Di Walmart Amerika, 5 lbs (baca: pon) terigu all-purpose harganya $2.61. Diterjemahkan: 1 lbs kira2 0.4xx... jadi 5 lbs adalah 2,268 kg dan harganya adalah Rp 34.559. Berarti, 1 kg terigu serbaguna di sana harganya Rp 15.237.
Nah, 1 kg terigu kalau diolah menjadi roti, ditambah air, gula, minyak -- total berat adonan (dough) jadi hampir 2 kg. Kalau dibuat jadi satu batang roti tawar (500 gr), dari 1 resep bisa jadi 4 batang. Berapa harga 1 batang roti tawar? Di Amerika, $2,56... itu jadi Rp 33.896 per batang.
Di Indonesia, di Sari Roti Sukabumi, harga Roti Tawar Spesial adalah Rp 10.500 .... okelah, mungkin beratnya tidak sampai 500 gr. Tapi, tidak akan jauh dari angka itu, karena untuk membuat roti tawar ada rumusan di dapur seperti ini: berat gr adonan yang dibutuhkan untuk satu loyang roti tawar adalah panjangxlebarxtinggi loyang dibagi 4.
Jadi kalau loyangnya 20x10x10 cm, itu jadi 2000 / 4 = 500 gr adonan. Kalau pakai loyang lebih kecil, beratnya lebih sedikit. Namun tidak mungkin terlalu sedikit juga 'kan?
Kalau dibuat setara, katakanlah harga roti tawar di Indonesia untuk ukuran yang sama adalah Rp 12.000. Dibandingkan dengan Rp 33.896, harga di Indonesia hanya 35,4% nya harga di Amerika. Sedangkan bikin roti... ya sama sajalah. Bahan dan cara pembuatannya tidak jauh berbeda. Apa yang mau kita pelajari dari urusan bikin roti ini (tentang CARA membuatnya, dibahas lain kali ya)?
Pada satu aspek, nilai bahan di mana-mana sama. Ketika tanah menumbuhkan gandum, nilainya di mana-mana juga hampir serupa: murah sekali. Yang menjadi pembeda adalah nilai TENAGA MANUSIA untuk membuatnya. Di Amerika, bahan murah tapi tenaga manusianya dihargai tinggi. Di Indonesia, tenaga manusia dihargai rendah.
Kadang sedih, kalau orang tanya "kenapa harganya mahal, bahannya kan cuman itu?" -- seolah kalau sebuah kue dibuat, maka nilainya hanya ada pada material bakunya saja. Tenaga manusia, kepandaiannya, keterampilannya -- itu tidak dihargai. Untuk buat roti tawar kan bahannya itu-itu saja: terigu, garam, air, ragi, lalu ditambah gula dan shortening dan bread improver. Mungkin tambah susu (bikin enak tapi jadi tidak tahan lama).
Manusianyalah yang dihargai berbeda. Di sana tenaga manusia bernilai tinggi. Di sini tenaga manusia bernilai rendah. Karena tidak bernilai tinggi, maka tidak ada kebutuhan untuk berinvestasi pada manusia. Untuk apa sekolah tinggi dan pengetahuan luas? Untuk apa ikut pelatihan dan peningkatan?
Toh, orang yang cakap dan pandai harganya tidak jauh berbeda dari orang yang bodoh. Karena orangnya tidak bernilai, maka lebih baik pasang alat-alat berteknologi tinggi yang bisa dijalankan tanpa banyak pikir oleh manusia. Semuanya otomatis, manusia hanya menjadi bagian dari sistem yang sudah diset. Dengan begitu, harga manusianya tetap rendah.
Masalah tidak menghargai ini sudah lama -- jadi orang juga tidak menghargai dirinya sendiri untuk menjadi lebih cerdas dan berpengetahuan. Saat bersekolah, sasarannya adalah mendapat nilai bagus, ijazah bernilai bagus, nilai UN bagus, atau IPK bagus. Apakah saat IPK tinggi, lantas bisa dipastikan kecerdasannya juga tinggi?
Harusnya begitu. Lantas kalau begitu, kenapa ada keluhan dari industri terhadap lulusan sarjana baru, yang ternyata tidak cukup cerdas untuk bekerja -- tidak sebanding dengan nilai IPK nya?
Lulus sarjana, tapi bekerjanya tidak lebih efektif dari lulusan SMA yang memang cerdas betulan, walau nilai UN nya tidak tinggi. Ada yang seperti ini. Hasil dari orang yang berjuang sekolah untuk mendapatkan nilai, bukan untuk menjadi manusia yang sungguh berharga lebih tinggi karena punya kemampuan lebih besar.
Sekarang, apakah di Amerika orang-orangnya juga amat sangat menghargai diri dan kemampuannya? Survei tidak menunjukkan hal begitu. Banyak juga pemuda di Amerika yang pendidikannya tidak karuan. Orang bodoh juga ada di Amerika. Namun, sistem dalam masyarakat mereka sudah terbangun di dalam nilai tinggi bagi kemampuan manusia.
Nilai ini bertambah -- dan di sana mungkin muncul masalah ketika nilai manusia sudah terlalu jauh tinggi melebihi hasil sejati yang diberikan, dibandingkan dengan segala harga lainnya. Mungkin, harga roti tawar di sana sudah terlalu tinggi. Siapa tahu?
Tantangan bagi kita adalah meningkatkan diri dan memberi nilai tambah dari diri kita, bukan dari bahan. Menjadi kaya bukan karena bahan dan produk, melainkan karena kita memberi sesuatu yang penting dan berharga ke dalam produk yang kita tangani.
http://www.numbeo.com/cost-of-living/country_result.jsp?country=United+States
Tidak ada komentar:
Posting Komentar