surat kabar atau berita televisi, selalu saja ada kemalangan dan
kegagalan dan kejahatan yang ditampilkan?
Seperti kata-kata seorang temanku, "Aku takut hidup di Indonesia." Kenapa?
Karena nampaknya orang akan mati dengan lebih cepat bila tinggal di negeri
yang tercemar dan mencemarkan ini. Dan bukan hanya kita saja yang sudah
mulai beruban; bahaya itu mengancam anak-anak kita, membahayakan keturunan
kita. Apakah lebih baik tinggal di luar negeri saja?
Tapi, salah besar bila beranggapan bahwa tinggal di luar negeri selalu lebih
sehat, senantiasa lebih aman, atau pasti lebih sejahtera. Coba saja; ada
berapa banyak orang yang mati kedinginan di musim dingin yang semakin parah
di negara-negara sub-tropis? Di bumi ini tinggal di mana pun begitu juga,
selalu ada masalahnya.
Kalau kita mau bicara kabar buruk, tidak akan ada habisnya. Dan kalau kita
melihat sejarah, akan nyata bahwa manusia itu begitu bodoh karena
mengulang-ulang kesalahan sejarah. Mungkin sebabnya adalah tak banyak yang
suka belajar sejarah, atau tidak banyak yang peduli bahwa apa yang
dilakukannya hari ini sama dengan apa yang orang lain telah lakukan dahulu
dengan akibat kebinasaan bangsa. Dari jaman ke jaman, manusia meratap karena
kesulitannya, dan seringkali penyebabnya itu itu juga. Perang. Penyakit.
Kemiskinan. Kejahatan.
Belajarlah sejarah, dan kita akan temukan bahwa di saat populasi manusia
menjadi terlalu besar, teori yang dikatakan Thomas R. Malthus barangkali
benar: populasi berlebih akan dibatasi oleh kelaparan, penyakit, dan perang.
Atau kasarnya: untung ada kelaparan, ada penyakit, dan ada perang, sehingga
populasi manusia tidak terlalu banyak dan masih tersedia cukup sumberdaya
untuk orang-orang yang tersisa. Atau kalau tidak mau perang dan penyakit,
mulai dari sekarang mulailah membatasi keturunan! Pesimis? Coba saja lihat
statistik demografi. Dan penduduk negeri ini sudah lebih dari 220 juta,
sehingga nampaknya tidak banyak yang terlalu memikirkan jika sejuta atau dua
juta orang berkurang karena kena penyakit flu burung, keracunan formalin,
atau mati kelaparan karena miskin.
Sedemikian menyedihkannya? Mungkin. Bisa jadi. Tak heran, ada banyak nada
pesimis di akhir tahun ini. Dan mungkin, para pembaca tulisan ini pun
merasakan kepesimisan yang sama. Itulah nada dari dunia, suara dari planet
bumi yang semakin tua dan sengsara, nada kesedihan dari Indonesia. Tetapi,
ada baiknya kita mendengar suara lain, nada yang lain. Suara yang bergema
sejak jaman dahulu kala, yang sarat dengan kuasa Ilahi:
Hab 3:16-19
"Ketika aku mendengarnya, gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya,
menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku
gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari
kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.
Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon
zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan
makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi
dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di
dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat
kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku."
Hari susah menakutkan? Ya. Siapa yang tidak gemetar karena kehilangan
pekerjaan, karena kehilangan pelanggan, karena kehilangan kesejahteraan?
Siapa yang bibirnya tidak menggigil menghadapi hari-hari kesusahan, ketika
dinyatakan bahwa negeri ini akan menarik pajak lebih besar lagi,
tertatih-tatih untuk tetap berjalan, sementara pembayaran utang luar negeri
yang jatuh tempo akan tetap dilaksanakan?
Tetapi, siapa yang sanggup beria-ria sekarang? Siapa yang sanggup menatap
masa depan, walaupun segala asetnya tidak menghasilkan, segala kekayaannya
hilang tercuri orang, dan modalnya habis ditelan biaya? Itulah anak-anak
TUHAN, yang bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang
menyelamatkan!
Siapa yang bersama-sama nabi Habakuk dapat menyerukan: ALLAH Tuhanku itu
kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak
di bukit-bukitku. Siapa?
Wahai, kalian yang sedang berkeluh kesah tentang tahun yang gagal dan penuh
kesulitan! Di manakah iman, ketika tiada lagi jaminan keamanan penghasilan,
sudah berhenti kekayaan dan kemudahan? Pohon ara kini tidak berbunga, pohon
anggur tidak berbuah. Apa yang semula mendatangkan kemakmuran, kini tidak
lagi. Hasil pohon zaitun mengecewakan, ladang-ladang tidak menghasilkan
bahan makanan. Apa yang semula menjamin kehidupan, kini tidak lagi. Apa yang
semula menjadi kekayaan dan harta dunia, kini habis sudah.
Tetapi kita akan beria-ria, akan bersorak-sorak dalam Tuhan yang
menyelamatkan kita. Dia akan memenuhi kebutuhan kita, mencukupkan. Bagian
kita adalah berada di dalam-Nya. Porsi kita adalah melakukan kehendak-Nya.
Apa yang Ia kehendaki tidaklah banyak atau rumit; Ia menghendaki kita
percaya kepada Kristus, mengasihi Allah dan sesama, hidup dalam terang
kebenaran dan keadilan serta kesetiaan.
Menyongsong tahun 2006, apa yang dapat kita katakan? Apa yang hendak kita
harapkan?
Marilah berharap, bahwa kita dapat benar-benar melakukan kehendak-Nya.
Keadaan boleh buruk, situasi boleh sukar, tetapi ingatlah bahwa kita
memiliki dan telah dimiliki Tuhan. Mungkin pikiran dan analisa kita
mengatakan 'buruk' dan 'buruk', namun Tuhan lebih besar dari masalah kita.
Kita memang tidak tahu, bagaimana Tuhan akan menuntun kita melewati
lorong-lorong gelap di Indonesia, di antara penyakit dan kemiskinan dan
kejahatan serta korupsi yang kronis. Tetapi kita tahu betul, bahwa Ia
menuntun kita. Ia membawa kita.
TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Ia menyegarkan jiwaku.
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku;
gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.
Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku;
Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku;
dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.
Salam kasih,
Donny