Cari Blog Ini

13 Maret 2016

Kebenaran Yang Dipilih

Agama adalah hak asasi manusia yang pertama. Manusia bebas untuk beragama -- walau, tentunya, tidak bisa bebas dari konsekuensinya. Sebagai hak, beragama adalah pilihan manusia.

Di sisi lain, TUHAN berhak untuk menilai, menghakimi, dan menghukum manusia. Keberadaan TUHAN membuat ada hal-hal yang benar, dan ada hal-hal yang salah. Biasanya, kita akan menyatakan sesuatu 'salah' karena tidak sesuai dengan kenyataan.

Ambil contoh ya? Kebanyakan kaum muslim mengatakan bahwa ajaran Ahmadiyah itu salah. Ajaran itu membuat orang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang diyakini berasal dari Allah. Jadi, ajaran Islam Ahmadiyah itu salah; bahkan itu tidak boleh disebut 'Islam".

Nah, apakah orang yang percaya Ahmadiyah, masih berhak beragama Ahmadiyah?

Ya, berdasarkan hak asasi manusia, mereka berhak. Tetapi ada konsekuensinya, yaitu tidak lagi diterima bersekutu dengan umat Islam lainnya. Itu dari sudut pandang umat Islam pada umumnya.

Lihat dari sudut pandang pengikut Ahmadiyah: mereka percaya apa yang mereka pegang ini benar, sedang orang Islam lainnya tidak tepat, alias salah. Setiap usaha untuk "meluruskan" adalah suatu paksaan untuk mengambil jalan yang salah. Bayangkan bagaimana rasanya dipaksa demikian.

Jadi agama memang suatu pencarian, dan penentunya adalah kebenaran kenyataan tentang kehidupan. Adakah agama itu mendorong umat menjadi lebih baik, menjadi lebih sesuai dengan standar kehidupan orang yang mempercayai Allah?

Kenyataan adalah penentu. Mau contoh?

Lihat FPI. Mereka mengaku sebagai pembela Islam. Apakah yang mereka lakukan membuat agama Islam menjadi lebih mulia? Orang-orang ini percaya demikian. Tapi akan tiba satu saat di mana mereka berada di hadapan Allah dan mendapati kenyataan penilaian Allah sendiri. Tidak ada manusia yang bisa menyatakan, "dosamu diampuni". Itu adalah haknya Allah.

Hanya Anak Allah yang mampu mengatakan demikian. Yesus Kristus, yang dalam sejarah telah membuat perubahan besar di atas muka bumi. Dialah yang membuka jalan kepada Allah di Surga. Dialah yang menyatakan semua kata-kata Allah, Firman Allah, bagi dunia. Maka dikatakan, Firman itu telah menjadi manusia.

Apakah kenyataan ini dapat diterima manusia? Tidak, mereka yang menjadi Pemimpin Agama adalah orang-orang yang menyalibkan Yesus. Pernyataan diri Yesus adalah suatu hujatan di mata mereka, karena mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa Anak Allah menjadi manusia.  Mereka mengharuskan Allah mengikuti aturan agama yang mereka percayai.

Lihatlah, bukankah sekarang ini juga masih begitu juga?

Contoh yang sangat ramai saat ini adalah Ahok kembali menjadi Gubernur. Lihat kenyataan, ada begitu banyak yang telah dilakukan untuk Jakarta. Ada banyak pembersihan yang telah dilakukan. Jakarta menjadi tempat yang lebih baik dan nyaman untuk hidup. Melihat kenyataan ini, sangat masuk akal untuk kembali mengangkat Ahok menjadi Gubernur Jakarta. Orang-orang lain, para pesaing dan penantangnya, mereka tidak punya kenyataan apapun untuk dilihat sebagai karya sebagai seorang Pemerintah Daerah.

Tapi, isu yang kemudian muncul adalah Ahok bukan umat Islam. Orang-orang FPI itu mengharuskan Ahok mengikuti aturan agama yang mereka percayai. Masa bodoh dengan kenyataan. Tidak peduli apa kebenarannya. Pokoknya, tidak cocok aturan agama, tidak boleh jadi Pemimpin. Mereka juga tidak peduli bahwa ini adalah Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila.

Dalam Pancasila, seorang beragama Kristen sama layaknya dengan seorang beragama Islam. Penentunya adalah kenyataan, kebenaran. Bukan seperti apa kalimat yang terucap, atau cara ritual agamanya dijalankan, melainkan apakah orang itu melakukan kehendak Allah, yang bisa dilihat buahnya oleh semua orang. Apakah orang itu telah bekerja, membangun sesuatu yang hasilnya bisa disaksikan semua orang.

Pemerintahan yang lebih bersih? Ruang hidup yang lebih baik? Pelayanan masyarakat yang lebih profesional? Penegakkan peraturan yang lebih tegas? Kalau memilih Gubernur, ingatlah bahwa hal-hal ini menjadi tujuan rakyat. Kita mau hidup lebih baik, bukan?

Sedangkan bagi orang-orang yang masih meributkan agama itu menjadi segala ukuran…. Satu Pertanyaan: jika suatu hari bertemu dengan Allah secara langsung, seandainya Dia bertanya "apakah yang sudah kamu lakukan atau kamu miliki untuk masuk ke dalam Surga-Ku?"


Apakah jawaban Anda kepada Allah?

Tidak ada komentar: