Cari Blog Ini

08 Agustus 2010

Air Pahit

Pernah berjalan di tempat yang panas? Seperti, padang gurun misalnya? Di sana, air lebih berharga daripada emas. Rombongan manusia yang melintasi padang gurun membutuhkan banyak air, jadi bayangkan jika yang melintas bukan hanya sepuluh atau seratus manusia, melainkan lebih dari satu juta orang, laki, perempuan, orang tua-muda, termasuk anak-anak. Inilah perjalanan bangsa Israel. Inilah perjalanan kehidupan anak-anak Abraham, umat TUHAN, Allah semesta alam.

Kita juga berjalan dalam berbagai tantangan serta kesulitan. Kalau orang Israel dulu keluar dari Mesir, anak-anak Tuhan sekarang keluar dari kuasa dosa, lepas dari hukuman maut yang menjajah setiap manusia. Seperti orang Israel, anak-anak Tuhan sekarang juga membutuhkan berbagai macam hal: uang, kesehatan, pendidikan, kesempatan, keamanan -- semua yang memungkinkan kehidupan yang baik dapat berlangsung.

Tetapi, ada kalanya kehidupan nampak membingungkan. Orang Israel tiba di Mara, mula-mula senang karena di sana bertemu dengan sumber air. Tetapi kemudian bingung, karena bukan air segar yang didapat melainkan air pahit. Mungkin beracun. Yang jelas, tidak bisa dipakai, tidak bisa diminum, tidak memberikan kehidupan. Lihat, bukankah ini juga pengalaman kita? Mendapatkan pekerjaan, tetapi tidak menerima cukup untuk hidup. Menerima pasangan hidup, untuk mengalami penghinaan dan kecaman dari orang yang seharusnya melindungi dan menyayangi. Kehidupan menjadi pahit.

Kalau kita menjadi orang Israel, apa tindakan kita? Ingat, mereka ini baru saja keluar dari Mesir. Pengalaman melihat mujizat-mujizat, bahkan mengalami sendiri bagaimana Laut Merah terbelah -- itu adalah hal paling luar biasa yang seharusnya tidak terlupakan. Kita juga mungkin belum lama ini menerima pengalaman menakjubkan, karena ada kuasa iblis dipatahkan dan diusir, ada penyakit disembuhkan, patah hati dipulihkan, dan berbagai hal lain yang tidak masuk akal namun toh terjadi juga. Kita seperti orang Israel, mengalami TUHAN sebagai kenyataan dalam hidup.

Bagaimana jika kita sampai di Mara? Air itu pahit dan orang Israel bersungut-sungut. Kita juga bisa, bahkan telah, bersungut-sungut. Kita mulai meragukan kebaikan Allah. Kita bilang, Allah menyediakan tapi tidak semua, tidak tuntas. Mata air memang ada, tetapi pahit. Pekerjaan memang ada, tetapi jahat memeras. Orang yang seharusnya menjadi teladan karena telah mengemban tugas pelayanan -- entah dia itu majelis atau diaken atau penatua atau apalah -- ternyata adalah kaki tangan iblis di luar hari Minggu. Sandiwara yang menjijikan. Penipu ulung. Penyebab kepahitan hati yang rasanya tidak termaafkan. Apakah kita bersungut-sungut juga?

Musa disuruh untuk mengambil kayu, sekalipun ia mempunyai tongkat yang terbukti sakti mandraguna. Ia melemparkan tongkat kayu yang dibuang itu, hal kotor yang dilupakan dan diabaikan. Dan air itu menjadi manis. Bukankah salib juga kotor, terkutuk, dan tidak mau diingat-ingat orang? Yang disalib adalah orang yang tidak lagi diinginkan, tidak lagi diharapkan berada di antara manusia. Kayu kering yang boleh dimusnahkan begitu saja, kini dilemparkan ke pusat kesulitan dan membuat air pahit menjadi manis. Salib juga membuat hidup menjadi manis.

Kalau begitu, apa kesimpulannya? Apakah urusan air ini hanya itu saja? Tidak, karena di Mara inilah Allah memberikan peraturan, ketetapan, kepada bangsa Israel. Ketika kayu biasa telah mengubah keadaan pahit menjadi manis, ketika salib telah mengubah hidup pahit menjadi sukacita, di sanalah TUHAN memberikan ketetapan untuk diikuti. Pengalaman pahit mungkin terasa menjijikkan, namun di sanalah kita mendapatkan kebenaran Allah, prinsip-prinsip yang sekarang menjadi jelas bagi kita. Sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh orang yang belum mengalami kepahitan -- di sanalah ada pertumbuhan.

Tuhan mengubah air pahit itu, demikian juga salib membersihkan kehidupan kita sendiri. Apa yang menjadi sikap kita selanjutnya?

Terpujilah TUHAN!

Tidak ada komentar: