Cari Blog Ini

27 Oktober 2010

Cult in Marketplace

Ibu ini memelototkan matanya. Kami sedang berbincang-bincang mengenai perencanaan keuangan dan produknya, tentang cara kerja dan kinerjanya, dan akhirnya memunculkan perbandingan-perbandingan. Ketika pembahasan mulai menyinggung perusahaan tempat ia bergabung, emosinya naik tak terkendali.

"Pokoknya ini (ia menyebut nama perusahaannya) adalah yang paling bagus di dunia! Saya tidak mau dengar yang lain! Biar orang lain mengatakan saya pakai kacamata kuda, tapi saya memang tidak mau tahu yang lain. Semua yang lainnya tidak bagus! Hanya ini yang terbaik!

Pemimpin saya, adalah sahabat saya yang luar biasa! He's my best friend, dan dia sudah memberikan yang terbaik. Dia membuat saya mendapatkan penghasilan tambahan, dapat komisi yang lumayan. Sekarang saya mau kejar target, supaya bisa jalan-jalan ke luar negeri…"

Melihat emosinya, kami tidak berniat memanaskan suasana. Perbandingan tidak dilanjutkan, sebaliknya kami memberi kesempatan untuk Ibu ini menjelaskan produknya.

"Oh, saya tidak tahu bagaimana perhitungan atau cara kerjanya, pokoknya saya tahu ini adalah yang paling baik di dunia!"

Bertemu dengan pemikiran ini, mau tidak mau saya menjadi teringat dengan apa yang disebut Cult, atau kultus. Ada beberapa ciri kultus, antara lain:

  • Logika atau penalaran diikat, diganti oleh pengendalian pikiran (mind control)
  • Ada tokoh atau pemimpin yang dipandang kharismatik oleh pengikutnya
  • Ada pengajaran tentang superioritas, memandang kelompok atau pihak lain inferior
  • Ada ketaatan yang mendalam, di mana disiplin ditegakkan oleh anggota di dalam kelompok itu sendiri
  • Ada sikap 'siap berperang' karena merasa diancam, atau bahkan ditindas, oleh 'musuh'. Karena itu, harus terus menjaga persatuan
  • Membuat isolasi yang memisahkan anggota dari komunitas asalnya, bahkan sampai bersikap memusuhi teman-teman lama dan keluarganya sendiri, digantikan komunitas kultus
  • Orang yang meninggalkan komunitasnya dipandang sebagai pengkhianat terbesar, yang sangat dibenci dan dihujat – bahkan sampai dibunuh. Yang meninggalkan kultus disebut orang murtad, apostate

Biasanya orang mengenal sikap-sikap ini dalam kultus agama atau kepercayaan religius. Dalam dunia yang modern dan sekular, justru berkembang sikap anti-cult, anti kultus yang melihat praktek-praktek agama sebagai tindakan manipulatif dan mengikat pikiran manusia. Dalam perkembangannya, orang memisahkan antara kepercayaan dengan usaha, antara religius dengan bisnis. Semua hal yang agamawi dianggap bisa menyesatkan, manipulatif. Semua yang bisnis dianggap logis, strategis, dan tidak personal. Nothing personal, kata mereka.

Benarkah demikian? Hal-hal yang kita temui di dunia usaha menunjukkan hal sebaliknya. Sementara para teolog dan rohaniwan berusaha untuk mensistematiskan teologi, merumuskan bagaimana logika dan iman berjalan berdampingan, membuka pikiran yang tertutup, memisahkan antara tahayul dan realita – justru para pemasar dan pemimpin bisnis memasuki area kultus, tentu saja dengan istilah baru dan berbeda.

Peperangan rohani memasuki wilayah baru, yang celakanya, tidak disadari oleh para teolog dan rohaniwan yang terjebak dalam dikotomi rohani vs sekular.

Pertama-tama, kultus dalam dunia bisnis, apalagi mengenai perencanaan keuangan, adalah hal yang mengherankan. Berbeda dari agama dan kepercayaan yang berakar pada kitab suci dan keyakinan yang abstrak, banyak hal dalam bisnis adalah sesuatu yang terukur, memiliki spesifikasi, dan terbatas. Kultus dalam agama dan kepercayaan adalah penamaan, yang seringkali diberikan kepada kelompok lain yang dianggap sesat. Istilah 'kultus' atau 'cult' sendiri menjadi sensitif dan penuh kecurigaan, sedemikian rupa sampai menjadi hukuman terhadap orang yang dituduh sebagai pengikut atau pemimpinnya. Bagaimanapun, karena hal-hal yang bersifat rohani tidak dapat diperbandingkan secara objektif, pengertian mengenai kultus tetap melekat, sekalipun kata 'kultus' atau 'cult' tidak diucapkan.

Dalam dunia usaha, di pasar terbuka, istilah kultus sepertinya tidak relevan. Bagaimana mungkin membela suatu produk atau jasa sebagai 'yang terbaik' sementara ada angka-angka yang menunjukkan spesifikasinya? Jika sebuah produk keuangan memberi rata-rata pengembalian investasi 22% dan produk keuangan lain memberi 27%, maka semua dapat dengan tegas dan pasti mengatakan hasil yang pertama lebih kecil daripada yang kedua. Dalam perencanaan keuangan, angka-angka berperan sebagai indikator yang objektif, tegas, tidak emosional. Hal yang sama juga berlaku pada produk kesehatan, pada produk kecantikan, pada produk teknologi. Ada ukuran yang pasti, tegas, tidak emosional. Seharusnya, orang tidak bersikap emosional terhadap sesuatu produk yang terbatas, terukur.

Namun, nyatanya orang bersikap emosional untuk benda-benda. Ada yang membangun komunitas sebagai pemakai handphone tertentu, atau kelompok pemakai motor tertentu, atau kelompok dari asuransi jiwa tertentu. Mereka mengatakan bahwa produk atau jasa ini sebagai yang terbaik, dan bersikap sebagai suatu kultus, sekalipun mereka tidak memandangnya sebagai agama atau kepercayaan.

Yang kedua, para rohaniwan dan masyarakat umum – demikian juga dengan anggota kultus – terjebak karena paradoks dari informasi. Ini adalah situasi di mana orang justru tidak memiliki informasi ditengah-tengah banjir informasi. Orang tidak mempunyai teknologi di tengah-tengah teknologi tinggi. Penyebabnya adalah ketidakmampuan untuk membedakan dan mengerti apa yang terjadi, dan dengan demikin kehilangan kemampuan untuk memahami angka-angka yang menunjukkan batas-batasnya.

Misalnya saja, siapa yang memahami bagaimana handphone bekerja? Bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan elektro, sebuah handphone hanyalah alat elektronik yang canggih, tetapi konsep-konsepnya dipahami, minimal diketahui. Namun bagi orang awam lainnya, benda kotak kecil ini menjadi alat yang ajaib. Ketika ada begitu banyak informasi yang dituangkan ke masyarakat oleh setiap produsen handphone, orang-orang yang terpesona oleh keajaibannya tidak mempunyai cukup informasi untuk memahami secara teknis. Itulah paradoks informasi: semakin banyak mencoba untuk menangkap informasi, semakin tidak mempunyai informasi yang dibutuhkannya. Handphone kini menjadi alat yang penting, karena mempengaruhi kehidupan banyak orang.

Bagaimana dengan perencanaan keuangan, dengan produk lembaga keuangan? Dalam prakteknya, masyarakat modern sedemikian tergantung kepada sistem keuangan, sekaligus sedemikian tidak paham dan terjebak oleh berbagai informasi yang tidak jarang saling bertolak belakang. Jangankan rohaniwan yang tidak mempelajari keuangan; orang yang menjadi pelaku pemasaran produk keuangan pun belum tentu sepenuhnya mengetahui seluk beluknya. Jangan heran kalau ada agen yang tidak paham perencanaan keuangan, mampu memasarkan banyak polis asuransi jiwa kepada banyak nasabah, atas nama perencanaan keuangan.

Aktivitas transaksi jasa keuangan, baik asuransi maupun perbankan, seringkali didasarkan pada kepercayaan semata. Orang membeli bukan karena mengerti, melainkan percaya. Orang menjual bukan karena mengerti, melainkan mengejar target dan komisi, dan percaya kepada leadernya. Praktek seperti ini bukan dalam pertimbangan atau dalam penalaran, melainkan keyakinan, serupa dengan kultus. Istilah yang digunakan mungkin berbeda, tetapi esensinya serupa.

Pemakaian cara-cara kultus dalam bisnis menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Pertama, bisnis pada dasarnya tidak mempunyai orientasi ketuhanan, jadi di sini dapat bergabung semua orang dari semua latar belakang agama atau kepercayaan. Tetapi, ketika pengendalian pikiran dilakukan, tidak ada batasan antara kepercayaan religius dengan kepercayaan bisnis. Orang dibuat untuk percaya bahwa leadernya adalah yang paling baik, jalannya adalah yang paling baik. Orang dibuat untuk percaya perusahaan ini bisa diandalkan dengan kepastian, membawa keselamatan dan kesejahteraan yang sempurna.

Perilaku manusia tidak dapat dibagi-bagi, atau dibuat berbeda, karena hal itu menuntut keutuhan jiwa. Orang bisa berpura-pura dalam bersikap pada peran-peran yang berbeda, namun caranya menentukan benar dan salah, moralitasnya, etika yang dipakainya, menuntut kesatuan – selama orang itu masih mempunyai nurani yang utuh.

Ketika ia memilih untuk bertindak, acuan dasarnya mengenai kebenaran tidak dapat berubah. Waktu orang mengikuti kultus dalam bisnis, masihkah ia dapat mengikuti prinsip kebenaran menurut keyakinan agama? Mungkin tidak, tetapi hal itu tidak dapat diakuinya secara terbuka. Pemahaman manusia tidak mengenal 'tempat', ia menerima sesuatu atau tidak menerima sesuatu. Apa yang diterima, diterima. Apa yang ditolak, ditolak. Di luar dari itu, hanyalah kepura-puraan, pengingkaran. Manusia mempunyai kemampuan unik untuk mengambil keputusan berdasarkan sesuatu yang diingkarinya, demi mencapai tujuan yang lebih tinggi.

Bisnis bukan agama, tetapi pemahaman tidak mengenal ini bisnis dan itu agama. Kalau keduanya sejalan, maka keduanya pastilah mempunyai keadaan yang sama. Kalau ada hal yang kontradiktif, maka orang harus memilih salah satu, dan berpura-pura di sisi lain. Memilih agama, lantas berpura-pura bisnis. Atau memilih bisnis, lantar berpura-pura beragama. Untuk melakukan itu, orang mencuci otaknya sampai bersih.

Sampai otaknya menjadi kosong. Mengerikan.

Tidak ada komentar: