Mat 7:26 Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.
Tahun 2009 dimulai dengan buyarnya segala impian. Orang mengingat bulan Oktober tahun 2008 dengan peristiwa tsunami ekonomi yang melanda berbagai negara secara global. Ingat seperti apa tsunami? Gempa bumi. Terjangan air yang menghancurkan. Banjir. Air yang tiba-tiba datang, sesaat setelah laut menjadi surut. Ironisnya, sebaliknya dari merasa kuatir, justru surutnya air mendatangkan kegembiraan bagi banyak orang di tepi pantai, karena bisa mengumpulkan banyak kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik.
Begitu juga dengan kondisi yang terjadi sebelum tsunami ekonomi. Untuk sesaat, ada orang yang begitu senang karena harga minyak bumi melonjak amat tinggi, mencapai US$ 150 per barrel. Ada banyak yang begitu senang karena harga saham-saham energi dan pertambangan melonjak drastis. Untuk sesaat ada banyak orang yang menjadi jauh lebih kaya. Seperti mendapat kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik. Lalu timbullah laporan-laporan yang mengagetkan semua orang. Pengakuan kegagalan Lehman Brother. Bank raksasa di Amerika, WaMu berantakan, akhirnya diakuisisi dengan harga murah. Merril Lynch tidak ada lagi. Minyak bumi harganya turun, turun, turun sampai dibawah US$ 40 per barrel. Semua lembaga keuangan mengalami masalah. Pabrik-pabrik nyaris bangkrut. Jutaan orang di PHK.
Tiba-tiba saja, kita semua sadar bahwa tsunami ekonomi datang. Dunia tidak siap.
Kita hidup di dunia yang dipenuhi dengan paradigma atau cara pandang pragmatis. Praktis dan instan. Yang langsung terlihat. Sekarang. Cepat. Mudah dirasakan. Ada dalam genggaman. Coba pikirkan.
Pertama, waktu seseorang lulus sekolah, lulus kuliah, apa yang dibawanya? Kebanyakan orang menganggap ijazah adalah hal terpenting. Yang kedua terpenting adalah daftar nilai, atau transkrip. Mengapa? Karena, secara praktis kedua hal ini adalah syarat untuk melamar pekerjaan. Dan kenapa melamar pekerjaan begitu penting? Pertama, orang berharap bisa langsung menyebut dirinya 'pekerja'. Kedua, berharap bisa langsung menerima uang secara tetap dan teratur tiap bulan, yaitu gaji yang diterima.
Jadi, belajar 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 4 tahun kuliah – total 16 tahun – adalah untuk mendapatkan selembar ijazah dan transkrip, untuk berebut mendapatkan pekerjaan. Ini adalah awalnya. Sesudah bekerja, orang menentukan hal-hal seperti waktu kerja sebagai ukuran utama. Masalah terlambat masuk kerja adalah masalah besar, bisa membuat orang mendapat surat peringatan dan lalu dipecat. Sebaliknya, kalau bisa mengikuti sebuah seminar yang diberikan oleh menteri sebagai 'keynote speaker', seorang karyawan bisa mendapat promosi lebih cepat. Kalau seorang sales bisa membuat omzet ekstra besar, dia langsung mendapat penghargaan lebih tinggi.
Jika ijazah dan transkrip menjadi pokok utama, lalu apa gunanya sungguh-sungguh mengerti ilmu pengetahuan? Ada banyak cara untuk mendapat nilai yang baik tanpa perlu menguasai pelajaran. Lalu, kalau sudah bekerja, memenuhi jam kerja bukan hal yang sulit jika hanya itu yang menjadi ukuran. Orang bisa berada di tempat kerja untuk menghabiskan waktu, bukan? Demikian juga dengan mengikuti sebuah seminar; apa yang benar-benar dibawa dari seminar yang diikuti hanya untuk menerima sertifikatnya?
Bagaimana dengan omzet besar? Benar, sekali itu ia berhasil menutup order besar, tetapi apakah hal itu terjadi karena kecakapannya menguasai produk dan jasa serta menjual, atau dari keberaniannya membujuk dan membangun 'relasi' dengan orang lain yang memakai cara-cara yang tidak etis?
Ini adalah buah dari pragmatisme. Pokoknya order besar di tangan, keberhasilan instan tercatat dan diberi penghargaan. Beberapa tahun lalu, dunia dikejutkan dengan manipulasi oleh Enron, yang membuat nilai sahamnya naik dengan 'laba' yang palsu. Di akhir tahun 2008, dunia lebih terkejut lagi oleh manipulasi hedge fund yang dilakukan Bernard Madoff. Siapa yang dapat mengatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi? Manipulasi Ponzi sudah menjadi penyakit menular di seluruh dunia, tapi banyak orang belum juga sembuh dari kebodohannya.
Selama paradigma orang masih sekedar mencari yang langsung, instan, pokoknya asal ada, asal kelihatan hasil, asal bisa disaksikan dan dibuat 'testimony', semua itu sudah dianggap cukup. Tak usah pikir panjang, yang penting untung sekarang! Pertanyaan: apakah orang sungguh-sungguh belajar dari tsunami ekonomi yang baru terjadi?
Tuhan Yesus sudah mengerti sifat manusia ini sejak pertama. Waktu itu, orang-orang dengan takjub mendengarkan kotbah Yesus di atas bukit. Orang merasa bahwa Yesus berbicara dengan penuh kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang monoton dan membosankan, meributkan setiap detil cara hidup agar sesuai dengan hukum Taurat. Benarlah, orang yang mengikuti hukum memang lebih menekankan pada hal-hal yang dilarang, yang tidak sesuai, yang tidak boleh dilanggar. Semua itu adalah rambu-rambu yang diletakkan, sudah ada di sana berabad-abad lamanya. Rambu-rambu yang melarang dan beberapa menyuruh orang berbuat sesuatu, khususnya perkara ritual dan agama.
Orang Yahudi waktu itu sudah merasa baik karena sudah punya rambu, aturan, hukum. Orang sudah merasa oke karena sudah mendengarkan kotbah yang luar biasa. Orang menganggap hidupnya berubah karena telah melakukan suatu ritual. Instan. Praktis. Pragmatis. Orang modern pun merasa sudah aman karena punya tabungan, punya polis asuransi, punya pekerjaan, punya investasi. Punya rumah.
Tuhan Yesus menunjuk pada perumpamaan rumah. Ini adalah hal yang dibutuhkan manusia secara mendasar, suatu tempat untuk menjalani kehidupan. Rumah bukan sekedar suatu bangunan, tapi juga organisasinya, lingkup pengaruhnya, kepentingan-kepentingan dalam kehidupan seorang manusia. Rumah adalah oikos dan pengaturan adalah nemein, pengaturan rumah lalu di sebut oikonomia, ekonomi. Bagaimana rumah diatur? Apa landasannya, fondasinya?
Setelah Tuhan Yesus selesai memberikan pengajaran di atas bukit, Dia memberi peringatan: orang yang mendengarkan tapi tidak melakukannya menjadi orang bodoh. Bodoh kalau hanya merasa cukup dengan memiliki pengalaman mendengar. Orang bodoh merasa istimewa hanya karena pernah berada di bukit dan takjub mendengar pengajaran yang penuh kuasa. Mereka yang berkumpul itu bisa saja terus bercerita kepada kerabat keluarganya, lantas menyatakan, “marilah mengikuti Yesus!” Mereka memasang label, menambah identitas pada ktp mereka dengan kata-kata 'Pengikut Yesus'. Tapi, hanya itu saja. Hidup mereka tetap sama, perilaku mereka tidak berubah.
Sebagian orang lain juga mendengarkan, tetapi bukan hanya itu saja; mereka juga melakukan apa yang Tuhan Yesus ajarkan. Untuk melakukan, prosesnya tidak bisa instan. Orang harus belajar untuk mengenali apa yang selama ini menjadi perilakunya, lalu belajar untuk berubah dari hari ke hari. Beberapa hal bisa berubah dengan cepat. Beberapa hal lain membutuhkan waktu tahunan. Untuk sesaat kelihatannya orang berhasil, tetapi mereka jatuh lagi dan harus mulai lagi dari bawah. Untuk melakukan ajaran Tuhan Yesus, orang harus berkomitmen: mereka harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan berusaha mengikuti Yesus setiap hari.
Ekonomi yang sejati bukan berdasarkan sertifikat seminar dengan keynote speaker yang hebat. Bukan karena punya ijazah akademik setingkat Master atau Doktor. Ada orang yang mempunyai titel Doktor, hebat dalam berargumen dan menyusun tulisan dan mengajari mahasiswa, namun perilakunya menjadi masalah banyak orang. Dia bisa menjabarkan setiap ayat kotbah di bukit dengan fasih, tetapi tidak melakukannya. Dia bisa mengajukan berbagai dalil-dalil ekonomi dengan cara yang mengagumkan tetapi hidupnya sendiri, ekonominya, berantakan. Dia sudah membangun rumahnya, bahkan membuat rumah yang besar, megah, menakjubkan.
Tapi, rumah itu dibangun di atas pasir, yang rubuh diterjang masalah. Herannya, sebelum itu terjadi kita memperhatikan, bahkan mengidolakan. Apa yang kita lihat?
Orang membicarakan dirinya, membuat kita mengagumi pengaturan rumahnya, ekonominya kelihatan dahsyat, serta melihat sebuah gelembung besar raksasa yang berkilauan dibawah lampu-lampu sorot dunia. Semua itu langsung kelihatan, segera bisa nampak dan dinikmati. Kita ingin seperti begitu, berkhayal bahwa kita sendiri memiliki semua kemilau itu, lantas bertanya-tanya bagaimana caranya. Bagaimana cara membangun rumah dengan cepat di atas pasir?
Ini semua mengingatkan kita, para pengikut Tuhan Yesus Kristus. Ada orang menjadi pengikut Kristus, tetapi tidak melakukan ajaran-Nya. Orang ini mempunyai citra yang hebat untuk sesaat, ketika segala sesuatu baik dan tenteram, tidak ada masalah.
Tetapi, kemudian datanglah hujan dan banjir. Datanglah angin yang keras. Seperti akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim, yang baru diakui kegentingannya dalam tiga tahun terakhir padahal para ahli sudah meributkan hal ini sejak belasan tahun lalu. Tuhan Yesus dengan tepat menggambarkan akibat bencana itu pada rumah-rumah yang ada. Rumah yang dibangun di atas batu memang mengalami hal yang berat, tetapi masih tetap berdiri. Rumah yang dibangun di atas pasir hancur rubuh. Terjangan air yang keras menghapus hasil kerja bertahun-tahun. Ijazah yang diperoleh dengan susah payah tiba-tiba saja tidak berarti lagi untuk mencari kerja, nama yang dibangun dalam waktu lama mendadak tidak ada maknanya.
Bayangkan jika yang datang bukan sekedar banjir, tapi tsunami. Kita sebut: tsunami ekonomi. Apa yang tersisa dari rumah yang dibangun di atas pasir? Gelembung besar itu pecah, suaranya memekakkan telinga. Ketika orang sadar dirinya tertipu oleh Madoff, ada yang terus membunuh diri dengan memotong urat nadi tangannya sendiri. Bagi banyak orang lainnya, mereka mengalami gangguan mental dan kejiwaan.
Orang Kristen yang mendengarkan Firman Tuhan tapi tidak melakukan, menjadi orang bodoh. Karena dunia ini berubah dan membawa bencana, tidak ada yang bisa berharap lepas dari segala kesulitan dan masalah sepanjang tinggal di atas muka bumi yang sudah tua ini. Tuhan menjanjikan dunia baru kelak yang sempurna, tapi sekarang kita masih tinggal di sini. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ajarkan, justru karena itulah cara yang benar untuk mengatasinya. Tuhan Yesus adalah kebenaran, adalah jalan, adalah hidup.
Sekarang, banyak rumah yang rubuh. Pengaturan rumah yang kacau. Ekonomi yang berantakan – kita bukan bicara soal ekonomi negara, melainkan ekonomi keluarga. Terjangan masalah keuangan membuat kekacauan yang membingungkan, karena apa yang diandalkan selama ini adalah label dan titel. Yang diutamakan adalah ijazahnya, bukan ilmu pengetahuan untuk diterapkan. Yang dibayangkan adalah menjadi karyawan yang pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan, bukan menjadi orang yang berusaha. Yang dibanggakan adalah citra, sekalipun itu hanya gelembung sesaat saja.
Menyedihkan, tapi diperlukan – ini adalah saatnya rumah diatur ulang. Fondasinya ditanam pada batu, bukan pasir. Bukan tentang label dan titel, bukan sekedar memiliki surat. Bukan sekedar memenuhi absensi pagi dan sore, tanpa mengerjakan sesuatu yang benar-benar berarti. Mari kita melakukan ajaran Tuhan Yesus, berdoa agar kita dimampukan untuk mengikuti-Nya. Mari kita melakukan pekerjaan yang benar, yang produktif, agar nama Tuhan dimuliakan dan hidup kita dibangkitkan.
Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
Donny A. Wiguna, ST, MA, CFP® QWP® AEPP® QFE. Perencana Keuangan Profesional. Pengajar Keuangan. Pengikut Kristus.
Cari Blog Ini
29 Desember 2008
24 Desember 2008
Natal: Pemberian Di Akhir Tahun 2008
1 Tes 2:8 Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.
Ketika Injil diberitakan untuk pertama kalinya di kota Tesalonika, belum ada berita Natal. Belum ada perayaan Natal, atau menghias pohon cemara, atau berbagi kue-kue dan kado-kado. Namun di sana ada kasih, seperti dalam berita Natal. Di sana juga ada hidup yang dibagi, dalam kasih sayang yang besar. Betapa mudahnya kita menemukan kesejajaran antara berita Natal dengan kehidupan yang dibagikan di antara orang-orang Tesalonika.
Perhatikanlah: kota Tesalonika adalah kota yang besar. Ini adalah kota pelabuhan besar, ibukota Makedonia yang terkenal, bagian dari kerajaan Yunani kuno. Bayangkan, betapa banyaknya para pedagang dan tuan tanah yang sibuk di sana, masing-masing membawa pegawai dan budak-budaknya sendiri. Semuanya riuh rendah beraktivitas, lengkap dengan segala benturan kepentingan di dalamnya: urusan dengan penjajah Romawi, persaingan dagang, manipulasi politik, dan juga kemerosotan moral yang membawa korupsi hebat, manipulatif, dan saling bunuh yang keji. Gejolak di kekaisaran Romawi menghilangkan kesatuan dari para penguasa dan pemimpin tentara, dan korban yang paling tidak berdaya adalah kaum marginal yang jadi pesuruh, budak, juga para perempuan dan anak-anak.
Jangan membayangkan kondisi kota besar saat itu seperti di jaman sekarang. Kalau sekarang, orang cenderung bersikap pluralis, sekuler – benar-benar memisahkan urusan bisnis dengan kepercayaan. Tetapi pada waktu itu kepercayaan adalah bagian dari bisnis. Di samping itu, manusia terbagi atas kelas-kelas yang berbeda dan terpisah secara mutlak. Hanya kondisi khusus saja yang mampu menerobos batas-batas sosial dan religius yang sudah terpelihara berabad-abad lamanya.
Jadi, ketika di abad pertama Rasul Paulus memberitakan Injil, tantangannya luar biasa. Orang menghadapi resiko besar untuk menganut sebuah kepercayaan yang baru; dia bisa kehilangan banyak hal karena orang mengucilkannya sebagai sumber keanehan, yang berarti banyak masalah. Banyak penerima berita Injil adalah kalangan menengah dan bawah, yang harus menghadapi penindasan lebih besar serta kesulitan yang tak terbayangkan. Tapi, betapapun juga, toh mereka menerima Berita Injil itu.
Apa yang disebut Natal? Bagi orang Tesalonika saat itu, barangkali tak ada sedikit pun bayangan tentang hari Natal seperti yang kita alami. Tetapi mereka memahami tentang pemberian karena kasih sayang yang besar. Para pemberita Injil bukan sekedar membagikan berita, melainkan membagi kehidupan mereka sendiri. Kiasan Paulus: seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawati anaknya. Kasih sayang yang ditunjukkan lebih besar daripada penindasan, lebih berkuasa daripada kesulitan – sedemikian rupa sehingga penindasan dan kesulitan tidak sanggup merebut sukacitanya.
Apakah Natal memberi sukacita kepada kita juga? Hari ini, kita tidak menghadapi penindasan atau kesulitan seperti jemaat di Tesalonika. Kita tidak menghadapi budaya yang membagi-bagi kelas oleh dinding sosial dan religius – walaupun memang masih ada seperti itu – yang tidak dapat ditembus. Kita tidak lagi menghadapi perbudakan, meskipun memang masih ada penjajahan. Tetapi, adakah sukacita kita dihari Natal lebih besar daripada beban dan pergumulan hidup yang harus kita hadapi?
Di penghujung tahun 2008 ini, nampaknya lebih banyak orang yang berbicara tentang kesulitan dan masalah yang harus dihadapi. Kita bicara tentang PHK, tentang kemunduran ekonomi secara global, tentang hancurnya usaha yang sudah ratusan tahun. Kita bicara tentang kegagalan sistem finansial, tak ada lagi keamanan, hancurnya harapan.
Harapan siapa yang hancur? Keamanan seperti apa yang hilang? Perhatikanlah: semua yang hilang adalah segala hal yang dibuat oleh manusia. Sistem finansial yang dibangun bertahun-tahun, dirancang oleh pikiran-pikiran cerdas yang diakui dan ternama – itulah yang gagal. Keamanan yang dibuat orang, yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang (seharusnya) berkesinambungan – itulah yang tidak ada lagi. Siapa yang tidak kaget ketiga Bernard Madoff, yang sebelumnya menjadi Ketua Nasdaq – bursa saham elektronik terbesar dunia – ternyata melakukan penipuan menurut skema Ponzi yang penuh janji, dan sekarang gagal total dan menimbulkan kerugian hingga US$ 50 Miliar?
Kehadiran Yesus Kristus memberi harapan yang pasti, keamanan yang tidak pernah berakhir. Kehadiran Kristus memastikan suatu keadaan yang tidak tergantung pada pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, atau peningkatan produktivitas manusia. Janji yang diberikan Kristus tidak tergantung pada kesanggupan manusia melakukan sesuatu, melainkan pada janji Allah yang tidak gagal, selalu tepat, benar, dan pasti. Oleh karena Kristus, kita mempunyai suatu kepastian akan hidup yang kekal, dalam keadaan yang sempurna. Jika direnungkan, inilah sebenarnya keselamatan: suatu kepastian – suatu misteri yang diselidiki orang dari berbagai bangsa, di segala jaman, abad, dan tempat – tentang masa depan.
Masa depan orang-orang yang berada dalam Kristus adalah suatu hal yang pasti. Tidak peduli bagaimana pun keadaannya sekarang, miskin atau kaya, pengangguran atau pengusaha, gagal atau berhasil, semua yang tetap ada dalam Kristus tetap mempunyai kepastian tentang hidupnya kelak. Tidak ada yang dapat mengubahnya, tidak ada yang bisa memisahkan manusia dari kasih Kristus, tidak ada yang bisa menghentikan kuasa Allah.
Karena kuasa-Nya besar, maka orang-orang yang berada dalam Kristus juga sanggup memberikan kasih sayang seperti yang diberikan Kristus. Mereka bukan hanya membagikan berita Injil, melainkan juga memberi hidup kepada orang-orang yang mereka layani. Bukankah Kristus juga memberi hidup-Nya, dengan mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di kayu salib? Natal adalah peristiwa pemberian, suatu perwujudan kasih sayang. Inilah yang dilakukan rasul Paulus bagi jemaat Tesalonika. Inilah yang dilakukan para hamba Tuhan di berbagai penjuru dunia, tahun demi tahun, abad demi abad. Natal menjadi proses yang berulang, terjadi dan terjadi lagi: pemberian tanpa pamrih yang terus menerus menjadikan dunia tempat yang lebih baik.
Sayangnya, orang masa kini lebih banyak memaknai Natal sebagai peristiwa untuk menerima: mendapat order lebih banyak, penjualan lebih besar, atau menerima bonus dan kado yang menyenangkan. Ketika dunia masuk dalam kondisi krisis, tiba-tiba saja banyak orang menjadi bingung kehilangan makna Natal. Tidak ada lagi order, penjualan justru menurun, dan tidak ada pembagian bonus atau kado apapun. Apa artinya Natal? Kemurungan terjadi, dan tidak sedikit orang yang tidak mau merayakan natal lagi.
Dapatkanlah makna Natal yang sesungguhnya! Bersukacitalah, karena ada harapan yang pasti dan keamanan yang tidak pernah berhenti. Bagi anak-anak TUHAN, mari kita sungguh-sungguh merenungkan arti perwujudan Yesus Kristus ke dalam dunia, sebagai teladan untuk bagi orang yang mengikuti-Nya. Bukan hanya pemberitaan Injil, bukan sekedar pembacaan Firman atau kotbah atau renungan, melainkan juga hidup yang diberikan bagi sesama.
Ketika anak-anak TUHAN melakukan hal ini, kepastian akan masa depan mendatangkan harapan bagi masa kini. Karena tahu pasti akan hidup kekal kelak, orang percaya tidak ragu untuk memberi bagi dunia di masa sekarang. Pemberiannya adalah kasih sayang yang besar, yang sanggup mempengaruhi orang, memimpin orang-orang disekitarnya. Hasilnya adalah suatu komitmen untuk membangun, komitmen untuk berusaha serta memberi yang terbaik. Kehidupan anak-anak Tuhan mendatangkan kualitas bagi dunia di sekitarnya, suatu kehidupan yang memberi sesuai harapan, atau bahkan melebihinya. Maka dunia kembali menemukan bahwa anak-anak Tuhan dapat diandalkan, untuk bersama-sama membangun, membawa kesejahteraan dan kemakmuran.
Natal adalah proses terus menerus yang kini menjadi bagian kita juga. Siapkah kita meneladani Kristus yang mengasihi dan memberi? Kasih, kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Siapkah kita membawa usaha-usaha yang positif, bisnis yang positif, sebagai perwujudan Natal?
Selamat hari Natal 2008 dan Tahun Baru 2009!
Ketika Injil diberitakan untuk pertama kalinya di kota Tesalonika, belum ada berita Natal. Belum ada perayaan Natal, atau menghias pohon cemara, atau berbagi kue-kue dan kado-kado. Namun di sana ada kasih, seperti dalam berita Natal. Di sana juga ada hidup yang dibagi, dalam kasih sayang yang besar. Betapa mudahnya kita menemukan kesejajaran antara berita Natal dengan kehidupan yang dibagikan di antara orang-orang Tesalonika.
Perhatikanlah: kota Tesalonika adalah kota yang besar. Ini adalah kota pelabuhan besar, ibukota Makedonia yang terkenal, bagian dari kerajaan Yunani kuno. Bayangkan, betapa banyaknya para pedagang dan tuan tanah yang sibuk di sana, masing-masing membawa pegawai dan budak-budaknya sendiri. Semuanya riuh rendah beraktivitas, lengkap dengan segala benturan kepentingan di dalamnya: urusan dengan penjajah Romawi, persaingan dagang, manipulasi politik, dan juga kemerosotan moral yang membawa korupsi hebat, manipulatif, dan saling bunuh yang keji. Gejolak di kekaisaran Romawi menghilangkan kesatuan dari para penguasa dan pemimpin tentara, dan korban yang paling tidak berdaya adalah kaum marginal yang jadi pesuruh, budak, juga para perempuan dan anak-anak.
Jangan membayangkan kondisi kota besar saat itu seperti di jaman sekarang. Kalau sekarang, orang cenderung bersikap pluralis, sekuler – benar-benar memisahkan urusan bisnis dengan kepercayaan. Tetapi pada waktu itu kepercayaan adalah bagian dari bisnis. Di samping itu, manusia terbagi atas kelas-kelas yang berbeda dan terpisah secara mutlak. Hanya kondisi khusus saja yang mampu menerobos batas-batas sosial dan religius yang sudah terpelihara berabad-abad lamanya.
Jadi, ketika di abad pertama Rasul Paulus memberitakan Injil, tantangannya luar biasa. Orang menghadapi resiko besar untuk menganut sebuah kepercayaan yang baru; dia bisa kehilangan banyak hal karena orang mengucilkannya sebagai sumber keanehan, yang berarti banyak masalah. Banyak penerima berita Injil adalah kalangan menengah dan bawah, yang harus menghadapi penindasan lebih besar serta kesulitan yang tak terbayangkan. Tapi, betapapun juga, toh mereka menerima Berita Injil itu.
Apa yang disebut Natal? Bagi orang Tesalonika saat itu, barangkali tak ada sedikit pun bayangan tentang hari Natal seperti yang kita alami. Tetapi mereka memahami tentang pemberian karena kasih sayang yang besar. Para pemberita Injil bukan sekedar membagikan berita, melainkan membagi kehidupan mereka sendiri. Kiasan Paulus: seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawati anaknya. Kasih sayang yang ditunjukkan lebih besar daripada penindasan, lebih berkuasa daripada kesulitan – sedemikian rupa sehingga penindasan dan kesulitan tidak sanggup merebut sukacitanya.
Apakah Natal memberi sukacita kepada kita juga? Hari ini, kita tidak menghadapi penindasan atau kesulitan seperti jemaat di Tesalonika. Kita tidak menghadapi budaya yang membagi-bagi kelas oleh dinding sosial dan religius – walaupun memang masih ada seperti itu – yang tidak dapat ditembus. Kita tidak lagi menghadapi perbudakan, meskipun memang masih ada penjajahan. Tetapi, adakah sukacita kita dihari Natal lebih besar daripada beban dan pergumulan hidup yang harus kita hadapi?
Di penghujung tahun 2008 ini, nampaknya lebih banyak orang yang berbicara tentang kesulitan dan masalah yang harus dihadapi. Kita bicara tentang PHK, tentang kemunduran ekonomi secara global, tentang hancurnya usaha yang sudah ratusan tahun. Kita bicara tentang kegagalan sistem finansial, tak ada lagi keamanan, hancurnya harapan.
Harapan siapa yang hancur? Keamanan seperti apa yang hilang? Perhatikanlah: semua yang hilang adalah segala hal yang dibuat oleh manusia. Sistem finansial yang dibangun bertahun-tahun, dirancang oleh pikiran-pikiran cerdas yang diakui dan ternama – itulah yang gagal. Keamanan yang dibuat orang, yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang (seharusnya) berkesinambungan – itulah yang tidak ada lagi. Siapa yang tidak kaget ketiga Bernard Madoff, yang sebelumnya menjadi Ketua Nasdaq – bursa saham elektronik terbesar dunia – ternyata melakukan penipuan menurut skema Ponzi yang penuh janji, dan sekarang gagal total dan menimbulkan kerugian hingga US$ 50 Miliar?
Kehadiran Yesus Kristus memberi harapan yang pasti, keamanan yang tidak pernah berakhir. Kehadiran Kristus memastikan suatu keadaan yang tidak tergantung pada pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, atau peningkatan produktivitas manusia. Janji yang diberikan Kristus tidak tergantung pada kesanggupan manusia melakukan sesuatu, melainkan pada janji Allah yang tidak gagal, selalu tepat, benar, dan pasti. Oleh karena Kristus, kita mempunyai suatu kepastian akan hidup yang kekal, dalam keadaan yang sempurna. Jika direnungkan, inilah sebenarnya keselamatan: suatu kepastian – suatu misteri yang diselidiki orang dari berbagai bangsa, di segala jaman, abad, dan tempat – tentang masa depan.
Masa depan orang-orang yang berada dalam Kristus adalah suatu hal yang pasti. Tidak peduli bagaimana pun keadaannya sekarang, miskin atau kaya, pengangguran atau pengusaha, gagal atau berhasil, semua yang tetap ada dalam Kristus tetap mempunyai kepastian tentang hidupnya kelak. Tidak ada yang dapat mengubahnya, tidak ada yang bisa memisahkan manusia dari kasih Kristus, tidak ada yang bisa menghentikan kuasa Allah.
Karena kuasa-Nya besar, maka orang-orang yang berada dalam Kristus juga sanggup memberikan kasih sayang seperti yang diberikan Kristus. Mereka bukan hanya membagikan berita Injil, melainkan juga memberi hidup kepada orang-orang yang mereka layani. Bukankah Kristus juga memberi hidup-Nya, dengan mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di kayu salib? Natal adalah peristiwa pemberian, suatu perwujudan kasih sayang. Inilah yang dilakukan rasul Paulus bagi jemaat Tesalonika. Inilah yang dilakukan para hamba Tuhan di berbagai penjuru dunia, tahun demi tahun, abad demi abad. Natal menjadi proses yang berulang, terjadi dan terjadi lagi: pemberian tanpa pamrih yang terus menerus menjadikan dunia tempat yang lebih baik.
Sayangnya, orang masa kini lebih banyak memaknai Natal sebagai peristiwa untuk menerima: mendapat order lebih banyak, penjualan lebih besar, atau menerima bonus dan kado yang menyenangkan. Ketika dunia masuk dalam kondisi krisis, tiba-tiba saja banyak orang menjadi bingung kehilangan makna Natal. Tidak ada lagi order, penjualan justru menurun, dan tidak ada pembagian bonus atau kado apapun. Apa artinya Natal? Kemurungan terjadi, dan tidak sedikit orang yang tidak mau merayakan natal lagi.
Dapatkanlah makna Natal yang sesungguhnya! Bersukacitalah, karena ada harapan yang pasti dan keamanan yang tidak pernah berhenti. Bagi anak-anak TUHAN, mari kita sungguh-sungguh merenungkan arti perwujudan Yesus Kristus ke dalam dunia, sebagai teladan untuk bagi orang yang mengikuti-Nya. Bukan hanya pemberitaan Injil, bukan sekedar pembacaan Firman atau kotbah atau renungan, melainkan juga hidup yang diberikan bagi sesama.
Ketika anak-anak TUHAN melakukan hal ini, kepastian akan masa depan mendatangkan harapan bagi masa kini. Karena tahu pasti akan hidup kekal kelak, orang percaya tidak ragu untuk memberi bagi dunia di masa sekarang. Pemberiannya adalah kasih sayang yang besar, yang sanggup mempengaruhi orang, memimpin orang-orang disekitarnya. Hasilnya adalah suatu komitmen untuk membangun, komitmen untuk berusaha serta memberi yang terbaik. Kehidupan anak-anak Tuhan mendatangkan kualitas bagi dunia di sekitarnya, suatu kehidupan yang memberi sesuai harapan, atau bahkan melebihinya. Maka dunia kembali menemukan bahwa anak-anak Tuhan dapat diandalkan, untuk bersama-sama membangun, membawa kesejahteraan dan kemakmuran.
Natal adalah proses terus menerus yang kini menjadi bagian kita juga. Siapkah kita meneladani Kristus yang mengasihi dan memberi? Kasih, kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Siapkah kita membawa usaha-usaha yang positif, bisnis yang positif, sebagai perwujudan Natal?
Selamat hari Natal 2008 dan Tahun Baru 2009!
15 Desember 2008
Sikap Beradaptasi Terhadap Krisis
Ketika dunia menghadapi kenyataan bahwa kekayaan mereka tidak sebesar yang dibayangkan, ada tiga sikap yang muncul. Sikap pertama, sebagian orang menyangkal kenyataan itu. Dikatakan bahwa semua yang terjadi hanyalah bersifat sementara dan tak lama lagi keadaan akan pulih menjadi seperti semula. Orang-orang ini terus menerus bertahan dan berharap pemulihan segera terjadi, menunggu waktu membereskan semua kekacauan.
Sikap kedua, sebagian orang melihat keadaan menjadi buruk dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Dalam situasi ini, mereka justru menjadi serakah, mengikuti pandangan “/Survival of the fittest/” menurut teori evolusi. Keserakahan ini bukan muncul dari karakter dasar, melainkan keluar dari kekuatiran di tengah situasi sulit. Hidup menjadi seperti peperangan: untuk bisa hidup, yang lain dibiarkan mati. Pandangan ini juga berangkat dari keyakinan akan keterbatasan akan segala sesuatu, jadi kalau mau bertahan harus mengambil bagian orang lain. Begitulah mereka terus berupaya mengambil dan menyimpan untuk diri sendiri.
Sikap ketiga, diambil oleh orang-orang yang melihat bahwa semua ini merupakan bagian dari perubahan, suatu roda kehidupan yang kadang di atas, kadang di bawah. Dalam pandangan mereka yang mengambil sikap ketiga, tantangan terpenting bukanlah soal selamat di hari ini, melainkan bagaimana meneruskan hidup di hari esok. Sampai tingkat tertentu, kesulitan di hari ini diterima walau terasa sakit agar dapat tetap memiliki kesempatan di masa yang akan datang. Untuk itu, bukan hanya diri sendiri saja yang selamat tetapi orang lain juga. Jika di masa depan hanya diri sendiri yang selamat, maka masa depan itu akan menjadi awal dari proses akhir, sebelum akhirnya semua binasa. Orang membutuhkan kerja sama untuk tetap bertahan.
Tantangan yang orang Indonesia hadapi sekarang adalah memahami ketiga sikap ini. Kita melihat bahwa sikap pertama banyak dianut oleh para pejabat pemerintah, apalagi pemerintah daerah yang sepertinya sama sekali tidak mengerti krisis yang terjadi. Sikap ini juga ditunjukkan oleh sebagian partai politik yang masih tetap berkampanye seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi di atas dunia ini. Urusan yang diangkat masih seputar konflik-konflik internal dan pencitraan diri, sama sekali tidak menyentuh realita – bahkan menunjukkan ketidak-pahaman yang utuh. Mengingat mereka menjadi pemerintah, tentu hal ini terasa ironis sekali.
Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan juga pemain di pasar modal dan komoditas – baik sebagai investor atau trader yang betul-betul mengikuti peristiwa-peristiwa dunia – mengambil sikap kedua. Kalau diperhatikan, kejatuhan pasar modal Indonesia sebagian diakibatkan oleh kepanikan pemodal domestik ketika melihat pihak asing secara besar-besaran melepas aset mereka, baik saham, obligasi, maupun surat berharga lainnya. Kita bisa memahami alasan pihak asing mencairkan aset; mereka harus menutupi kebutuhan akan likuiditas yang tersendat akibat kerugian besar dalam subprime mortgage. Tetapi alasan pihak domestik adalah ketakutan hilangnya nilai akibat harga yang jatuh oleh pencairan besar-besaran ini. Mereka turut berupaya secepatnya memegang dana tunai, seperti sedang berlomba dengan investor asing. Bahkan, mereka juga berlomba untuk memegang dana tunai dalam mata uang US Dollar, karena siapapun bisa memperhitungkan bahwa permintaan akan dollar menjadi tinggi secara ekstrim dalam jangka pendek. Bukankah semua aset yang dicairkan itu dalam mata uang Rupiah, sedang yang dibutuhkan adalah dana dalam US Dollar?
“Kerja sama” antara kedua sikap menyangkal dan serakah ini secara efektif menempatkan pasar modal Indonesia di posisi sulit. Hanya sebagian yang mengambil sikap ketiga, untuk beradaptasi sambil tetap memperjuangkan kepentingan bersama di Indonesia. Kita harus menghargai usaha-usaha tidak kenal lelah yang diupayakan oleh Ibu Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan seluruh jajaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Masalahnya, otoritas keuangan terbatas oleh kebijakan dan peraturan, dan tentunya tidak dapat memaksa orang untuk bersikap tertentu. Selain itu, masih banyak jajaran pemerintah yang nampaknya sama sekali tidak membantu karena masih mengambil sikap pertama sekalipun Bapak Presiden sudah menyatakan kekritisan situasi yang terjadi.
Sementara itu, situasi perekonomian negara maju (yang sekarang tidak maju, melainkan sedang mundur) mulai menyentuh jalanan dan kehidupan sehari-hari. Siklus dimulai dari hutang; rakyat Amerika terbelit hutang rumah tangga yang jumlah totalnya lebih besar daripada PDB. Akibatnya, perbankan melakukan pengetatan pinjaman, baik untuk konsumen maupun kredit usaha. Pengetatan ini mempersulit banyak orang dan badan usaha, karena selama ini perputaran kas ditopang oleh hutang (karena sebelumnya, bunga kredit sangat rendah). Otomatis terjadi penurunan pembelanjaan, karena orang kesulitan dana tunai. Orang yang semula tidak berhutang pun kini kehilangan pendapatan, mau tidak mau harus berhutang juga padahal mereka belum tentu bisa membayarnya. Perbankan tentunya mengetahui hal ini, sehingga memperketat lagi pinjaman, dan lingkaran setan ini berputar kembali.
Pukulan paling keras langsung dirasakan oleh dua sektor yang bertumpu pada “pembelian besar” yaitu perumahan berikut isi rumah dan transportasi. Harga rumah dan furniture di Amerika merosot tajam, tetapi masih tidak ada pembeli. Demikian juga dengan transportasi, khususnya penjualan mobil. Masalahnya, mobil umumnya dibeli dengan cara dicicil, sedang sekarang kredit tertahan. Lagipula, produsen mobil di Amerika seperti General Motors dan Chrysler mengambil posisi pada mobil kelas 'atas' yang mengutamakan kenyamanan dan kemewahan. Hanya Ford yang masih berada pada segmen kelas menengah dan bawah, bersama dengan Toyota, Honda, dan Nissan. Kita lihat sekarang GM dan Chrysler dalam kesulitan keuangan besar; GM bahkan sudah mulai menyewa pengacara untuk kebangkrutan. Ford masih bertahan, tetapi kalau kedua perusahaan otomotif raksasa lain mengalami kebangkrutan, Ford juga akan mengalami kesulitan besar karena kehilangan pemasok.
Untuk memahami masalahnya lebih baik, jangan membayangkan kebangkrutan ini hanya dihadapi perusahaan otomotif. Mereka tidak memproduksi semua sendiri; banyak hal yang dipasok oleh ribuan perusahaan lain kepada ketiga perusahaan otomotif raksasa Amerika ini. Mereka juga menjual mobil melalui jaringan jutaan dealer di seluruh Amerika, yang memasarkan ketiga mereka. Kebangkrutan dua raksasa otomotif akan turut membangkrutkan ribuan perusahaan pemasok dan entah berapa banyak dealer yang tidak bisa secara cepat beralih ke produk mobil dari Asia. Kesulitan ini secara efektif akan turut memangkas jalur supply dan distribusi Ford juga, dan mungkin akan segera membangkrutkan semuanya.
Saat ini, bailout yang diajukan sebesar USD 14 Milliar telah ditolak oleh Senat. Harapan perusahaan otomotif, administrasi Bush akan mengambil dana talangan yang USD 700 Miliar. Banyak orang berharap-harap cemas, dan kita lihat Wall Street langsung jatuh menyusul penolakan Senat. Tetapi, sebenarnya mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan oleh dana USD 14 Milliar. Seandainya ketiga perusahaan mendapat talangan, tetap saja ada banyak sekali dealer mobil yang telah bangkrut, demikian juga sejumlah perusahaan pemasok yang tidak lagi menerima order dari ketiga raksasa ini. Beberapa melihat, sebenarnya dana talangan ini akan sia-sia saja, karena tidak mungkin pemerintah menalangi hilangnya pasar akibat krisis ekonomi. Kebangkrutan adalah hal yang tidak dapat dihindari, sebagaimana kita lihat perusahaan yang tadinya ditalangi seperti AIG pun masih meminta lagi. Apakah memang semuanya harus bangkrut dahulu, sebelum bisa bangkit lagi?
Amerika adalah pasar pembeli terbesar dunia. Ketika Amerika tidak lagi berbelanja, efeknya langsung dirasakan oleh semua negara yang berproduksi. Amerika juga adalah pasar modal terbesar di dunia. Ketika pasar modal Amerika jatuh, pasar modal di Inggris dan Uni Eropa turut bertumbangan. Secara keseluruhan, negara-negara maju mengalami kontraksi ekonomi dalam skala sangat besar; sesuatu yang tidak pernah terjadi selama 50 tahun terakhir. Kontraksi ekonomi ini membuat semua negara pemasok juga mengalami kontraksi, termasuk Cina dan India yang selama ini bertumbuh pesat. Mereka yang selama ini mencari bahan baku, turut menghentikan permintaan.
Indonesia tidak dalam posisi pemasok besar ke Amerika, tetapi kita banyak menjual bahan baku ke Cina, ke India, juga ke Timur Tengah. Semula, krisis di Amerika tidak terlihat mengkhawatirkan karena nyatanya persentase ekspor ke sana tidaklah dominan. Namun ketika Cina dan India turut menyetop permintaan, masalahnya menjadi lebih serius. Negara-negara Arab yang semula memiliki daya beli tinggi oleh karena minyak, kini juga mengalami kontraksi sesuai turunnya harga minyak yang drastis.
Tentang negara-negara ini, kita perlu mengerti bahwa masalah di sana menyerupai kondisi di Indonesia dalam hal kesenjangan. Di antara pihak yang berkuasa dan orang-orang yang berperan dalam perekonomian, terdapat sejumlah besar kekayaan yang terkonsentrasi pada sekelompok golongan. Terhadap total penduduk, seperti di Cina yang tahun 2007 diestimasi lebih dari 1,3 Miliar, diperkirakan golongan kaya ini persentasenya kecil; namun tidak ada yang tahu jumlahnya. Intinya, walaupun PDB besar tetapi jumlah produk untuk didistribusikan di negara-negara Asia ini masih belum besar. Bagi sebagian besar rakyat Asia, perjuangan hidup adalah memenuhi kebutuhan primer. Diferensiasi produk belum menjadi strategi utama, karena kebanyakan orang masih mencari barang yang paling murah.
Dengan pemahaman ini, bagaimana kita dapat mengambil sikap menghadapi krisis? Kembali ke pembahasan sebelumnya, sikap menyangkal dan serakah akan menghancurkan peluang masa depan. Sementara itu, kondisi di Amerika masih belum dapat dipastikan, melihat besarnya masalah di sana. Demikian juga kita lihat pasar di negara-negara Asia mengalami kontraksi, karena banyak produsen yang kehilangan pasar. Seperti apa sikap “beradaptasi” yang dapat orang Indonesia ambil?
Masalah kita adalah kesenjangan ekonomi, berkaitan dengan perbedaan besar di antara kelas masyarakat. Golongan atas yang eksklusif mempunyai banyak sumber dan informasi; mereka masih tetap berbelanja namun karena jumlahnya sedikit, volume yang ditimbulkan juga terbatas. Golongan menengah hidup dalam perjuangan yang berbeda, membeli produk yang berbeda pada tingkat layanan dan harga yang berbeda, antara mencari barang yang berkualitas dan harga yang didiskon. Golongan bawah yang jumlahnya besar masih hidup dalam pola tradisional, mereka tidak mengerti segala persoalan 'kelas dunia' dan hanya termangu-mangu ketika mendadak harga jual jatuh secara ekstrim dan order berhenti. Walaupun sama-sama tinggal di Indonesia, ketiga golongan ini seperti tinggal di negara yang berbeda.
Jika Indonesia hendak bertumpu kepada ekonomi domestik, mau tidak mau kesenjangan ini harus dijembatani. Untuk memperoleh tingkat ekonomi yang cukup, dibutuhkan dua hal: pemerataan informasi dan pemerataan tingkat pendapatan, yang timbul oleh peningkatan produktivitas yang merata. Dengan pemerataan dua hal ini, kita bisa mengharapkan munculnya banyak pasar-pasar baru, perputaran ekonomi, dan juga berarti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan.
Apakah kita mau beradaptasi menghadapi krisis? Maka, kita harus bersedia berbagi pengetahuan, berbagi informasi yang menguntungkan banyak orang. Kesenjangan antar golongan harus dikikis, minimal dalam hal informasi. Tidak boleh lagi ada diskriminasi informasi! Dalam prosesnya, mutlak dibutuhkan kepercayaan, yang hanya bisa muncul jika setiap pihak menjaga etika dan integritas dalam membagi informasi dan kesempatan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Lihatlah: kita sekarang mengenal internet! Hari ini, jutaan orang saling terhubung satu sama lain. Orang dari berbagai belahan dunia saling berbagi dengan blog. Orang saling bersumbang relasi dan informasi dengan Facebook dan MySpace dan Friendster. Forum-forum dibuka, dan apa saja bisa dipelajari.
Ini adalah suatu sistem yang baru terbentuk, yang memungkinkan setiap orang menyumbangkan ide dan produktivitas demi kepentingan bersama. Untuk ini, sudah ada istilahnya: wikinomics. Memang hal ini nampak asing, bahkan mungkin terasa mengancam keberadaan bisnis-bisnis yang sudah mapan. Tetapi, bukankah dengan kondisi krisis, justru kemapanan menjadi suatu ancaman? Masalah di depan mata terlalu besar untuk dihadapi sendiri; sedang untuk berhasil, kesenjangan antar golongan harus diselesaikan.
Kalau tidak mau, bayangkanlah pada suatu hari di masa depan nanti, ada kemungkinan rakyat di Amerika akan sulit untuk mendapatkan makanan di atas meja mereka. Jutaan orang dari berbagai negara maju, termasuk dari negara tetangga kita, akan bertahan dengan masuk ke pasar yang lain. Mereka yang pandai, yang masih punya modal, akan berjuang di pasar-pasar yang masih terbuka seperti Indonesia. Melalui skema kerja sama seperti AFTA dan APEC yang sudah disetujui, mereka akan punya akses untuk berusaha di Indonesia, menyaingi rakyat Indonesia. Apakah mereka setuju dengan pemerataan? Sebaliknya, kesempatan dan informasi menjadi sesuatu yang bersifat diskriminatif secara absolut.
Kalau tidak mau beradaptasi dan menjadi pandai secepat-cepatnya, siapa tahu orang Indonesia akan terjajah di negaranya sendiri. Bukan oleh senjata atau kekerasan, melainkan oleh kompetensi dan informasi.
Mau?
Sikap kedua, sebagian orang melihat keadaan menjadi buruk dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Dalam situasi ini, mereka justru menjadi serakah, mengikuti pandangan “/Survival of the fittest/” menurut teori evolusi. Keserakahan ini bukan muncul dari karakter dasar, melainkan keluar dari kekuatiran di tengah situasi sulit. Hidup menjadi seperti peperangan: untuk bisa hidup, yang lain dibiarkan mati. Pandangan ini juga berangkat dari keyakinan akan keterbatasan akan segala sesuatu, jadi kalau mau bertahan harus mengambil bagian orang lain. Begitulah mereka terus berupaya mengambil dan menyimpan untuk diri sendiri.
Sikap ketiga, diambil oleh orang-orang yang melihat bahwa semua ini merupakan bagian dari perubahan, suatu roda kehidupan yang kadang di atas, kadang di bawah. Dalam pandangan mereka yang mengambil sikap ketiga, tantangan terpenting bukanlah soal selamat di hari ini, melainkan bagaimana meneruskan hidup di hari esok. Sampai tingkat tertentu, kesulitan di hari ini diterima walau terasa sakit agar dapat tetap memiliki kesempatan di masa yang akan datang. Untuk itu, bukan hanya diri sendiri saja yang selamat tetapi orang lain juga. Jika di masa depan hanya diri sendiri yang selamat, maka masa depan itu akan menjadi awal dari proses akhir, sebelum akhirnya semua binasa. Orang membutuhkan kerja sama untuk tetap bertahan.
Tantangan yang orang Indonesia hadapi sekarang adalah memahami ketiga sikap ini. Kita melihat bahwa sikap pertama banyak dianut oleh para pejabat pemerintah, apalagi pemerintah daerah yang sepertinya sama sekali tidak mengerti krisis yang terjadi. Sikap ini juga ditunjukkan oleh sebagian partai politik yang masih tetap berkampanye seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi di atas dunia ini. Urusan yang diangkat masih seputar konflik-konflik internal dan pencitraan diri, sama sekali tidak menyentuh realita – bahkan menunjukkan ketidak-pahaman yang utuh. Mengingat mereka menjadi pemerintah, tentu hal ini terasa ironis sekali.
Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan juga pemain di pasar modal dan komoditas – baik sebagai investor atau trader yang betul-betul mengikuti peristiwa-peristiwa dunia – mengambil sikap kedua. Kalau diperhatikan, kejatuhan pasar modal Indonesia sebagian diakibatkan oleh kepanikan pemodal domestik ketika melihat pihak asing secara besar-besaran melepas aset mereka, baik saham, obligasi, maupun surat berharga lainnya. Kita bisa memahami alasan pihak asing mencairkan aset; mereka harus menutupi kebutuhan akan likuiditas yang tersendat akibat kerugian besar dalam subprime mortgage. Tetapi alasan pihak domestik adalah ketakutan hilangnya nilai akibat harga yang jatuh oleh pencairan besar-besaran ini. Mereka turut berupaya secepatnya memegang dana tunai, seperti sedang berlomba dengan investor asing. Bahkan, mereka juga berlomba untuk memegang dana tunai dalam mata uang US Dollar, karena siapapun bisa memperhitungkan bahwa permintaan akan dollar menjadi tinggi secara ekstrim dalam jangka pendek. Bukankah semua aset yang dicairkan itu dalam mata uang Rupiah, sedang yang dibutuhkan adalah dana dalam US Dollar?
“Kerja sama” antara kedua sikap menyangkal dan serakah ini secara efektif menempatkan pasar modal Indonesia di posisi sulit. Hanya sebagian yang mengambil sikap ketiga, untuk beradaptasi sambil tetap memperjuangkan kepentingan bersama di Indonesia. Kita harus menghargai usaha-usaha tidak kenal lelah yang diupayakan oleh Ibu Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan seluruh jajaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Masalahnya, otoritas keuangan terbatas oleh kebijakan dan peraturan, dan tentunya tidak dapat memaksa orang untuk bersikap tertentu. Selain itu, masih banyak jajaran pemerintah yang nampaknya sama sekali tidak membantu karena masih mengambil sikap pertama sekalipun Bapak Presiden sudah menyatakan kekritisan situasi yang terjadi.
Sementara itu, situasi perekonomian negara maju (yang sekarang tidak maju, melainkan sedang mundur) mulai menyentuh jalanan dan kehidupan sehari-hari. Siklus dimulai dari hutang; rakyat Amerika terbelit hutang rumah tangga yang jumlah totalnya lebih besar daripada PDB. Akibatnya, perbankan melakukan pengetatan pinjaman, baik untuk konsumen maupun kredit usaha. Pengetatan ini mempersulit banyak orang dan badan usaha, karena selama ini perputaran kas ditopang oleh hutang (karena sebelumnya, bunga kredit sangat rendah). Otomatis terjadi penurunan pembelanjaan, karena orang kesulitan dana tunai. Orang yang semula tidak berhutang pun kini kehilangan pendapatan, mau tidak mau harus berhutang juga padahal mereka belum tentu bisa membayarnya. Perbankan tentunya mengetahui hal ini, sehingga memperketat lagi pinjaman, dan lingkaran setan ini berputar kembali.
Pukulan paling keras langsung dirasakan oleh dua sektor yang bertumpu pada “pembelian besar” yaitu perumahan berikut isi rumah dan transportasi. Harga rumah dan furniture di Amerika merosot tajam, tetapi masih tidak ada pembeli. Demikian juga dengan transportasi, khususnya penjualan mobil. Masalahnya, mobil umumnya dibeli dengan cara dicicil, sedang sekarang kredit tertahan. Lagipula, produsen mobil di Amerika seperti General Motors dan Chrysler mengambil posisi pada mobil kelas 'atas' yang mengutamakan kenyamanan dan kemewahan. Hanya Ford yang masih berada pada segmen kelas menengah dan bawah, bersama dengan Toyota, Honda, dan Nissan. Kita lihat sekarang GM dan Chrysler dalam kesulitan keuangan besar; GM bahkan sudah mulai menyewa pengacara untuk kebangkrutan. Ford masih bertahan, tetapi kalau kedua perusahaan otomotif raksasa lain mengalami kebangkrutan, Ford juga akan mengalami kesulitan besar karena kehilangan pemasok.
Untuk memahami masalahnya lebih baik, jangan membayangkan kebangkrutan ini hanya dihadapi perusahaan otomotif. Mereka tidak memproduksi semua sendiri; banyak hal yang dipasok oleh ribuan perusahaan lain kepada ketiga perusahaan otomotif raksasa Amerika ini. Mereka juga menjual mobil melalui jaringan jutaan dealer di seluruh Amerika, yang memasarkan ketiga mereka. Kebangkrutan dua raksasa otomotif akan turut membangkrutkan ribuan perusahaan pemasok dan entah berapa banyak dealer yang tidak bisa secara cepat beralih ke produk mobil dari Asia. Kesulitan ini secara efektif akan turut memangkas jalur supply dan distribusi Ford juga, dan mungkin akan segera membangkrutkan semuanya.
Saat ini, bailout yang diajukan sebesar USD 14 Milliar telah ditolak oleh Senat. Harapan perusahaan otomotif, administrasi Bush akan mengambil dana talangan yang USD 700 Miliar. Banyak orang berharap-harap cemas, dan kita lihat Wall Street langsung jatuh menyusul penolakan Senat. Tetapi, sebenarnya mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan oleh dana USD 14 Milliar. Seandainya ketiga perusahaan mendapat talangan, tetap saja ada banyak sekali dealer mobil yang telah bangkrut, demikian juga sejumlah perusahaan pemasok yang tidak lagi menerima order dari ketiga raksasa ini. Beberapa melihat, sebenarnya dana talangan ini akan sia-sia saja, karena tidak mungkin pemerintah menalangi hilangnya pasar akibat krisis ekonomi. Kebangkrutan adalah hal yang tidak dapat dihindari, sebagaimana kita lihat perusahaan yang tadinya ditalangi seperti AIG pun masih meminta lagi. Apakah memang semuanya harus bangkrut dahulu, sebelum bisa bangkit lagi?
Amerika adalah pasar pembeli terbesar dunia. Ketika Amerika tidak lagi berbelanja, efeknya langsung dirasakan oleh semua negara yang berproduksi. Amerika juga adalah pasar modal terbesar di dunia. Ketika pasar modal Amerika jatuh, pasar modal di Inggris dan Uni Eropa turut bertumbangan. Secara keseluruhan, negara-negara maju mengalami kontraksi ekonomi dalam skala sangat besar; sesuatu yang tidak pernah terjadi selama 50 tahun terakhir. Kontraksi ekonomi ini membuat semua negara pemasok juga mengalami kontraksi, termasuk Cina dan India yang selama ini bertumbuh pesat. Mereka yang selama ini mencari bahan baku, turut menghentikan permintaan.
Indonesia tidak dalam posisi pemasok besar ke Amerika, tetapi kita banyak menjual bahan baku ke Cina, ke India, juga ke Timur Tengah. Semula, krisis di Amerika tidak terlihat mengkhawatirkan karena nyatanya persentase ekspor ke sana tidaklah dominan. Namun ketika Cina dan India turut menyetop permintaan, masalahnya menjadi lebih serius. Negara-negara Arab yang semula memiliki daya beli tinggi oleh karena minyak, kini juga mengalami kontraksi sesuai turunnya harga minyak yang drastis.
Tentang negara-negara ini, kita perlu mengerti bahwa masalah di sana menyerupai kondisi di Indonesia dalam hal kesenjangan. Di antara pihak yang berkuasa dan orang-orang yang berperan dalam perekonomian, terdapat sejumlah besar kekayaan yang terkonsentrasi pada sekelompok golongan. Terhadap total penduduk, seperti di Cina yang tahun 2007 diestimasi lebih dari 1,3 Miliar, diperkirakan golongan kaya ini persentasenya kecil; namun tidak ada yang tahu jumlahnya. Intinya, walaupun PDB besar tetapi jumlah produk untuk didistribusikan di negara-negara Asia ini masih belum besar. Bagi sebagian besar rakyat Asia, perjuangan hidup adalah memenuhi kebutuhan primer. Diferensiasi produk belum menjadi strategi utama, karena kebanyakan orang masih mencari barang yang paling murah.
Dengan pemahaman ini, bagaimana kita dapat mengambil sikap menghadapi krisis? Kembali ke pembahasan sebelumnya, sikap menyangkal dan serakah akan menghancurkan peluang masa depan. Sementara itu, kondisi di Amerika masih belum dapat dipastikan, melihat besarnya masalah di sana. Demikian juga kita lihat pasar di negara-negara Asia mengalami kontraksi, karena banyak produsen yang kehilangan pasar. Seperti apa sikap “beradaptasi” yang dapat orang Indonesia ambil?
Masalah kita adalah kesenjangan ekonomi, berkaitan dengan perbedaan besar di antara kelas masyarakat. Golongan atas yang eksklusif mempunyai banyak sumber dan informasi; mereka masih tetap berbelanja namun karena jumlahnya sedikit, volume yang ditimbulkan juga terbatas. Golongan menengah hidup dalam perjuangan yang berbeda, membeli produk yang berbeda pada tingkat layanan dan harga yang berbeda, antara mencari barang yang berkualitas dan harga yang didiskon. Golongan bawah yang jumlahnya besar masih hidup dalam pola tradisional, mereka tidak mengerti segala persoalan 'kelas dunia' dan hanya termangu-mangu ketika mendadak harga jual jatuh secara ekstrim dan order berhenti. Walaupun sama-sama tinggal di Indonesia, ketiga golongan ini seperti tinggal di negara yang berbeda.
Jika Indonesia hendak bertumpu kepada ekonomi domestik, mau tidak mau kesenjangan ini harus dijembatani. Untuk memperoleh tingkat ekonomi yang cukup, dibutuhkan dua hal: pemerataan informasi dan pemerataan tingkat pendapatan, yang timbul oleh peningkatan produktivitas yang merata. Dengan pemerataan dua hal ini, kita bisa mengharapkan munculnya banyak pasar-pasar baru, perputaran ekonomi, dan juga berarti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan.
Apakah kita mau beradaptasi menghadapi krisis? Maka, kita harus bersedia berbagi pengetahuan, berbagi informasi yang menguntungkan banyak orang. Kesenjangan antar golongan harus dikikis, minimal dalam hal informasi. Tidak boleh lagi ada diskriminasi informasi! Dalam prosesnya, mutlak dibutuhkan kepercayaan, yang hanya bisa muncul jika setiap pihak menjaga etika dan integritas dalam membagi informasi dan kesempatan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Lihatlah: kita sekarang mengenal internet! Hari ini, jutaan orang saling terhubung satu sama lain. Orang dari berbagai belahan dunia saling berbagi dengan blog. Orang saling bersumbang relasi dan informasi dengan Facebook dan MySpace dan Friendster. Forum-forum dibuka, dan apa saja bisa dipelajari.
Ini adalah suatu sistem yang baru terbentuk, yang memungkinkan setiap orang menyumbangkan ide dan produktivitas demi kepentingan bersama. Untuk ini, sudah ada istilahnya: wikinomics. Memang hal ini nampak asing, bahkan mungkin terasa mengancam keberadaan bisnis-bisnis yang sudah mapan. Tetapi, bukankah dengan kondisi krisis, justru kemapanan menjadi suatu ancaman? Masalah di depan mata terlalu besar untuk dihadapi sendiri; sedang untuk berhasil, kesenjangan antar golongan harus diselesaikan.
Kalau tidak mau, bayangkanlah pada suatu hari di masa depan nanti, ada kemungkinan rakyat di Amerika akan sulit untuk mendapatkan makanan di atas meja mereka. Jutaan orang dari berbagai negara maju, termasuk dari negara tetangga kita, akan bertahan dengan masuk ke pasar yang lain. Mereka yang pandai, yang masih punya modal, akan berjuang di pasar-pasar yang masih terbuka seperti Indonesia. Melalui skema kerja sama seperti AFTA dan APEC yang sudah disetujui, mereka akan punya akses untuk berusaha di Indonesia, menyaingi rakyat Indonesia. Apakah mereka setuju dengan pemerataan? Sebaliknya, kesempatan dan informasi menjadi sesuatu yang bersifat diskriminatif secara absolut.
Kalau tidak mau beradaptasi dan menjadi pandai secepat-cepatnya, siapa tahu orang Indonesia akan terjajah di negaranya sendiri. Bukan oleh senjata atau kekerasan, melainkan oleh kompetensi dan informasi.
Mau?
02 Desember 2008
Digital: Dekonstruksi Kualitas...
Dear Teman-Teman,
Apa yang menyebabkan timbulnya Subprime Mortgage di Amerika? Konon, ini adalah buah dari Alan Greenspan untuk meredam kejatuhan pasar modal akibat krisis dot.com. Masalah dot.com telah menjadi sebuah gelembung besar yang penuh harapan, yang tiba-tiba saja meletus dengan keras dan mengagetkan banyak orang. Ternyata, bisnis di internet tidaklah sebagus yang dibayangkan, meskipun eforia internet yang dimulai tahun 1995 gemanya masih terasa sampai sekarang. Namun, apa masalah yang sebenarnya?
Kalau direnungkan, masalahnya adalah tentang ilusi akan masa depan. Kita semua belajar dari berbagai pakar "kesuksesan" untuk terlebih dahulu membayangkan kesuksesan. Covey menyebutkan kebiasaan "start with an end in mind" sebagai kebiasaan orang yang efektif. Nah, kita percaya bahwa sesuatu benar-benar berharga, maka kita pun mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, kita bisa berharap mendapatkan seperti yang kita bayangkan itu. Bentuk-bentuk pengharapan ini senantiasa muncul dengan berbagai istilah dan penjelasan, yang terakhir mungkin digambarkan oleh The Secret, sebagai Law of Attraction. Rahasia besar terakhir...
Dalam kenyataannya, mari kita memikirkan soal nilai. Makanan, misalnya. Ada makanan Jepang yang murah. Ada makanan Jepang yang mahal. Mengapa yang satu murah dan yang lain mahal, sedangkan keduanya menggunakan bahan yang sama, dimasak dengan cara yang sama? Oh, ternyata ada perbedaan: yang satu memakai kecap impor dari Jepang, yang lain membeli kecap Jepang di supermarket di Indonesia. Tetapi inipun menimbulkan pertanyaan: apa bedanya kecap yang dibeli di Jepang dengan kecap yang dibeli di Indonesia, sedangkan kedua kecap itu mempunyai merek yang sama? Kalau dijelaskan lebih lanjut, kita mungkin menemukan jawaban: kecap yang produksi Jepang memakai kedelai dari Jepang, yang ditanam di tanah di Jepang...dan seterusnya.
Ini adalah ilusi dari nilai, yang diciptakan oleh keyakinan. Dalam ilusi ini, presisi dari pengerjaan menjadi hal yang penting. Mungkin modelnya sama, tetapi yang satu dikerjakan dengan ketelitian tinggi, sedang yang lain ketelitiannya rendah. Karena itu, yang satu harganya akan lebih mahal daripada yang lain. Tetapi ilusi ini menggunakan asumsi bahwa memang segala sesuatu dikerjakan secara demikian, dalam ketelitian dan perbedaan-perbedaan yang berukuran mikron. Yang banyak orang tidak sadari, hal ini tidak terjadi dalam rancangan-rancangan digital. Bisa dikatakan, teknik digital telah mendekonstruksi kualitas. Mari kita lihat.
Pertama-tama yang disebut "digital" adalah teknik yang berdasarkan pada dua kondisi: nol dan satu. Hidup dan mati. Dalam elektronika, itu bisa berarti 0 V dan 5 V. Teknik digital tidak memaksakan presisi tertentu, karena 0V dan 5V juga bisa dinyatakan dengan 0V dan 1,5V. Atau 0V dan 1,6V. Dalam pandangan digital, semua itu sama, tidak perlu presisi sampai beberapa angka dibelakang koma. Ini berbeda dari teknik analog dengan pendekatan linear. Kalau orang memakai motor analog, perbedaan 0,1 V bisa berarti perbedaan kecepatan putaran yang cukup signifikan. Tetapi ketika memakai motor servo digital, perbedaan itu tidak berarti, karena penentunya bukan tegangan melainkan sinyal. Setiap kali ada '1', motor akan bergerak sekian derajat searah atau berlawanan arah jarum jam. Dari penggambaran ini, jelaslah bahwa presisi tegangan tidak lagi signifikan.
Makna dari kualitas juga berubah. Ketika orang masih menggunakan tabung-tabung transistor, reproduksi suara menuntut ketepatan perhitungan penguatan (gain) transistor dan kecepatan responsnya mengikuti frekuensi bunyi yang direproduksi. Sekarang, frekuensi transistor dalam teknik digital sudah jauh melebih frekuensi suara, dan reproduksi suara kini bergantung kepada frekuensi sampling dari analog menjadi digital. Mau suaranya bagus sekali? Buat saja sampling dengan laju 256 Kilo bit per second (Kbps) - tapi ukuran hasilnya pun besar. Mau suaranya biasa saja? 128 Kbps sudah cukup. Mau dibuat hasilnya kecil dan bisa dikirimkan melalui internet? Samplingnya mungkin hanya 32 Kbps, dengan kualitas seperti radio jaman dahulu.
Apakah ada perbedaan antara sampling yang dilakukan di Jepang dengan sampling yang dilakukan di Indonesia? Tidak ada. Dalam teknik digital, logika gerbang-gerbangnya akan selalu sama di manapun juga di atas muka bumi. Kalau kita lihat lebih detil, mungkin sebenarnya buatan Amerika hasilnya lebih presisi: yang disebut 1 adalah 5V dan 0 adalah 0V, beda dengan buatan China yang 1 adalah 4,8V dan 0 adalah -0,1V. Tetapi, toh dalam dunia digital semua ini sah-sah saja dan peralatan yang dimaksud bisa bekerja. Tidak ada perbedaan kualitas dalam produk digital; entah dibuat di Amerika atau di Indonesia, logikanya tetap sama.
Ketika teknik digital berkembang menjadi teknologi komputer, lalu menjadi teknologi informasi, kita menemukan kualitas yang sama antara apa yang dibuat di Amerika dengan hasil salinannya di Jakarta. Antara software asli dengan software bajakan ada kesamaan dan keserupaan, identik. Kualitas program asli dengan program bajakan akan sama persis, karena memang program hasil copy tidak berbeda dari aslinya. Lalu, kalau semuanya serba sama, bagaimana menghargai yang satu lebih daripada yang lain?
Dari sisi hukum, penegakan dilakukan melalui Undang Undang Hak Cipta. Tetapi hal ini bukan suatu proses pemasaran yang positif, karena dengan begitu orang membeli berdasarkan rasa takut. Sekarang orang didorong untuk mencari program gratisan alias open source, yang semakin hari menjadi semakin baik. Secara bisnis, gambaran keuntungan besar dari perusahaan software menjadi semakin kabur. Tetapi ilusi bahwa perusahaan seperti Microsoft selamanya akan tetap untung masih ada serta diwujudkan dalam harga sahamnya yang masih tinggi. Mungkinkah mereka dapat terus menerus mendapat keuntungan?
Teknik digital memberikan kemampuan kepada manusia untuk membuat reproduksi-reproduksi yang persis sama, yang kemudian merambat pada bidang-bidang produksi lain. Sekarang orang bisa mereproduksi produk seperti sepatu dan tas dan pakaian menggunakan teknologi komputer, di mana hasilnya 99,99% sama. Maka, sementara produk fashion mewah dan mahal diciptakan di Paris, dalam hitungan minggu produk serupa dibuat di berbagai pelosok Asia dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga juga bisa dijual murah. Tentu ada perbedaan dalam material yang dipakai, tapi siapa peduli? Toh produk fashion bersifat musiman dan tidak membutuhkan daya tahan sekuat itu.
Kenyataan ini kemudian dimanfaatkan dengan cerdas oleh berbagai pengusaha dan industriawan, sehingga kita melihat pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan sementara Amerika terus menerus mengalami defisit perdagangan. Malah pengusaha komputer di China bisa membeli divisi komputer pribadi IBM, dan sekarang meluncurkan komputer dengan rancangan berkualitas dari IBM dengan harga jauh lebih murah, dijual dengan merek Lenovo. Transaksi ini menjadi suatu kisah tersendiri yang menonjol dalam industri komputer dunia. Bagaimana Amerika tidak semakin kehilangan nilainya? Tetapi, rakyat dan pemerintah Amerika dan negara maju lainnya masih tetap yakin pada ilusi kesuksesan masa depan mereka, serta mengenakan harga tinggi pada produk yang mereka buat. Sementara itu, dunia dalam kenyataannya mulai beralih pada produk-produk dari Asia: China, Taiwan, Korea, Malaysia, Singapore, Indonesia... Sayang Indonesia hanya kebagian yang berteknologi rendah.
Ilusi tentang kesuksesan di masyarakat negara maju di beri bahan bakar hutang, yang membuat mereka membeli apa saja dengan kartu kredit. Mereka yakin bahwa apapun yang dibuat negara maju mempunyai nilai tambah yang besar. Nyatanya mereka terus mengembangkan teknologi digital dan komputer dua kali lipat setiap 2 tahun, dihitung dari jumlah transistor yang dipakai pada sebuah CPU. Kondisi ini sedemikian konsisten seperti yang diramalkan seorang direktur dan co-founder Intel bernama Gordon Moore, yang pada tahun 1965 menyebutnya sebagai "Hukum Moore" dan masih berlaku hingga sekarang. Yang terjadi, justru negara-negara berkembang yang memanfaatkan teknologi ini untuk memajukan industrinya dan membuat barang yang lebih murah dengan keuntungan yang lebih kecil. Dari negara produsen, Amerika dan banyak negara Eropa berbalik menjadi negara pembeli, sementara mereka mengenakan harga yang tinggi untuk segala jasa dan hasil produksi mereka.
Krisis yang terjadi sekarang adalah pecahnya gelembung ilusi ini. Ternyata, hutang rakyat Amerika begitu besar. Ternyata, harga tanah dan rumah tidak dapat terus menerus meningkat. Ternyata, nilai dari jasa dan hasil produksi negara maju tidaklah setinggi harga yang mereka kenakan. Tetapi masalahnya, ilusi ini sudah diterima oleh seluruh dunia sebagai aksioma yang tidak dipertanyakan lagi. Orang di Indonesia masih ada yang berpikir bahwa semua yang dibuat di Amerika itu bagus dan layak berharga mahal -- padahal nyatanya tidak demikian dan harganya kemahalan. Ironisnya, hal seperti ini sudah terjadi waktu gelembung dot.com meletus -- ternyata nilai dari teknologi internet tidaklah setinggi yang diharapkan. Banyak orang di negara maju nyatanya masih terperangkap dalam ilusi kesuksesan.
Pada kita sekarang ada hal-hal yang lebih nyata. Kita memiliki komoditas, yang walaupun harganya sekarang turun tetapi dalam realita masih tetap dibutuhkan oleh manusia yang hidup. Kita memiliki pasar, jumlah penduduk yang bertumbuh. Dan pada kita ada kesanggupan yang sama untuk menangani teknologi digital, karena orang Indonesia juga sanggup berlogika seperti orang lain di seluruh dunia. Ada kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yang serupa, atau justru berkontribusi dalam teknologi informasi. Sementara ilusi dapat hilang, hal-hal fundamental tetap bertahan.
Pertanyaannya, apakah kita juga turut terperangkap dalam ilusi yang serupa?
Apa yang menyebabkan timbulnya Subprime Mortgage di Amerika? Konon, ini adalah buah dari Alan Greenspan untuk meredam kejatuhan pasar modal akibat krisis dot.com. Masalah dot.com telah menjadi sebuah gelembung besar yang penuh harapan, yang tiba-tiba saja meletus dengan keras dan mengagetkan banyak orang. Ternyata, bisnis di internet tidaklah sebagus yang dibayangkan, meskipun eforia internet yang dimulai tahun 1995 gemanya masih terasa sampai sekarang. Namun, apa masalah yang sebenarnya?
Kalau direnungkan, masalahnya adalah tentang ilusi akan masa depan. Kita semua belajar dari berbagai pakar "kesuksesan" untuk terlebih dahulu membayangkan kesuksesan. Covey menyebutkan kebiasaan "start with an end in mind" sebagai kebiasaan orang yang efektif. Nah, kita percaya bahwa sesuatu benar-benar berharga, maka kita pun mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, kita bisa berharap mendapatkan seperti yang kita bayangkan itu. Bentuk-bentuk pengharapan ini senantiasa muncul dengan berbagai istilah dan penjelasan, yang terakhir mungkin digambarkan oleh The Secret, sebagai Law of Attraction. Rahasia besar terakhir...
Dalam kenyataannya, mari kita memikirkan soal nilai. Makanan, misalnya. Ada makanan Jepang yang murah. Ada makanan Jepang yang mahal. Mengapa yang satu murah dan yang lain mahal, sedangkan keduanya menggunakan bahan yang sama, dimasak dengan cara yang sama? Oh, ternyata ada perbedaan: yang satu memakai kecap impor dari Jepang, yang lain membeli kecap Jepang di supermarket di Indonesia. Tetapi inipun menimbulkan pertanyaan: apa bedanya kecap yang dibeli di Jepang dengan kecap yang dibeli di Indonesia, sedangkan kedua kecap itu mempunyai merek yang sama? Kalau dijelaskan lebih lanjut, kita mungkin menemukan jawaban: kecap yang produksi Jepang memakai kedelai dari Jepang, yang ditanam di tanah di Jepang...dan seterusnya.
Ini adalah ilusi dari nilai, yang diciptakan oleh keyakinan. Dalam ilusi ini, presisi dari pengerjaan menjadi hal yang penting. Mungkin modelnya sama, tetapi yang satu dikerjakan dengan ketelitian tinggi, sedang yang lain ketelitiannya rendah. Karena itu, yang satu harganya akan lebih mahal daripada yang lain. Tetapi ilusi ini menggunakan asumsi bahwa memang segala sesuatu dikerjakan secara demikian, dalam ketelitian dan perbedaan-perbedaan yang berukuran mikron. Yang banyak orang tidak sadari, hal ini tidak terjadi dalam rancangan-rancangan digital. Bisa dikatakan, teknik digital telah mendekonstruksi kualitas. Mari kita lihat.
Pertama-tama yang disebut "digital" adalah teknik yang berdasarkan pada dua kondisi: nol dan satu. Hidup dan mati. Dalam elektronika, itu bisa berarti 0 V dan 5 V. Teknik digital tidak memaksakan presisi tertentu, karena 0V dan 5V juga bisa dinyatakan dengan 0V dan 1,5V. Atau 0V dan 1,6V. Dalam pandangan digital, semua itu sama, tidak perlu presisi sampai beberapa angka dibelakang koma. Ini berbeda dari teknik analog dengan pendekatan linear. Kalau orang memakai motor analog, perbedaan 0,1 V bisa berarti perbedaan kecepatan putaran yang cukup signifikan. Tetapi ketika memakai motor servo digital, perbedaan itu tidak berarti, karena penentunya bukan tegangan melainkan sinyal. Setiap kali ada '1', motor akan bergerak sekian derajat searah atau berlawanan arah jarum jam. Dari penggambaran ini, jelaslah bahwa presisi tegangan tidak lagi signifikan.
Makna dari kualitas juga berubah. Ketika orang masih menggunakan tabung-tabung transistor, reproduksi suara menuntut ketepatan perhitungan penguatan (gain) transistor dan kecepatan responsnya mengikuti frekuensi bunyi yang direproduksi. Sekarang, frekuensi transistor dalam teknik digital sudah jauh melebih frekuensi suara, dan reproduksi suara kini bergantung kepada frekuensi sampling dari analog menjadi digital. Mau suaranya bagus sekali? Buat saja sampling dengan laju 256 Kilo bit per second (Kbps) - tapi ukuran hasilnya pun besar. Mau suaranya biasa saja? 128 Kbps sudah cukup. Mau dibuat hasilnya kecil dan bisa dikirimkan melalui internet? Samplingnya mungkin hanya 32 Kbps, dengan kualitas seperti radio jaman dahulu.
Apakah ada perbedaan antara sampling yang dilakukan di Jepang dengan sampling yang dilakukan di Indonesia? Tidak ada. Dalam teknik digital, logika gerbang-gerbangnya akan selalu sama di manapun juga di atas muka bumi. Kalau kita lihat lebih detil, mungkin sebenarnya buatan Amerika hasilnya lebih presisi: yang disebut 1 adalah 5V dan 0 adalah 0V, beda dengan buatan China yang 1 adalah 4,8V dan 0 adalah -0,1V. Tetapi, toh dalam dunia digital semua ini sah-sah saja dan peralatan yang dimaksud bisa bekerja. Tidak ada perbedaan kualitas dalam produk digital; entah dibuat di Amerika atau di Indonesia, logikanya tetap sama.
Ketika teknik digital berkembang menjadi teknologi komputer, lalu menjadi teknologi informasi, kita menemukan kualitas yang sama antara apa yang dibuat di Amerika dengan hasil salinannya di Jakarta. Antara software asli dengan software bajakan ada kesamaan dan keserupaan, identik. Kualitas program asli dengan program bajakan akan sama persis, karena memang program hasil copy tidak berbeda dari aslinya. Lalu, kalau semuanya serba sama, bagaimana menghargai yang satu lebih daripada yang lain?
Dari sisi hukum, penegakan dilakukan melalui Undang Undang Hak Cipta. Tetapi hal ini bukan suatu proses pemasaran yang positif, karena dengan begitu orang membeli berdasarkan rasa takut. Sekarang orang didorong untuk mencari program gratisan alias open source, yang semakin hari menjadi semakin baik. Secara bisnis, gambaran keuntungan besar dari perusahaan software menjadi semakin kabur. Tetapi ilusi bahwa perusahaan seperti Microsoft selamanya akan tetap untung masih ada serta diwujudkan dalam harga sahamnya yang masih tinggi. Mungkinkah mereka dapat terus menerus mendapat keuntungan?
Teknik digital memberikan kemampuan kepada manusia untuk membuat reproduksi-reproduksi yang persis sama, yang kemudian merambat pada bidang-bidang produksi lain. Sekarang orang bisa mereproduksi produk seperti sepatu dan tas dan pakaian menggunakan teknologi komputer, di mana hasilnya 99,99% sama. Maka, sementara produk fashion mewah dan mahal diciptakan di Paris, dalam hitungan minggu produk serupa dibuat di berbagai pelosok Asia dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga juga bisa dijual murah. Tentu ada perbedaan dalam material yang dipakai, tapi siapa peduli? Toh produk fashion bersifat musiman dan tidak membutuhkan daya tahan sekuat itu.
Kenyataan ini kemudian dimanfaatkan dengan cerdas oleh berbagai pengusaha dan industriawan, sehingga kita melihat pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan sementara Amerika terus menerus mengalami defisit perdagangan. Malah pengusaha komputer di China bisa membeli divisi komputer pribadi IBM, dan sekarang meluncurkan komputer dengan rancangan berkualitas dari IBM dengan harga jauh lebih murah, dijual dengan merek Lenovo. Transaksi ini menjadi suatu kisah tersendiri yang menonjol dalam industri komputer dunia. Bagaimana Amerika tidak semakin kehilangan nilainya? Tetapi, rakyat dan pemerintah Amerika dan negara maju lainnya masih tetap yakin pada ilusi kesuksesan masa depan mereka, serta mengenakan harga tinggi pada produk yang mereka buat. Sementara itu, dunia dalam kenyataannya mulai beralih pada produk-produk dari Asia: China, Taiwan, Korea, Malaysia, Singapore, Indonesia... Sayang Indonesia hanya kebagian yang berteknologi rendah.
Ilusi tentang kesuksesan di masyarakat negara maju di beri bahan bakar hutang, yang membuat mereka membeli apa saja dengan kartu kredit. Mereka yakin bahwa apapun yang dibuat negara maju mempunyai nilai tambah yang besar. Nyatanya mereka terus mengembangkan teknologi digital dan komputer dua kali lipat setiap 2 tahun, dihitung dari jumlah transistor yang dipakai pada sebuah CPU. Kondisi ini sedemikian konsisten seperti yang diramalkan seorang direktur dan co-founder Intel bernama Gordon Moore, yang pada tahun 1965 menyebutnya sebagai "Hukum Moore" dan masih berlaku hingga sekarang. Yang terjadi, justru negara-negara berkembang yang memanfaatkan teknologi ini untuk memajukan industrinya dan membuat barang yang lebih murah dengan keuntungan yang lebih kecil. Dari negara produsen, Amerika dan banyak negara Eropa berbalik menjadi negara pembeli, sementara mereka mengenakan harga yang tinggi untuk segala jasa dan hasil produksi mereka.
Krisis yang terjadi sekarang adalah pecahnya gelembung ilusi ini. Ternyata, hutang rakyat Amerika begitu besar. Ternyata, harga tanah dan rumah tidak dapat terus menerus meningkat. Ternyata, nilai dari jasa dan hasil produksi negara maju tidaklah setinggi harga yang mereka kenakan. Tetapi masalahnya, ilusi ini sudah diterima oleh seluruh dunia sebagai aksioma yang tidak dipertanyakan lagi. Orang di Indonesia masih ada yang berpikir bahwa semua yang dibuat di Amerika itu bagus dan layak berharga mahal -- padahal nyatanya tidak demikian dan harganya kemahalan. Ironisnya, hal seperti ini sudah terjadi waktu gelembung dot.com meletus -- ternyata nilai dari teknologi internet tidaklah setinggi yang diharapkan. Banyak orang di negara maju nyatanya masih terperangkap dalam ilusi kesuksesan.
Pada kita sekarang ada hal-hal yang lebih nyata. Kita memiliki komoditas, yang walaupun harganya sekarang turun tetapi dalam realita masih tetap dibutuhkan oleh manusia yang hidup. Kita memiliki pasar, jumlah penduduk yang bertumbuh. Dan pada kita ada kesanggupan yang sama untuk menangani teknologi digital, karena orang Indonesia juga sanggup berlogika seperti orang lain di seluruh dunia. Ada kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yang serupa, atau justru berkontribusi dalam teknologi informasi. Sementara ilusi dapat hilang, hal-hal fundamental tetap bertahan.
Pertanyaannya, apakah kita juga turut terperangkap dalam ilusi yang serupa?
01 Desember 2008
Awas Gelombang Tsunami Ekonomi Melanda Indonesia
Sampai akhir bulan lalu, kita semua berharap melihat sebuah perbaikan terjadi di dunia. Bagaimanapun, di awal bulan lalu posisi bank sentral sudah bersepakat menurunkan suku bunga, sementara pemerintahan negara maju bersama-sama akan menggelontorkan dana talangan. Dengan perhitungan bahwa rasio P/E dari saham-saham sudah sangat rendah, tentunya akan terjadi pembelian kembali saham-saham, perbankan mendapat kembali keleluasaan dana untuk mengalirkan kredit, dan semuanya menjadi baik lagi -- setidaknya di Amerika dan Jepang. Yang masih berat adalah Uni Eropa dan negara-negara "emerging markets" karena yang satu memberi hutang dan yang lain dilanda hutang.
Tetapi, ternyata keadaan tidak berbalik secara demikian. Memang pasar modal sempat membaik, tetapi investornya bukan berasal dari rakyat Amerika. Orang-orang di Amerika masih kesulitan dengan hutang dan kehilangan aset, sehingga ekonomi mereka mengalami penyusutan. Ketika Wall Street mendapat berita baik seperti talangan dana untuk Citigroup, kondisi di Main Street (pasar riil) justru semakin berat. Mr. Obama melakukan gerakan yang tak lazim dengan mengajukan program untuk mendorong ekonomi dalam negeri selama 2 tahun kepada Kongres, sebelum ia dilantik di bulan Januari. Bagaimanapun kondisi seperti yang dialami oleh industri otomotif di Amerika telah menekan banyak sektor. Jutaan orang di PHK, jelaslah bahwa dunia tidak akan menjadi baik dalam semalam.
Bagaimana Asia? Saat ini jumlah pengangguran di seluruh Asia sudah mencapai 500 juta orang. Di China, beberapa kota seperti Guang Dong mulai mengalami protes dari buruh. Masalah Asia menjadi semakin pelik dengan adanya terorisme seperti di India dan protes politik seperti di Thailand. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa banyak orang di Asia tidak tahu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi. Fokus banyak orang masih pada "siapa yang salah" ketimbang mengerti bahwa kondisi sekarang menuntut kerja sama -- tepatnya kerja keras bersama-sama -- baik dari pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat. Pemimpin di Asia nampaknya mengalami kesulitan membawa rakyat bersama-sama mengatasi krisis, sementara tekanan ekonomi tidak kunjung mereda.
Di Indonesia sendiri, tekanan dari turunnya perekonomian mulai terasa nyata. Industri rotan di Cirebon menurun lebih dari 35%. Industri tekstil dengan tujuan ekspor turun lebih dari 40%. Industri elektronika, dan segala industri lain yang menggunakan bahan impor, untuk kemudian di ekspor, hari ini mengalami masalah serius. Dengan kondisi likuiditas ketat yang masih menarik banyak dollar kembali ke Amerika, di seluruh dunia nilai dollar menjadi tinggi. Biasanya, kalau dollar Amerika tinggi, eksportir Indonesia mengalami kemudahan karena harga produk menjadi lebih murah. Tetapi sekarang, eksportir justru kehilangan order sampai bulan Februari mendatang. Padahal, untuk mengimpor bahan baku dibutuhkan dana yang lebih besar. Bagaimana mempertahankan keberadaan industri? Rasionalisasi, efisiensi, dan tak terelakkan -- PHK.
Kunci untuk mengatasi kondisi seperti ini adalah kerja sama, yang harus dimulai dengan bersama-sama memahami persoalan yang ada. Kita membutuhkan birokrasi pemerintah yang mendukung produktivitas. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang membuka pasar-pasar baru, meraih peluang-peluang baru dalam negeri. Kita membutuhkan pekerja-pekerja yang produktif dan kreatif. Semua harus tahu bahwa saat ini adalah saat untuk memberi, untuk menanam benih-benih baru. Untuk itu, lebih daripada waktu-waktu sebelumnya, kita harus membuat rencana keuangan dan produktivitas yang lebih detil, lebih lengkap.
Produktivitas dimulai dari kompetensi. Aset terbesar adalah orang-orang yang mengerjakan, yang kreatif, dan bekerja sama. Kita membutuhkan positive business yang mempunyai 5 pilar: kasih, pengaruh/kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Sudah waktunya orang Indonesia memecahkan masalah lama: orang Indonesia ragu dengan produk sendiri, malas beli produk dalam negeri. Ini adalah faktor kritis: selama kita tidak nyaman dengan produk dalam negeri, selama itu pula kita tergantung pada impor yang berarti tekanan ekonomi lebih besar lagi. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan atau "gerakan" seperti yang dilakukan semasa orde baru, melainkan harus dengan promosi dan pencitraan yang baik, yang berangkat dari produk yang memang bagus.
Sisi berikutnya adalah perencanaan finansial, yang pada prinsipnya terbagi 3 hal: (1) Operasional, (2) Pertumbuhan/investasi, dan (3) Perlindungan /asuransi. Operasional yang efisien membutuhkan pengendalian yang baik, seperti balance scorecard dan activity based costing. Investasi dibutuhkan untuk melindungi kebutuhan arus kas di masa depan karena tekanan inflasi dan devaluasi. Asuransi dibutuhkan untuk menjamin likuiditas pada saat terjadi hal-hal seperti musibah yang menghilangkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Kondisi sulit menuntut sikap yang berbeda dalam membuat perencanaan finansial. Dalam kondisi yang lebih mudah, mungkin kontrol operasional bisa lebih longgar, dan tindakan-tindakan uji coba, try-and-error, masih bisa dibuat karena masih ada budget untuk eksperiman. Tetapi sekarang, kita harus lebih banyak bersandar pada data dan analisa sebelum membuat suatu langkah; tidak boleh melakukan banyak kesalahan sekarang. Demikian juga dengan investasi: mungkin sebelumnya kita hanya mengejar tingkat bunga saja, setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sekarang, kita harus membuat investasi dengan pertimbangan lengkap di keempat sisi investasi: resiko, hasil, perubahan, dan peraturan yang berlaku. Portofolio investasi yang seimbang harus memiliki margin yang cukup pada bentuk-bentuk yang stabil seperti obligasi pemerintah, sementara mempertahankan pertumbuhan yang baik pada bentuk yang lebih fluktuatif, baik saham (jangka panjang) maupun komoditas (jangka pendek).
Di sisi asuransi, dalam 3 tahun terakhir ini kita semua menyukai unit link. Produk ini masih tetap baik, tetapi kita harus mulai menghitung tingkat pengembaliannya dibandingkan biaya yang dikenakan, kalau-kalau polis kita tahu-tahu dibatalkan karena jumlah unitnya menjadi 0. Kita perlu mengingat, dalam unit link hasil investasi akan dipotong secara teratur untuk membayar biaya asuransi. Ketika jumlah biaya lebih tinggi daripada hasil investasi, mungkin karena investasi terlalu kecil atau biaya terlalu besar, maka sedikit demi sedikit pokok investasi akan berkurang, sampai akhirnya menjadi nol. Yang lebih baik mungkin mengambil produk asuransi jiwa seumur hidup yang perlindungannya dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa.
Tentang asuransi seumur hidup, berlawanan dengan paham umum, saya justru menemukan bahwa lebih untung mengambil asuransi seumur hidup dengan satu kali pembayaran premi, atau disebut juga single premium. Mengapa? Karena, dalam single premium, komisi untuk agen persentasenya adalah yang paling kecil. Kalau mempunyai dana, kita bisa memindahkan sekaligus untuk asuransi DAN investasi bukan pada 1 produk unit link, melainkan 2 kontrak, yang satu polis asuransi yang lain kontrak reksa dana. Dengan dana 250 juta, seorang pria berusia 40 tahun bisa mendapat asuransi jiwa seumur hidup sampai Rp 1 Milyar, dijamin berlaku sampai umur 100 tahun DAN reksa dana yang baik, sehingga dengan rata-rata tingkat bunga 11% saja, uang 250 juta itu bisa kembali kira-kira di tahun ke-10. Lebih menarik lagi, asuransi jiwa seumur hidupnya mempunyai bonus majemuk, sehingga semakin lama polis berjalan, uang pertanggungan yang diterima dapat lebih besar, menahan laju inflasi yang menurunkan nilai uang pertanggungan di masa depan.
Perencanaan finansial harus berkaitan langsung dengan produktivitas yang diharapkan. Kombinasi yang tepat dari kedua hal ini mempersiapkan kita untuk menghadapi gelombang tsunami ekonomi yang mungkin akan melanda Indonesia, setidaknya di kuartal pertama tahun 2009. Ini adalah gelombang Wealth Destruction yang menggerus kemampuan orang Indonesia untuk meraih laba dan peningkatan, sekaligus mengikis kekayaan yang ada dalam tingkat yang sangat besar; sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 70 tahun terakhir. Untuk itu, sekali lagi kita harus bergantung, satu-satunya dan hanya kepada TUHAN yang lebih besar daripada semua masalah ini. Kebergantungan kita kepada Tuhan juga menuntut kita untuk bersikap benar, dalam segala situasi, pada kesempatan pertama. Kemudian kita mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, dalam hormat dan takut, melakukan bagian kita dengan baik.
Kebenaran meninggikan derajat bangsa.
Tetapi, ternyata keadaan tidak berbalik secara demikian. Memang pasar modal sempat membaik, tetapi investornya bukan berasal dari rakyat Amerika. Orang-orang di Amerika masih kesulitan dengan hutang dan kehilangan aset, sehingga ekonomi mereka mengalami penyusutan. Ketika Wall Street mendapat berita baik seperti talangan dana untuk Citigroup, kondisi di Main Street (pasar riil) justru semakin berat. Mr. Obama melakukan gerakan yang tak lazim dengan mengajukan program untuk mendorong ekonomi dalam negeri selama 2 tahun kepada Kongres, sebelum ia dilantik di bulan Januari. Bagaimanapun kondisi seperti yang dialami oleh industri otomotif di Amerika telah menekan banyak sektor. Jutaan orang di PHK, jelaslah bahwa dunia tidak akan menjadi baik dalam semalam.
Bagaimana Asia? Saat ini jumlah pengangguran di seluruh Asia sudah mencapai 500 juta orang. Di China, beberapa kota seperti Guang Dong mulai mengalami protes dari buruh. Masalah Asia menjadi semakin pelik dengan adanya terorisme seperti di India dan protes politik seperti di Thailand. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa banyak orang di Asia tidak tahu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi. Fokus banyak orang masih pada "siapa yang salah" ketimbang mengerti bahwa kondisi sekarang menuntut kerja sama -- tepatnya kerja keras bersama-sama -- baik dari pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat. Pemimpin di Asia nampaknya mengalami kesulitan membawa rakyat bersama-sama mengatasi krisis, sementara tekanan ekonomi tidak kunjung mereda.
Di Indonesia sendiri, tekanan dari turunnya perekonomian mulai terasa nyata. Industri rotan di Cirebon menurun lebih dari 35%. Industri tekstil dengan tujuan ekspor turun lebih dari 40%. Industri elektronika, dan segala industri lain yang menggunakan bahan impor, untuk kemudian di ekspor, hari ini mengalami masalah serius. Dengan kondisi likuiditas ketat yang masih menarik banyak dollar kembali ke Amerika, di seluruh dunia nilai dollar menjadi tinggi. Biasanya, kalau dollar Amerika tinggi, eksportir Indonesia mengalami kemudahan karena harga produk menjadi lebih murah. Tetapi sekarang, eksportir justru kehilangan order sampai bulan Februari mendatang. Padahal, untuk mengimpor bahan baku dibutuhkan dana yang lebih besar. Bagaimana mempertahankan keberadaan industri? Rasionalisasi, efisiensi, dan tak terelakkan -- PHK.
Kunci untuk mengatasi kondisi seperti ini adalah kerja sama, yang harus dimulai dengan bersama-sama memahami persoalan yang ada. Kita membutuhkan birokrasi pemerintah yang mendukung produktivitas. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang membuka pasar-pasar baru, meraih peluang-peluang baru dalam negeri. Kita membutuhkan pekerja-pekerja yang produktif dan kreatif. Semua harus tahu bahwa saat ini adalah saat untuk memberi, untuk menanam benih-benih baru. Untuk itu, lebih daripada waktu-waktu sebelumnya, kita harus membuat rencana keuangan dan produktivitas yang lebih detil, lebih lengkap.
Produktivitas dimulai dari kompetensi. Aset terbesar adalah orang-orang yang mengerjakan, yang kreatif, dan bekerja sama. Kita membutuhkan positive business yang mempunyai 5 pilar: kasih, pengaruh/kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Sudah waktunya orang Indonesia memecahkan masalah lama: orang Indonesia ragu dengan produk sendiri, malas beli produk dalam negeri. Ini adalah faktor kritis: selama kita tidak nyaman dengan produk dalam negeri, selama itu pula kita tergantung pada impor yang berarti tekanan ekonomi lebih besar lagi. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan atau "gerakan" seperti yang dilakukan semasa orde baru, melainkan harus dengan promosi dan pencitraan yang baik, yang berangkat dari produk yang memang bagus.
Sisi berikutnya adalah perencanaan finansial, yang pada prinsipnya terbagi 3 hal: (1) Operasional, (2) Pertumbuhan/investasi, dan (3) Perlindungan /asuransi. Operasional yang efisien membutuhkan pengendalian yang baik, seperti balance scorecard dan activity based costing. Investasi dibutuhkan untuk melindungi kebutuhan arus kas di masa depan karena tekanan inflasi dan devaluasi. Asuransi dibutuhkan untuk menjamin likuiditas pada saat terjadi hal-hal seperti musibah yang menghilangkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Kondisi sulit menuntut sikap yang berbeda dalam membuat perencanaan finansial. Dalam kondisi yang lebih mudah, mungkin kontrol operasional bisa lebih longgar, dan tindakan-tindakan uji coba, try-and-error, masih bisa dibuat karena masih ada budget untuk eksperiman. Tetapi sekarang, kita harus lebih banyak bersandar pada data dan analisa sebelum membuat suatu langkah; tidak boleh melakukan banyak kesalahan sekarang. Demikian juga dengan investasi: mungkin sebelumnya kita hanya mengejar tingkat bunga saja, setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sekarang, kita harus membuat investasi dengan pertimbangan lengkap di keempat sisi investasi: resiko, hasil, perubahan, dan peraturan yang berlaku. Portofolio investasi yang seimbang harus memiliki margin yang cukup pada bentuk-bentuk yang stabil seperti obligasi pemerintah, sementara mempertahankan pertumbuhan yang baik pada bentuk yang lebih fluktuatif, baik saham (jangka panjang) maupun komoditas (jangka pendek).
Di sisi asuransi, dalam 3 tahun terakhir ini kita semua menyukai unit link. Produk ini masih tetap baik, tetapi kita harus mulai menghitung tingkat pengembaliannya dibandingkan biaya yang dikenakan, kalau-kalau polis kita tahu-tahu dibatalkan karena jumlah unitnya menjadi 0. Kita perlu mengingat, dalam unit link hasil investasi akan dipotong secara teratur untuk membayar biaya asuransi. Ketika jumlah biaya lebih tinggi daripada hasil investasi, mungkin karena investasi terlalu kecil atau biaya terlalu besar, maka sedikit demi sedikit pokok investasi akan berkurang, sampai akhirnya menjadi nol. Yang lebih baik mungkin mengambil produk asuransi jiwa seumur hidup yang perlindungannya dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa.
Tentang asuransi seumur hidup, berlawanan dengan paham umum, saya justru menemukan bahwa lebih untung mengambil asuransi seumur hidup dengan satu kali pembayaran premi, atau disebut juga single premium. Mengapa? Karena, dalam single premium, komisi untuk agen persentasenya adalah yang paling kecil. Kalau mempunyai dana, kita bisa memindahkan sekaligus untuk asuransi DAN investasi bukan pada 1 produk unit link, melainkan 2 kontrak, yang satu polis asuransi yang lain kontrak reksa dana. Dengan dana 250 juta, seorang pria berusia 40 tahun bisa mendapat asuransi jiwa seumur hidup sampai Rp 1 Milyar, dijamin berlaku sampai umur 100 tahun DAN reksa dana yang baik, sehingga dengan rata-rata tingkat bunga 11% saja, uang 250 juta itu bisa kembali kira-kira di tahun ke-10. Lebih menarik lagi, asuransi jiwa seumur hidupnya mempunyai bonus majemuk, sehingga semakin lama polis berjalan, uang pertanggungan yang diterima dapat lebih besar, menahan laju inflasi yang menurunkan nilai uang pertanggungan di masa depan.
Perencanaan finansial harus berkaitan langsung dengan produktivitas yang diharapkan. Kombinasi yang tepat dari kedua hal ini mempersiapkan kita untuk menghadapi gelombang tsunami ekonomi yang mungkin akan melanda Indonesia, setidaknya di kuartal pertama tahun 2009. Ini adalah gelombang Wealth Destruction yang menggerus kemampuan orang Indonesia untuk meraih laba dan peningkatan, sekaligus mengikis kekayaan yang ada dalam tingkat yang sangat besar; sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 70 tahun terakhir. Untuk itu, sekali lagi kita harus bergantung, satu-satunya dan hanya kepada TUHAN yang lebih besar daripada semua masalah ini. Kebergantungan kita kepada Tuhan juga menuntut kita untuk bersikap benar, dalam segala situasi, pada kesempatan pertama. Kemudian kita mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, dalam hormat dan takut, melakukan bagian kita dengan baik.
Kebenaran meninggikan derajat bangsa.
31 Oktober 2008
Harus Melakukan Apa?
Dalam beberapa hari terakhir ini, saya berkali-kali menerima telepon dari teman dan nasabah yang bertanya, "sebaiknya saya bagaimana, Pak?"
Kepanikan memang tidak bisa dicegah, apalagi kemudian terjadi peristiwa yang mencemaskan di seluruh dunia. Bisa dibilang, ini adalah gelombang ketiga dari krisis ekonomi yang terjadi selama ini, yang merembet mulai dari surat hutang yang buruk, hingga menjatuhkan ekonomi global.
Gelombang ketiga terjadi akibat gelombang kedua ketika negara-negara berkembang mengalami kekacauan ekonomi akibat dua hal. Yang pertama, mereka kehilangan negara pembeli yang potensial. Yang kedua, di antara negara berkembang sendiri ada Brasil, Rusia, India, dan Cina yang selama ini pertumbuhan industrinya luar biasa, menghasilkan produk dalam jumlah luar biasa, yang segera mengalir mencari pasar-pasar yang masih bisa dimasuki. Kita patut memuji langkah Pemerintah yang segera mengetatkan impor, walaupun tidak bisa apa-apa kalau ternyata barang diselundupkan melalui perairan Indonesia yang luas dan banyak tidak terjaga ini :(
Negara-negara berkembang yang baru muncul (emerging markets) banyak mendapatkan sumber finansial dari negara-negara maju. Sekali lagi, rakyat Indonesia perlu bersyukur karena posisi kita saat ini sudah jauh lebih baik, tidak berhutang, dan tidak lagi disokong IMF. Tetapi banyak negara, terutama di Eropa Timur, yang bertumbuh karena hutang dari negara-negara di Eropa Barat. Sekarang, mereka mengalami gelombang kejut kedua dan kehilangan pasar Eropa dan Amerika, padahal negara Eropa Timur belum cukup lama berkembang untuk bisa menabung cukup banyak. Tabungan yang ada segera habis, dan negara-negara ini mengalami krisis moneter besar yang menjatuhkan mata uang mereka.
Perlu dipahami, yang disebut 'uang' jaman sekarang sebenarnya adalah surat utang yang dikeluarkan bank sentral, yang nilainya dijamin oleh kekuatan ekonomi negara itu -- beda dengan jaman dahulu, dimana uang dijamin oleh emas murni yang dimiliki negara. Jika ekonomi suatu negara runtuh, maka runtuh pula nilai dari uang yang diterbitkan. Gelombang keruntuhan ini membuat negara-negara pemberi hutang mengalami masalah, sedang mereka sendiri harus menghadapi kerugian akibat krisis investasi dan pasar modal serta likuiditas.
Bayangkanlah, seandainya banyak negara berkembang jatuh tidak sanggup bayar hutang (default), mereka membuat negara pemberi hutang turut runtuh karena besarnya nilai hutang yang diberikan. Kenapa hutang banyak diberikan ke negara berkembang? Karena beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi di negara maju sangatlah kecil, jauh lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Kalau di negara sendiri mendapat bunga 2% sudah lumayan, di negara berkembang bisa diperoleh bunga 8% - 15% sebagai angka yang normatif, wajar. Akhirnya negara maju menggelontorkan lebih dari 50% dananya ke negara berkembang dengan harapan dana itu bisa bertumbuh dengan cepat dan mengembalikan bunga yang tinggi, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.
Tapi krisis ini diluar perkiraan, dan hutangnya menjadi tidak dibayar. Negara pemberi hutang kehilangan uangnya secara masif. Mereka lantas juga kehilangan kemampuan untuk menalangi krisis investasi yang terjadi, seperti kalau ada bank yang bangkrut. Artinya, mereka kehilangan kemampuan untuk memberikan perlindungan finansial, yang membuat timbulnya ketidak-percayaan, lalu kepanikan. Masalahnya sekarang, jumlah uang yang dipinjamkan itu jumlahnya triliunan dollar US, jauh melebihi krisis pertama subprime mortgage yang waktu awal belum mencapai 1 triliun US$.
Masalahnya, negara-negara Eropa Barat dan Timur, juga banyak negara berkembang, adalah pasar yang dibutuhkan juga oleh Amerika untuk memulihkan keadaan ekonominya. Tetapi sekarang, dengan gelombang ketiga ini Amerika juga kehilangan pasar, sedang pasar domestiknya sendiri berada dalam masalah. Beban berat dirasakan terutama oleh industri AS, yang terpaksa harus memangkas biaya agar tetap bertahan. Sebuah kabar mengatakan pabrik Motorola di AS sudah merencanakan akan mem PHK 3000 orang karyawannya. Demikian juga dengan berbagai industri di Amerika, yang turut mengalami kesulitan dalam transaksinya. Hal-hal ini membuat para ahli ekonomi yang semula optimis, melihat bahwa kemungkinan AS masuk ke dalam resesi di kuartal keempat 2008 sampai pertengahan tahun 2009.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau benar terjadi resesi di Amerika, sebenarnya efeknya tidak langsung karena saat ini pun ekspor Indonesia tidak lagi mengalir ke sana. Sementara ekspor Indonesia masih ke asia timur dan tengah, kondisi industri kita masih cukup baik. Efeknya baru mulai akan terasa ketika gelombang kedua dan ketiga bersama-sama menurunkan perekonomian di negara-negara tujuan ekspor kita, yang mungkin bisa terjadi dalam satu atau dua bulan mendatang. Di dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi memberi dorongan bagi banyak industri untuk tetap meraup keuntungan. Pemerintah juga tetap mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program peningkatan ekonomi. Semua ini kita harapkan dapat tetap membuka peluang, walaupun untuk sejumlah sektor seperti tekstil mengalami tekanan hebat karena hilangnya pasar ekspor.
Posisi industri yang kuat membuat emiten saham pada umumnya masih memberikan keuntungan. Earning Per Share (EPS) Indonesia secara rata-rata masih cukup tinggi dibandingkan bursa saham lain. Hari ini misalnya, ternyata laba BRI mengalami kenaikan sampai 17,13% atau jadi Rp. 4,238 Triliun pada triwulan ke 3 dibandingkan keuntungan pada periode sama tahun lalu. Ketika terjadi penurunan indeks, harga saham Indonesia menjadi luar biasa murahnya, dan dalam dua hari ini mulai terjadi pembelian-pembelian, sehingga kita lihat akhirnya indeks mulai mengalami kenaikan yang signifikan.
Kondisi makroekonomi yang baik, cadangan devisa yang cukup tinggi dan utang luar negeri yang terkendali, juga membuat pasar surat utang Indonesia masih cukup baik. Selain saham, obligasi juga mempunyai daya tarik yang cukup besar di tengah-tengah kondisi seperti ini. Memang belum kuat benar dan masih akan turun naik, tetapi kita lihat fundamental yang ada cukup tangguh untuk menghadapi kondisi sekarang.
Dengan fundamental yang baik, kita lihat nyatanya harga-harga, baik saham maupun obligasi, kini berada di tingkat yang sangat rendah. Kita percaya bahwa pasar modal di Indonesia masih berpeluang besar untuk meningkat, maka sekarang ini adalah saat yang baik untuk berinvestasi -- tentunya dengan tetap berhati-hati dan memilih penyedia investasi. Bagi yang sudah memiliki saham atau reksadana saham, sebaiknya jangan sampai dijual, sebaliknya justru ditambah. Kita melihat gerakan ini sudah dimulai oleh pihak asing, yang mulai mencari-cari saham yang undervalued di bursa efek Indonesia.
Hanya perlu dipahami, gelombang-gelombang ini sama sekali belum reda, sebaliknya satu kejatuhan memicu kejatuhan yang lain. Taruhan yang ada bukan lagi angka miliaran USD, melainkan triliunan. Masih banyak orang akan mengalami kesulitan dalam pekerjaan, kehilangan pasar, bahkan harus memulai lagi dari awal. Artinya, tidak ada solusi dalam jangka pendek yang bisa kita harapkan, atau keadaan membaik dalam waktu 1 tahun ke depan. Berharap tentu masih bisa, tapi mungkin tidak lagi cukup realistis.
Sekarang, kita berinvestasi untuk jangka panjang. Kita perlu memikirkan jangka panjang, saat-saat di mana kebutuhan memang muncul dan harus dipenuhi, seperti uang sekolah anak, atau uang pensiun. Jangan menunda atau mengorbankan tujuan-tujuan jangka panjang karena masalah jangka pendek. Lagipula, ketahanan fundamental harus dilihat sebagai efek jangka panjang, bukan? Ini bukanlah kemampuan teknikal untuk mendapat laba dalam jangka pendek, yang hari ini sama sekali tidak ketahuan ujung pangkalnya.
Jadi, tetaplah berinvestasi. Jika waktunya panjang sekali >10 th, pilihan saham bluechips atau reksa dana saham merupakan pilihan baik. Jika waktunya lebih pendek, reksa dana campuran menawarkan kombinasi yang menarik. Kalau waktunya kurang dari 3 tahun, pilihan obligasi atau reksa dana pendapatan tetap bisa dipertimbangkan. Untuk waktu di bawah 1 tahun, investasi yang disarankan hanyalah deposito, pilihlah di bank yang baik, artinya mempunyai cadangan modal yang cukup besar, melebihi persyaratan 8% yang ditetapkan BI dan tentunya pengelolaan yang profesional.
Dalam jangka pendek, persiapkanlah diri untuk lebih banyak menggarap pasar domestik, meraih kesempatan waktu kosong yang timbul karena barang impor berkurang. Sebaliknya, kita juga perlu lebih banyak memakai produk dalam negeri, menunda konsumsi produk impor atau tidak melakukan perjalanan keluar negeri. Jika kita bersama-sama bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan produksi dan konsumsi dalam negeri, memanfaatkan jumlah rakyat yang besar, maka kita bisa berharap akan tetap menikmati pertumbuhan pada saat ekonomi dunia kembali membaik. Siapa tahu, justru pada saat itu kita benar-benar bisa menggantikan posisi negara maju yang saat ini malah kehabisan dana dan tenaganya.
Tentu saja, ini adalah harapan untuk masa depan Indonesia.
Kepanikan memang tidak bisa dicegah, apalagi kemudian terjadi peristiwa yang mencemaskan di seluruh dunia. Bisa dibilang, ini adalah gelombang ketiga dari krisis ekonomi yang terjadi selama ini, yang merembet mulai dari surat hutang yang buruk, hingga menjatuhkan ekonomi global.
Gelombang ketiga terjadi akibat gelombang kedua ketika negara-negara berkembang mengalami kekacauan ekonomi akibat dua hal. Yang pertama, mereka kehilangan negara pembeli yang potensial. Yang kedua, di antara negara berkembang sendiri ada Brasil, Rusia, India, dan Cina yang selama ini pertumbuhan industrinya luar biasa, menghasilkan produk dalam jumlah luar biasa, yang segera mengalir mencari pasar-pasar yang masih bisa dimasuki. Kita patut memuji langkah Pemerintah yang segera mengetatkan impor, walaupun tidak bisa apa-apa kalau ternyata barang diselundupkan melalui perairan Indonesia yang luas dan banyak tidak terjaga ini :(
Negara-negara berkembang yang baru muncul (emerging markets) banyak mendapatkan sumber finansial dari negara-negara maju. Sekali lagi, rakyat Indonesia perlu bersyukur karena posisi kita saat ini sudah jauh lebih baik, tidak berhutang, dan tidak lagi disokong IMF. Tetapi banyak negara, terutama di Eropa Timur, yang bertumbuh karena hutang dari negara-negara di Eropa Barat. Sekarang, mereka mengalami gelombang kejut kedua dan kehilangan pasar Eropa dan Amerika, padahal negara Eropa Timur belum cukup lama berkembang untuk bisa menabung cukup banyak. Tabungan yang ada segera habis, dan negara-negara ini mengalami krisis moneter besar yang menjatuhkan mata uang mereka.
Perlu dipahami, yang disebut 'uang' jaman sekarang sebenarnya adalah surat utang yang dikeluarkan bank sentral, yang nilainya dijamin oleh kekuatan ekonomi negara itu -- beda dengan jaman dahulu, dimana uang dijamin oleh emas murni yang dimiliki negara. Jika ekonomi suatu negara runtuh, maka runtuh pula nilai dari uang yang diterbitkan. Gelombang keruntuhan ini membuat negara-negara pemberi hutang mengalami masalah, sedang mereka sendiri harus menghadapi kerugian akibat krisis investasi dan pasar modal serta likuiditas.
Bayangkanlah, seandainya banyak negara berkembang jatuh tidak sanggup bayar hutang (default), mereka membuat negara pemberi hutang turut runtuh karena besarnya nilai hutang yang diberikan. Kenapa hutang banyak diberikan ke negara berkembang? Karena beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi di negara maju sangatlah kecil, jauh lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Kalau di negara sendiri mendapat bunga 2% sudah lumayan, di negara berkembang bisa diperoleh bunga 8% - 15% sebagai angka yang normatif, wajar. Akhirnya negara maju menggelontorkan lebih dari 50% dananya ke negara berkembang dengan harapan dana itu bisa bertumbuh dengan cepat dan mengembalikan bunga yang tinggi, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.
Tapi krisis ini diluar perkiraan, dan hutangnya menjadi tidak dibayar. Negara pemberi hutang kehilangan uangnya secara masif. Mereka lantas juga kehilangan kemampuan untuk menalangi krisis investasi yang terjadi, seperti kalau ada bank yang bangkrut. Artinya, mereka kehilangan kemampuan untuk memberikan perlindungan finansial, yang membuat timbulnya ketidak-percayaan, lalu kepanikan. Masalahnya sekarang, jumlah uang yang dipinjamkan itu jumlahnya triliunan dollar US, jauh melebihi krisis pertama subprime mortgage yang waktu awal belum mencapai 1 triliun US$.
Masalahnya, negara-negara Eropa Barat dan Timur, juga banyak negara berkembang, adalah pasar yang dibutuhkan juga oleh Amerika untuk memulihkan keadaan ekonominya. Tetapi sekarang, dengan gelombang ketiga ini Amerika juga kehilangan pasar, sedang pasar domestiknya sendiri berada dalam masalah. Beban berat dirasakan terutama oleh industri AS, yang terpaksa harus memangkas biaya agar tetap bertahan. Sebuah kabar mengatakan pabrik Motorola di AS sudah merencanakan akan mem PHK 3000 orang karyawannya. Demikian juga dengan berbagai industri di Amerika, yang turut mengalami kesulitan dalam transaksinya. Hal-hal ini membuat para ahli ekonomi yang semula optimis, melihat bahwa kemungkinan AS masuk ke dalam resesi di kuartal keempat 2008 sampai pertengahan tahun 2009.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau benar terjadi resesi di Amerika, sebenarnya efeknya tidak langsung karena saat ini pun ekspor Indonesia tidak lagi mengalir ke sana. Sementara ekspor Indonesia masih ke asia timur dan tengah, kondisi industri kita masih cukup baik. Efeknya baru mulai akan terasa ketika gelombang kedua dan ketiga bersama-sama menurunkan perekonomian di negara-negara tujuan ekspor kita, yang mungkin bisa terjadi dalam satu atau dua bulan mendatang. Di dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi memberi dorongan bagi banyak industri untuk tetap meraup keuntungan. Pemerintah juga tetap mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program peningkatan ekonomi. Semua ini kita harapkan dapat tetap membuka peluang, walaupun untuk sejumlah sektor seperti tekstil mengalami tekanan hebat karena hilangnya pasar ekspor.
Posisi industri yang kuat membuat emiten saham pada umumnya masih memberikan keuntungan. Earning Per Share (EPS) Indonesia secara rata-rata masih cukup tinggi dibandingkan bursa saham lain. Hari ini misalnya, ternyata laba BRI mengalami kenaikan sampai 17,13% atau jadi Rp. 4,238 Triliun pada triwulan ke 3 dibandingkan keuntungan pada periode sama tahun lalu. Ketika terjadi penurunan indeks, harga saham Indonesia menjadi luar biasa murahnya, dan dalam dua hari ini mulai terjadi pembelian-pembelian, sehingga kita lihat akhirnya indeks mulai mengalami kenaikan yang signifikan.
Kondisi makroekonomi yang baik, cadangan devisa yang cukup tinggi dan utang luar negeri yang terkendali, juga membuat pasar surat utang Indonesia masih cukup baik. Selain saham, obligasi juga mempunyai daya tarik yang cukup besar di tengah-tengah kondisi seperti ini. Memang belum kuat benar dan masih akan turun naik, tetapi kita lihat fundamental yang ada cukup tangguh untuk menghadapi kondisi sekarang.
Dengan fundamental yang baik, kita lihat nyatanya harga-harga, baik saham maupun obligasi, kini berada di tingkat yang sangat rendah. Kita percaya bahwa pasar modal di Indonesia masih berpeluang besar untuk meningkat, maka sekarang ini adalah saat yang baik untuk berinvestasi -- tentunya dengan tetap berhati-hati dan memilih penyedia investasi. Bagi yang sudah memiliki saham atau reksadana saham, sebaiknya jangan sampai dijual, sebaliknya justru ditambah. Kita melihat gerakan ini sudah dimulai oleh pihak asing, yang mulai mencari-cari saham yang undervalued di bursa efek Indonesia.
Hanya perlu dipahami, gelombang-gelombang ini sama sekali belum reda, sebaliknya satu kejatuhan memicu kejatuhan yang lain. Taruhan yang ada bukan lagi angka miliaran USD, melainkan triliunan. Masih banyak orang akan mengalami kesulitan dalam pekerjaan, kehilangan pasar, bahkan harus memulai lagi dari awal. Artinya, tidak ada solusi dalam jangka pendek yang bisa kita harapkan, atau keadaan membaik dalam waktu 1 tahun ke depan. Berharap tentu masih bisa, tapi mungkin tidak lagi cukup realistis.
Sekarang, kita berinvestasi untuk jangka panjang. Kita perlu memikirkan jangka panjang, saat-saat di mana kebutuhan memang muncul dan harus dipenuhi, seperti uang sekolah anak, atau uang pensiun. Jangan menunda atau mengorbankan tujuan-tujuan jangka panjang karena masalah jangka pendek. Lagipula, ketahanan fundamental harus dilihat sebagai efek jangka panjang, bukan? Ini bukanlah kemampuan teknikal untuk mendapat laba dalam jangka pendek, yang hari ini sama sekali tidak ketahuan ujung pangkalnya.
Jadi, tetaplah berinvestasi. Jika waktunya panjang sekali >10 th, pilihan saham bluechips atau reksa dana saham merupakan pilihan baik. Jika waktunya lebih pendek, reksa dana campuran menawarkan kombinasi yang menarik. Kalau waktunya kurang dari 3 tahun, pilihan obligasi atau reksa dana pendapatan tetap bisa dipertimbangkan. Untuk waktu di bawah 1 tahun, investasi yang disarankan hanyalah deposito, pilihlah di bank yang baik, artinya mempunyai cadangan modal yang cukup besar, melebihi persyaratan 8% yang ditetapkan BI dan tentunya pengelolaan yang profesional.
Dalam jangka pendek, persiapkanlah diri untuk lebih banyak menggarap pasar domestik, meraih kesempatan waktu kosong yang timbul karena barang impor berkurang. Sebaliknya, kita juga perlu lebih banyak memakai produk dalam negeri, menunda konsumsi produk impor atau tidak melakukan perjalanan keluar negeri. Jika kita bersama-sama bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan produksi dan konsumsi dalam negeri, memanfaatkan jumlah rakyat yang besar, maka kita bisa berharap akan tetap menikmati pertumbuhan pada saat ekonomi dunia kembali membaik. Siapa tahu, justru pada saat itu kita benar-benar bisa menggantikan posisi negara maju yang saat ini malah kehabisan dana dan tenaganya.
Tentu saja, ini adalah harapan untuk masa depan Indonesia.
25 Oktober 2008
Di Tepi Resesi
Teman-Teman,
Minggu ini ditutup dengan kelam. Seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, guncangan tahap dua mulai nyata. Mungkin, memang bulan Oktober adalah masa yang menakutkan, mengingat dahulu depresi besar juga dimulai pada bulan Oktober. Di tahun 1929 itu, beban berat terjadi di pasar modal dan berlangsung jadi resesi hebat, yang berlangsung selama 10 tahun sebelum pulih lagi. Dari kerusakan ekonomi, perasaan frustasi melanda rakyat di banyak negara dan secara tidak langsung, jadi pemicu Perang Dunia II. Siapa sangka?
Mudah-mudahan, kali ini tidak menjadi seperti itu.
Masalahnya, walaupun OPEC sudah berusaha bertemu dan memangkas produksi minyak, harga minyak bumi jatuh ke bawah $64 /barrel dalam penutupan hari ini. Saham konglomerat raksasa dunia seperti GE dan Samsung bertumbangan. Inggris hari Jumat ini secara resmi menunjukkan kondisi ekonominya ditepi masa resesi. Kepala Treasury Inggris, Alistair Darling, mengatakan "Every business, every individual -- we have to live within our means," sambil menunjukkan bahwa bisnis apapun sedang mengalami penurunan atau kontraksi. Perhitungan sementara, sampai Desember pun kecenderungannya tetap turun. Kalau nanti memang demikian, artinya Inggris memang resesi, hal yang tidak pernah terjadi sejak 1991.
Posisi yang buruk sudah lebih dahulu ditunjukkan oleh Singapura yang menyatakan resesi. Definisi resesi secara teknis adalah terjadinya kontraksi PDB / penyusutan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini menjadi epidemi di seluruh negara maju, dan rupanya hal ini berakar pada suatu sikap yang serba-optimis dan serba-meningkat yang menghinggapi banyak pebisnis dan pengelola modal di negara maju. Permulaannya sederhana saja: karena orang percaya pada teknologi dan komunikasi serta berbagai "peningkatan bisnis", maka seringkali suatu bisnis dihargai tinggi sebelum hasil sebenarnya muncul. Harapan ini diikuti oleh disimpannya sejumlah investasi, yang akhirnya menjadi suatu nilai yang bukan main besarnya jauh melampaui kemampuan sesungguhnya dari bisnis itu memberikan laba.
Dunia sebenarnya sudah berkali-kali melalui situasi yang serupa. Ketika internet mulai berkembang, saham dot.com begitu hebat membumbung, sampai akhirnya gelembung 'pecah' dan nyata bahwa teknologi internet tidak sedahsyat yang dibayangkan orang. Alan Greenspan waktu itu mengalihkan permainan ke bidang perumahan, yang lalu menjadi gelembung lain yang lebih besar dan pecahnya lebih bersifat merusak.
Kalau sudah begini, siapa yang dapat didengarkan sebagai sumber yang lebih baik daripada "kearifan pasar" yang terbukti tidak arif ini?
Kita beruntung karena masih ada tokoh dalam hal investasi yang masih bisa dipelajari -- walau nyatanya orang ini tidak pernah berbicara, tidak jadi motivator atau pembicara terkenal. Tetapi sekarang orang semua melihat apa yang ia lakukan, belajar apa prinsip-prinsip yang dipakainya, yang terbukti menyelamatkannya dari banyak masalah.
Dia adalah Warren Buffet. Dia berhasil lolos dari pecahnya gelembung dot.com -- sama sekali tidak ikut membeli saham itu karena "saya tidak paham". Nampaknya Warren Buffet juga tidak terjebak dengan Subprime Mortgage, dan sekarang dia masih jadi orang paling kaya di Amerika. Apa prinsipnya Warren Buffet?
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa prinsip ini bukan datang dari Buffet sendiri, melainkan dari Benjamin Graham yang menjadi dosennya. Berlawanan dengan kebanyakan orang yang berjual beli saham sebagai dagangan, Graham berprinsip untuk membeli BISNIS yang mempunyai nilai intrinsik tinggi namun dijual dengan harga diskon. Bisnis yang menunjukkan potensi usaha besar di masa depan, namun sekarang harganya di bawah rata-rata pasar. Graham menekankan pada diskon harganya. Tetapi Buffet belakangan mengerti bahwa lebih penting lagi mengerti potensi usaha, sehingga belakangan ia berani membeli pada harga premium karena sudah memahami di masa depan keuntungannya akan jauh lebih besar lagi.
Pendekatan ini tidak populer karena dua hal. Yang pertama, untuk memahami bisnis tidaklah mudah. Orang harus bisa membaca laporan keuangan yang rumit, yang bahkan lulusan ekonomi pun banyak yang tidak menyukainya. Yang kedua, hal ini berarti harus berinvestasi dalam jangka waktu panjang, cukup memberi waktu hingga usaha yang diperkirakan berhasil meraih laba benar-benar bisa mewujudkan visinya. Orang masih lebih menginginkan yang serba mudah dan serba cepat menghasilkan. Dan terjadilah, gelembung demi gelembung pecah...
Apakah Indonesia di tepi resesi?
Satu hal pasti, prinsip Buffet juga bisa diterapkan di pasar modal Indonesia. Negara ini masih mempunyai keunggulan intrinsik, yang posisinya membuat perusahaan-perusahaan tetap menjanjikan hasil besar di masa yang akan datang.
1. Indonesia adalah negara berkembang. Artinya masih ada banyak sekali yang harus dibangun, ada banyak sekali pekerjaan untuk dibereskan, dan banyak sekali peluang untuk berbisnis dan memperoleh bagian laba dari peningkatan ekonomi yang terjadi.
2. Indonesia mempunyai penduduk yang bukan main besarnya, tahun ini sudah lebih dari 220 juta orang. Jumlah penduduk yang banyak memang mengancam ketahanan mata uang dan seringkali membuat inflasi yang lebih tinggi, ketika laju produksi tidak dapat mengimbangi laju permintaan. Tetapi di sisi lain, kemampu-labaan dari perusahaan di Indonesia masih besar. Bagi perusahaan yang sudah terbuka pun, nyatanya Earning Per Share dari emiten Indonesia tetap lebih tinggi daripada emiten di bursa-bursa modal lainnya di kawasan Asia.
3. Pasar di Indonesia belum sejenuh pasar di luar, dan untuk banyak bidang, perusahaan yang bergerak masih yang itu-itu juga. Karena mereka jadi perusahaan terbuka untuk memperoleh pendanaan, maka emiten di Indonesia juga tidak terlalu banyak, hanya ratusan. Di antaranya ada perusahaan BUMN yang masih serba monopoli, contohnya PT Telkom, yang memonopoli telepon kabel di Indonesia. Kalaupun tidak monopoli, perusahaan yang ada menjadi oligopoli.
4. Posisi keuangan Pemerintah Indonesia menjadi lebih baik, karena sekarang subsidi berkurang dan cadangan devisa masih cukup banyak, cukup membiayai 4,5 bulan impor. Nilai kurs bisa bertahan cukup stabil dalam 8 tahun terakhir -- baru dua bulan ini terasa tekanan besar pada Rupiah. Korupsi diberantas lebih keras, walau perjalanan masih panjang. Tapi, semuanya harus diakui, menjadi lebih baik.
5. Indonesia adalah negara dengan sumber alam yang luar biasa. Ketika orang tidak lagi bisa mengandalkan kekayaan intelektual, tidak lagi bisa berharap pada hasil industri yang melambat, hasil dari sumber-sumber alami tetap menjadi suatu produktivitas yang nyata. Walaupun sekarang terjadi penurunan, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan, tetapi nilai sesungguhnya tidak berkurang karena selama manusia hidup tetap ada kebutuhan hasil perkebunan dan pertambangan.
Jadi, Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih baik, jauh lebih besar daripada Singapura atau Malaysia, misalnya. Tapi, kalau begitu kenapa Indonesia masih juga mengalami keruntuhan pasar modal? Penutupan hari ini, IHSG ada pada 1,244.864, turun 6,91%. Kepanikan apa yang memicu turunnya bursa efek di Indonesia?
Perlu kita pahami, bahwa PEMAHAMAN adalah kunci penting. Pemahaman bahwa ada prinsip-prinsip yang berlaku, yang seharusnya tidak dilanggar. Karena nyatanya, pelaku bisnis di Indonesia masih terjebak dengan pat-gulipat, seperti dalam kasus Bakrie & Brother yang menggadaikan saham untuk membeli/repo saham yang sama, dengan keyakinan luar biasa bahwa sahamnya akan tetap tinggi. Ketika saham BUMI dan dua lainnya jatuh, grup ini justru terlibat masalah hutang yang pelik, yang akhirnya menjatuhkan seluruh nilai bisnis mereka. Ini adalah bentuk langsung dari kesalah-pahaman mengantisipasi pasar.
Pemahaman juga membuat pelaku pasar menjadi goyah, karena melihat bursa-bursa lain di dunia berguguran hari ini. Sinyalnya adalah "ayo kita jatuh" dan orang yang sebenarnya tidak perlu jatuh pun tergesa-gesa menjual sahamnya dengan harga yang dijatuhkan. Pelaku kita banyak yang mengikuti juga investor asing, yang saat ini banyak menarik dananya dari pasar berkembang (emerging market) karena harga minyak yang masih di bawah $70. Padahal, untuk apa? Mengapa harus ikut-ikutan?
Kembali lagi ke Warren Buffet, menarik untuk memperhatikan bahwa ia tidak menyatakan sedang membeli saham, melainkan membeli bisnis. Sebuah saham bukan soal surat yang harganya turun-naik, melainkan bisnis yang bisa berkembang dan menyusut. Itulah sebabnya Buffet menolak membeli saham yang "tidak saya mengerti". Ia tidak masuk keluar berdasarkan trend pasar, melainkan dari bisnis yang ditanganinya. Buffet tidak ikut-ikutan, karena dia paham.
Seberapa jauh orang Indonesia bisa bertahan, tergantung dari pemahaman bersama-sama tentang keadaan yang sesungguhnya dari bisnis di Indonesia, bukan soal pasar yang cenderung jual atau cenderung beli. Jika kesalah-pahaman diteruskan, kita tidak tahu berapa lama lagi waktunya sebelum orang Indonesia membongkari bisnisnya sendiri. Kini waktunya kita mengerti apa yang sedang kita kerjakan, menghargainya dan melihat potensinya secara utuh; memang ada masalah dan kekurangan, tetapi juga ada harapan dan sumber-sumber untuk digali.
Satu aspek lagi adalah adanya Pemilu yang akan dilangsungkan tahun depan, di mana pengalaman menunjukkan bahwa masa pemilu adalah masa masyarakat menerima kucuran dana yang jumlahnya cukup besar. Hal ini tentunya meningkatkan konsumsi dan perputaran uang -- terlepas dari apakah uang itu halal atau tidak -- dan walaupun buruk sekali bagi praktek politik, bagi ekonomi ini adalah hal yang baik. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami resesi; kalaupun terjadi berarti harus dilihat dalam 6 bulan mendatang, karena selama 3 kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di atas 6%.
Bagaimanapun, kita harus waspada. Dunia ada di tepi resesi, bagi kita sekarang adalah waktunya untuk melihat ke dalam, untuk menghargai segala produk buatan dalam negeri, dan kita harus bisa bergerak dengan dana kita sendiri. Pelajaran penting: jangan berhutang, tetapi marilah mulai saling berbagi dan mendukung pertumbuhan. Kalau dunia di sekitar kita jatuh dan runtuh, tak ada alasan untuk ikut-ikutan runtuh. Memang tidak mudah, tidak mungkin menganggap enteng atau menyederhanakan masalah, namun kita juga harus bisa melihat dengan dua mata, melihat dalam kedalaman.
Sementara itu, menarik melihat bahwa awalnya Warren Buffet meningkat dengan perusahaan Asuransi Jiwa. Melihat keadaan sekarang, kita perlu secara serius mempertimbangkan Asuransi Jiwa yang memadai untuk melindungi kesejahteraan keluarga, karena dunia finansial yang semakin tidak menentu menuntut adanya suatu perlindungan. Kondisi hari ini berbeda: jika dahulu terjadi kemalangan, keluarga masih bisa menanggung bebannya. Tetapi kondisi sekarang membuat daya dukung keluarga menjadi terbatas, sehingga kita harus menemukan sarana perlindungan yang lebih baik. Yang paling baik dari semuanya adalah: TUHAN. Dia jauh lebih baik daripada segala perlindungan yang bisa diberikan manusia, entah keluarga atau lembaga keuangan atau negara! Percayakanlah diri kepada-Nya. Lalu, jika kita berpeluang untuk merencanakan keuangan dengan bertanggung jawab, baiklah kita juga menghitung berapa asuransi yang kita perlukan. Kalau masih belum memahami, temuilah agen asuransi bersertifikat (dikeluarkan AAJI) yang dapat dipercaya untuk memberikan saran-saran terbaik mengelola perlindungan finansial.
Kiranya Tuhan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia!
Minggu ini ditutup dengan kelam. Seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, guncangan tahap dua mulai nyata. Mungkin, memang bulan Oktober adalah masa yang menakutkan, mengingat dahulu depresi besar juga dimulai pada bulan Oktober. Di tahun 1929 itu, beban berat terjadi di pasar modal dan berlangsung jadi resesi hebat, yang berlangsung selama 10 tahun sebelum pulih lagi. Dari kerusakan ekonomi, perasaan frustasi melanda rakyat di banyak negara dan secara tidak langsung, jadi pemicu Perang Dunia II. Siapa sangka?
Mudah-mudahan, kali ini tidak menjadi seperti itu.
Masalahnya, walaupun OPEC sudah berusaha bertemu dan memangkas produksi minyak, harga minyak bumi jatuh ke bawah $64 /barrel dalam penutupan hari ini. Saham konglomerat raksasa dunia seperti GE dan Samsung bertumbangan. Inggris hari Jumat ini secara resmi menunjukkan kondisi ekonominya ditepi masa resesi. Kepala Treasury Inggris, Alistair Darling, mengatakan "Every business, every individual -- we have to live within our means," sambil menunjukkan bahwa bisnis apapun sedang mengalami penurunan atau kontraksi. Perhitungan sementara, sampai Desember pun kecenderungannya tetap turun. Kalau nanti memang demikian, artinya Inggris memang resesi, hal yang tidak pernah terjadi sejak 1991.
Posisi yang buruk sudah lebih dahulu ditunjukkan oleh Singapura yang menyatakan resesi. Definisi resesi secara teknis adalah terjadinya kontraksi PDB / penyusutan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini menjadi epidemi di seluruh negara maju, dan rupanya hal ini berakar pada suatu sikap yang serba-optimis dan serba-meningkat yang menghinggapi banyak pebisnis dan pengelola modal di negara maju. Permulaannya sederhana saja: karena orang percaya pada teknologi dan komunikasi serta berbagai "peningkatan bisnis", maka seringkali suatu bisnis dihargai tinggi sebelum hasil sebenarnya muncul. Harapan ini diikuti oleh disimpannya sejumlah investasi, yang akhirnya menjadi suatu nilai yang bukan main besarnya jauh melampaui kemampuan sesungguhnya dari bisnis itu memberikan laba.
Dunia sebenarnya sudah berkali-kali melalui situasi yang serupa. Ketika internet mulai berkembang, saham dot.com begitu hebat membumbung, sampai akhirnya gelembung 'pecah' dan nyata bahwa teknologi internet tidak sedahsyat yang dibayangkan orang. Alan Greenspan waktu itu mengalihkan permainan ke bidang perumahan, yang lalu menjadi gelembung lain yang lebih besar dan pecahnya lebih bersifat merusak.
Kalau sudah begini, siapa yang dapat didengarkan sebagai sumber yang lebih baik daripada "kearifan pasar" yang terbukti tidak arif ini?
Kita beruntung karena masih ada tokoh dalam hal investasi yang masih bisa dipelajari -- walau nyatanya orang ini tidak pernah berbicara, tidak jadi motivator atau pembicara terkenal. Tetapi sekarang orang semua melihat apa yang ia lakukan, belajar apa prinsip-prinsip yang dipakainya, yang terbukti menyelamatkannya dari banyak masalah.
Dia adalah Warren Buffet. Dia berhasil lolos dari pecahnya gelembung dot.com -- sama sekali tidak ikut membeli saham itu karena "saya tidak paham". Nampaknya Warren Buffet juga tidak terjebak dengan Subprime Mortgage, dan sekarang dia masih jadi orang paling kaya di Amerika. Apa prinsipnya Warren Buffet?
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa prinsip ini bukan datang dari Buffet sendiri, melainkan dari Benjamin Graham yang menjadi dosennya. Berlawanan dengan kebanyakan orang yang berjual beli saham sebagai dagangan, Graham berprinsip untuk membeli BISNIS yang mempunyai nilai intrinsik tinggi namun dijual dengan harga diskon. Bisnis yang menunjukkan potensi usaha besar di masa depan, namun sekarang harganya di bawah rata-rata pasar. Graham menekankan pada diskon harganya. Tetapi Buffet belakangan mengerti bahwa lebih penting lagi mengerti potensi usaha, sehingga belakangan ia berani membeli pada harga premium karena sudah memahami di masa depan keuntungannya akan jauh lebih besar lagi.
Pendekatan ini tidak populer karena dua hal. Yang pertama, untuk memahami bisnis tidaklah mudah. Orang harus bisa membaca laporan keuangan yang rumit, yang bahkan lulusan ekonomi pun banyak yang tidak menyukainya. Yang kedua, hal ini berarti harus berinvestasi dalam jangka waktu panjang, cukup memberi waktu hingga usaha yang diperkirakan berhasil meraih laba benar-benar bisa mewujudkan visinya. Orang masih lebih menginginkan yang serba mudah dan serba cepat menghasilkan. Dan terjadilah, gelembung demi gelembung pecah...
Apakah Indonesia di tepi resesi?
Satu hal pasti, prinsip Buffet juga bisa diterapkan di pasar modal Indonesia. Negara ini masih mempunyai keunggulan intrinsik, yang posisinya membuat perusahaan-perusahaan tetap menjanjikan hasil besar di masa yang akan datang.
1. Indonesia adalah negara berkembang. Artinya masih ada banyak sekali yang harus dibangun, ada banyak sekali pekerjaan untuk dibereskan, dan banyak sekali peluang untuk berbisnis dan memperoleh bagian laba dari peningkatan ekonomi yang terjadi.
2. Indonesia mempunyai penduduk yang bukan main besarnya, tahun ini sudah lebih dari 220 juta orang. Jumlah penduduk yang banyak memang mengancam ketahanan mata uang dan seringkali membuat inflasi yang lebih tinggi, ketika laju produksi tidak dapat mengimbangi laju permintaan. Tetapi di sisi lain, kemampu-labaan dari perusahaan di Indonesia masih besar. Bagi perusahaan yang sudah terbuka pun, nyatanya Earning Per Share dari emiten Indonesia tetap lebih tinggi daripada emiten di bursa-bursa modal lainnya di kawasan Asia.
3. Pasar di Indonesia belum sejenuh pasar di luar, dan untuk banyak bidang, perusahaan yang bergerak masih yang itu-itu juga. Karena mereka jadi perusahaan terbuka untuk memperoleh pendanaan, maka emiten di Indonesia juga tidak terlalu banyak, hanya ratusan. Di antaranya ada perusahaan BUMN yang masih serba monopoli, contohnya PT Telkom, yang memonopoli telepon kabel di Indonesia. Kalaupun tidak monopoli, perusahaan yang ada menjadi oligopoli.
4. Posisi keuangan Pemerintah Indonesia menjadi lebih baik, karena sekarang subsidi berkurang dan cadangan devisa masih cukup banyak, cukup membiayai 4,5 bulan impor. Nilai kurs bisa bertahan cukup stabil dalam 8 tahun terakhir -- baru dua bulan ini terasa tekanan besar pada Rupiah. Korupsi diberantas lebih keras, walau perjalanan masih panjang. Tapi, semuanya harus diakui, menjadi lebih baik.
5. Indonesia adalah negara dengan sumber alam yang luar biasa. Ketika orang tidak lagi bisa mengandalkan kekayaan intelektual, tidak lagi bisa berharap pada hasil industri yang melambat, hasil dari sumber-sumber alami tetap menjadi suatu produktivitas yang nyata. Walaupun sekarang terjadi penurunan, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan, tetapi nilai sesungguhnya tidak berkurang karena selama manusia hidup tetap ada kebutuhan hasil perkebunan dan pertambangan.
Jadi, Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih baik, jauh lebih besar daripada Singapura atau Malaysia, misalnya. Tapi, kalau begitu kenapa Indonesia masih juga mengalami keruntuhan pasar modal? Penutupan hari ini, IHSG ada pada 1,244.864, turun 6,91%. Kepanikan apa yang memicu turunnya bursa efek di Indonesia?
Perlu kita pahami, bahwa PEMAHAMAN adalah kunci penting. Pemahaman bahwa ada prinsip-prinsip yang berlaku, yang seharusnya tidak dilanggar. Karena nyatanya, pelaku bisnis di Indonesia masih terjebak dengan pat-gulipat, seperti dalam kasus Bakrie & Brother yang menggadaikan saham untuk membeli/repo saham yang sama, dengan keyakinan luar biasa bahwa sahamnya akan tetap tinggi. Ketika saham BUMI dan dua lainnya jatuh, grup ini justru terlibat masalah hutang yang pelik, yang akhirnya menjatuhkan seluruh nilai bisnis mereka. Ini adalah bentuk langsung dari kesalah-pahaman mengantisipasi pasar.
Pemahaman juga membuat pelaku pasar menjadi goyah, karena melihat bursa-bursa lain di dunia berguguran hari ini. Sinyalnya adalah "ayo kita jatuh" dan orang yang sebenarnya tidak perlu jatuh pun tergesa-gesa menjual sahamnya dengan harga yang dijatuhkan. Pelaku kita banyak yang mengikuti juga investor asing, yang saat ini banyak menarik dananya dari pasar berkembang (emerging market) karena harga minyak yang masih di bawah $70. Padahal, untuk apa? Mengapa harus ikut-ikutan?
Kembali lagi ke Warren Buffet, menarik untuk memperhatikan bahwa ia tidak menyatakan sedang membeli saham, melainkan membeli bisnis. Sebuah saham bukan soal surat yang harganya turun-naik, melainkan bisnis yang bisa berkembang dan menyusut. Itulah sebabnya Buffet menolak membeli saham yang "tidak saya mengerti". Ia tidak masuk keluar berdasarkan trend pasar, melainkan dari bisnis yang ditanganinya. Buffet tidak ikut-ikutan, karena dia paham.
Seberapa jauh orang Indonesia bisa bertahan, tergantung dari pemahaman bersama-sama tentang keadaan yang sesungguhnya dari bisnis di Indonesia, bukan soal pasar yang cenderung jual atau cenderung beli. Jika kesalah-pahaman diteruskan, kita tidak tahu berapa lama lagi waktunya sebelum orang Indonesia membongkari bisnisnya sendiri. Kini waktunya kita mengerti apa yang sedang kita kerjakan, menghargainya dan melihat potensinya secara utuh; memang ada masalah dan kekurangan, tetapi juga ada harapan dan sumber-sumber untuk digali.
Satu aspek lagi adalah adanya Pemilu yang akan dilangsungkan tahun depan, di mana pengalaman menunjukkan bahwa masa pemilu adalah masa masyarakat menerima kucuran dana yang jumlahnya cukup besar. Hal ini tentunya meningkatkan konsumsi dan perputaran uang -- terlepas dari apakah uang itu halal atau tidak -- dan walaupun buruk sekali bagi praktek politik, bagi ekonomi ini adalah hal yang baik. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami resesi; kalaupun terjadi berarti harus dilihat dalam 6 bulan mendatang, karena selama 3 kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di atas 6%.
Bagaimanapun, kita harus waspada. Dunia ada di tepi resesi, bagi kita sekarang adalah waktunya untuk melihat ke dalam, untuk menghargai segala produk buatan dalam negeri, dan kita harus bisa bergerak dengan dana kita sendiri. Pelajaran penting: jangan berhutang, tetapi marilah mulai saling berbagi dan mendukung pertumbuhan. Kalau dunia di sekitar kita jatuh dan runtuh, tak ada alasan untuk ikut-ikutan runtuh. Memang tidak mudah, tidak mungkin menganggap enteng atau menyederhanakan masalah, namun kita juga harus bisa melihat dengan dua mata, melihat dalam kedalaman.
Sementara itu, menarik melihat bahwa awalnya Warren Buffet meningkat dengan perusahaan Asuransi Jiwa. Melihat keadaan sekarang, kita perlu secara serius mempertimbangkan Asuransi Jiwa yang memadai untuk melindungi kesejahteraan keluarga, karena dunia finansial yang semakin tidak menentu menuntut adanya suatu perlindungan. Kondisi hari ini berbeda: jika dahulu terjadi kemalangan, keluarga masih bisa menanggung bebannya. Tetapi kondisi sekarang membuat daya dukung keluarga menjadi terbatas, sehingga kita harus menemukan sarana perlindungan yang lebih baik. Yang paling baik dari semuanya adalah: TUHAN. Dia jauh lebih baik daripada segala perlindungan yang bisa diberikan manusia, entah keluarga atau lembaga keuangan atau negara! Percayakanlah diri kepada-Nya. Lalu, jika kita berpeluang untuk merencanakan keuangan dengan bertanggung jawab, baiklah kita juga menghitung berapa asuransi yang kita perlukan. Kalau masih belum memahami, temuilah agen asuransi bersertifikat (dikeluarkan AAJI) yang dapat dipercaya untuk memberikan saran-saran terbaik mengelola perlindungan finansial.
Kiranya Tuhan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia!
16 Oktober 2008
Shockwave Tahap 2
Beberapa hari ini para pelaku pasar modal bisa menarik nafas, sedikit. Beberapa orang malah merasa bahwa "krisis sudah berlalu" dan mulai bersiap-siap mengantisipasi loncatan dalam indeks saham, setelah beberapa minggu melalui jurang yang mengerikan. Nah, harapan memang menyenangkan, tetapi sebagai konsultan keuangan, kami harus jujur mengatakan bahwa masih ada kelanjutan masalah. Krisis belum berakhir.
Masih ingat apa yang menyebabkan krisis pertama kali? Masalahnya adalah soal hutang. Ada begitu banyak hutang di tangan rakyat Amerika (dan ternyata, Eropa juga) sehingga kemacetan yang terjadi begitu besar, menjatuhkan sejumlah firma keuangan besar yang berusia lebih dari seabad. Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk mengamankan posisi bank-bank yang terancam, dengan tujuan agar kepercayaan kepada bank tidak runtuh. Diharapkan ada uang pada bank, sehingga bank bisa mengalirkan kredit kembali, menjalankan roda perekonomian kembali, dan krisis berlalu. Itu harapannya.
Tapi masalahnya adalah: hutang tetap hutang, dan banyak orang di Amerika kehilangan kemampuan untuk membayar. Bayangkan saja, kemarin ini ada 159.000 orang pandai dan berpengalaman, orang-orang "kerah putih" yang kehilangan pekerjaan. Bagi kita di Indonesia, mungkin berita ini tidak terasa hebat, karena toh di sini juga buruh-buruh yang di PHK pada saat krismon dahulu jumlahnya kurang lebih sama. Kalau kita membandingkannya dengan cara begitu, marilah kita ingat bahwa dalam kasus ini, produktivitas ke 159.000 orang yang di PHK itu jauh lebih tinggi daripada produktivitas buruh di Indonesia. Secara total, PHK itu berarti hilangnya potensi produktivitas yang jumlahnya mencapai milyaran dollar per tahun, kalau dihitung pendapatan mereka umumnya di atas $25.000 per tahun. Gaji itu hanya indikator, karena dalam struktur biaya, gaji seseorang seharusnya lebih kecil daripada produktivitasnya. Jadi orang yang gajinya $25.000/tahun mungkin mempunyai produktivitas $100.000/tahun.
Bayangkan kehilangan potensi produktivitas di Amerika. Lalu apa hubungannya?
Hubungannya, produktivitas akan tersalurkan menjadi penghasilan, yang secara langsung mempengaruhi daya beli. Krisis kali ini bukan saja membuat perbankan di Amerika dan Eropa terancam, melainkan juga menurunkan daya beli, artinya nilai penjualan yang lebih kecil, artinya pertumbuhan ekonomi yang negatif. Efeknya, semua penyedia jasa dan barang tiba-tiba saja kehilangan pelanggan, dan itu juga membuat daya belinya menurun, pertumbuhan ekonominya negatif.
Sebagai contoh, Singapura kemarin ini telah mengumumkan negaranya ada dalam situasi resesi; ini berarti telah terjadi penurunan ekonomi selama 2 kuartal berturut-turut. Negara ini memang menjadi penyedia jasa, yang pelanggan utamanya adalah negara-negara G-7. Karena di negara G-7 terjadi kemunduran, Singapura juga terpaksa harus menelan ekonomi negatif selama 6 bulan terakhir. Pemerintahnya berusaha mendorong ekonomi dengan melonggarkan bank dalam memberikan kredit, tetapi hal ini tidak langsung berpengaruh karena masalahnya bukan soal uang melainkan soal pembeli. Kalau tidak ada pembeli, ada pinjaman pun buat apa?
Kondisi ini bukan hanya dihadapi Singapura sebagai penyedia jasa, tapi juga dialami banyak negara di Asia lain. Jepang, Hong Kong, Malaysia, dan tentu juga Cina dan India tiba-tiba kehilangan pasar yang biasanya selalu membeli apa saja yang ditawarkan. Kini tidak lagi; pasar yang biasa tidak lagi menerima semua penawaran. Penjualan-penjualan turun...jadi ke mana penjualan dilakukan? Setiap pabrik biasanya mempunyai beban harus memakai seluruh kapasitas produksinya agar terjadi efisiensi. Kalau kapasitas produksi terpasang tidak digunakan, dalam pembukuan terjadi kerugian karena depresiasi tetap dihitung. Menjalankan mesin tidak sukar, tapi hasilnya mau dijual kemana?
Maka, guncangan berikutnya adalah ketika sejumlah besar produk dan jasa beralih pasar, ke mana saja produk dan jasa itu bisa masuk. Sementara itu, di Amerika sendiri ada industri besar; industri perumahan dan otomotif, teknologi tinggi, peralatan rumah tangga, dan segala macam lain, yang mendapati pasar dalam negerinya merosot dan tidak kelihatan titik terang kebangkitannya kembali. Untuk menyelamatkan diri, baik produsen dari Amerika maupun dari negara-negara manufaktur di Asia melemparkan barangnya dengan diskon penuh; yang penting aset sediaan dapat cair dan menjadi uang lagi.
Siapa yang jadi tujuan pasar mereka? Ya, banyak negara yang masih stabil antara lain Indonesia juga. Efeknya mungkin mulai akan terlihat minggu-minggu ini; barang impor jadi murah. Buat yang suka belanja, mula-mula rasanya menyenangkan. Tetapi kemudian, barang-barang ini mematikan produsen lokal yang masih tetap menjual dengan harga normal, tidak banting-bantingan demi mencairkan uang. Kalau dari tahun lalu industri tekstil sudah merasakan kerasnya persaingan dengan produk luar yang harganya murah, sekarang ini industri lain juga mungkin mengalami hal serupa.
Sebenarnya, melihat hal seperti ini kita seharusnya senang jika dollar kuat. Dengan nilai dollar yang tinggi, barang impor tidak terlalu murah dan produsen dalam negeri bisa mendapat sedikit proteksi. Tetapi, di sisi lain ada kepentingan untuk menahan penguatan nilai tukar dollar, dan pagi ini kurs dollar kembali melemah, turun kembali ke Rp 9800-an per dollar. Semakin lemah dollar, semakin murah produk mereka, semakin mudah masuk, dan semakin berat dilawan pengusaha lokal. Tapi, orang Indonesia memang banyak yang cinta produk asing, semakin bergairah untuk melakukan impor. Kita lupa, masyarakat bisa membeli karena produktivitas yang tersalur melalui pengusaha lokal, bukan asing. Untuk itu, kita harus bisa memasarkan produk, lebih dari pemasaran produk asing. Istilah "Aku Cinta Buatan Indonesia" bukan lagi slogan, namun jadi syarat bagi keberhasilan jangka panjang.
Dalam hal ini, kuncinya adalah kebenaran dan keadilan yang kita jalankan, bukan hanya semangat untuk memperkaya diri sendiri. Masalah ekonomi yang tadinya nampak hanya di bursa modal, akan menjadi masalah di bursa nyata, waktu barang-barang kita harus bersaing dengan produk global. Dapatkah kita bertahan, apalagi dengan mentalitas meninggikan barang buatan luar negeri?
Masih ingat apa yang menyebabkan krisis pertama kali? Masalahnya adalah soal hutang. Ada begitu banyak hutang di tangan rakyat Amerika (dan ternyata, Eropa juga) sehingga kemacetan yang terjadi begitu besar, menjatuhkan sejumlah firma keuangan besar yang berusia lebih dari seabad. Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk mengamankan posisi bank-bank yang terancam, dengan tujuan agar kepercayaan kepada bank tidak runtuh. Diharapkan ada uang pada bank, sehingga bank bisa mengalirkan kredit kembali, menjalankan roda perekonomian kembali, dan krisis berlalu. Itu harapannya.
Tapi masalahnya adalah: hutang tetap hutang, dan banyak orang di Amerika kehilangan kemampuan untuk membayar. Bayangkan saja, kemarin ini ada 159.000 orang pandai dan berpengalaman, orang-orang "kerah putih" yang kehilangan pekerjaan. Bagi kita di Indonesia, mungkin berita ini tidak terasa hebat, karena toh di sini juga buruh-buruh yang di PHK pada saat krismon dahulu jumlahnya kurang lebih sama. Kalau kita membandingkannya dengan cara begitu, marilah kita ingat bahwa dalam kasus ini, produktivitas ke 159.000 orang yang di PHK itu jauh lebih tinggi daripada produktivitas buruh di Indonesia. Secara total, PHK itu berarti hilangnya potensi produktivitas yang jumlahnya mencapai milyaran dollar per tahun, kalau dihitung pendapatan mereka umumnya di atas $25.000 per tahun. Gaji itu hanya indikator, karena dalam struktur biaya, gaji seseorang seharusnya lebih kecil daripada produktivitasnya. Jadi orang yang gajinya $25.000/tahun mungkin mempunyai produktivitas $100.000/tahun.
Bayangkan kehilangan potensi produktivitas di Amerika. Lalu apa hubungannya?
Hubungannya, produktivitas akan tersalurkan menjadi penghasilan, yang secara langsung mempengaruhi daya beli. Krisis kali ini bukan saja membuat perbankan di Amerika dan Eropa terancam, melainkan juga menurunkan daya beli, artinya nilai penjualan yang lebih kecil, artinya pertumbuhan ekonomi yang negatif. Efeknya, semua penyedia jasa dan barang tiba-tiba saja kehilangan pelanggan, dan itu juga membuat daya belinya menurun, pertumbuhan ekonominya negatif.
Sebagai contoh, Singapura kemarin ini telah mengumumkan negaranya ada dalam situasi resesi; ini berarti telah terjadi penurunan ekonomi selama 2 kuartal berturut-turut. Negara ini memang menjadi penyedia jasa, yang pelanggan utamanya adalah negara-negara G-7. Karena di negara G-7 terjadi kemunduran, Singapura juga terpaksa harus menelan ekonomi negatif selama 6 bulan terakhir. Pemerintahnya berusaha mendorong ekonomi dengan melonggarkan bank dalam memberikan kredit, tetapi hal ini tidak langsung berpengaruh karena masalahnya bukan soal uang melainkan soal pembeli. Kalau tidak ada pembeli, ada pinjaman pun buat apa?
Kondisi ini bukan hanya dihadapi Singapura sebagai penyedia jasa, tapi juga dialami banyak negara di Asia lain. Jepang, Hong Kong, Malaysia, dan tentu juga Cina dan India tiba-tiba kehilangan pasar yang biasanya selalu membeli apa saja yang ditawarkan. Kini tidak lagi; pasar yang biasa tidak lagi menerima semua penawaran. Penjualan-penjualan turun...jadi ke mana penjualan dilakukan? Setiap pabrik biasanya mempunyai beban harus memakai seluruh kapasitas produksinya agar terjadi efisiensi. Kalau kapasitas produksi terpasang tidak digunakan, dalam pembukuan terjadi kerugian karena depresiasi tetap dihitung. Menjalankan mesin tidak sukar, tapi hasilnya mau dijual kemana?
Maka, guncangan berikutnya adalah ketika sejumlah besar produk dan jasa beralih pasar, ke mana saja produk dan jasa itu bisa masuk. Sementara itu, di Amerika sendiri ada industri besar; industri perumahan dan otomotif, teknologi tinggi, peralatan rumah tangga, dan segala macam lain, yang mendapati pasar dalam negerinya merosot dan tidak kelihatan titik terang kebangkitannya kembali. Untuk menyelamatkan diri, baik produsen dari Amerika maupun dari negara-negara manufaktur di Asia melemparkan barangnya dengan diskon penuh; yang penting aset sediaan dapat cair dan menjadi uang lagi.
Siapa yang jadi tujuan pasar mereka? Ya, banyak negara yang masih stabil antara lain Indonesia juga. Efeknya mungkin mulai akan terlihat minggu-minggu ini; barang impor jadi murah. Buat yang suka belanja, mula-mula rasanya menyenangkan. Tetapi kemudian, barang-barang ini mematikan produsen lokal yang masih tetap menjual dengan harga normal, tidak banting-bantingan demi mencairkan uang. Kalau dari tahun lalu industri tekstil sudah merasakan kerasnya persaingan dengan produk luar yang harganya murah, sekarang ini industri lain juga mungkin mengalami hal serupa.
Sebenarnya, melihat hal seperti ini kita seharusnya senang jika dollar kuat. Dengan nilai dollar yang tinggi, barang impor tidak terlalu murah dan produsen dalam negeri bisa mendapat sedikit proteksi. Tetapi, di sisi lain ada kepentingan untuk menahan penguatan nilai tukar dollar, dan pagi ini kurs dollar kembali melemah, turun kembali ke Rp 9800-an per dollar. Semakin lemah dollar, semakin murah produk mereka, semakin mudah masuk, dan semakin berat dilawan pengusaha lokal. Tapi, orang Indonesia memang banyak yang cinta produk asing, semakin bergairah untuk melakukan impor. Kita lupa, masyarakat bisa membeli karena produktivitas yang tersalur melalui pengusaha lokal, bukan asing. Untuk itu, kita harus bisa memasarkan produk, lebih dari pemasaran produk asing. Istilah "Aku Cinta Buatan Indonesia" bukan lagi slogan, namun jadi syarat bagi keberhasilan jangka panjang.
Dalam hal ini, kuncinya adalah kebenaran dan keadilan yang kita jalankan, bukan hanya semangat untuk memperkaya diri sendiri. Masalah ekonomi yang tadinya nampak hanya di bursa modal, akan menjadi masalah di bursa nyata, waktu barang-barang kita harus bersaing dengan produk global. Dapatkah kita bertahan, apalagi dengan mentalitas meninggikan barang buatan luar negeri?
10 Oktober 2008
Analisa Pasar
Dear Friends,
Saat ini kondisi krisis ekonomi sudah berlangsung selama hampir 2 minggu. Tanda-tandanya sudah dimulai dari awal bulan September, tapi pada akhir September gelombang krisis mulai menerpa, dimulai dari pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers, yang sudah berdiri sejak 1889. Ini adalah gelombang berikut dari krisis akibat subprime mortgage, surat gadai rumah yang kehilangan nilainya di Amerika.
Masalahnya bukan hanya subprime mortgage; ini adalah pemicu. Masalah yang lebih dalam adalah kehidupan rakyat Amerika yang ditopang oleh hutang, sampai hutang rakyatnya mencapai 100% PDB Amerika. Mereka berhutang untuk rumah, untuk mobil, untuk bayar sekolah, dan segala kebutuhan lain dengan kartu kredit. Dimulainya kira-kira di tahun 2000, yaitu setelah pasar saham jatuh karena krisis dot.com. Waktu itu, Alan Greenspan membuat suku bunga The Fed menjadi rendah sekali, sehingga dengan mudah orang mendapatkan pinjaman dan menjalankan kembali roda ekonomi Amerika dan dunia.
Pelajaran penting bagi Indonesia, yang rakyatnya juga suka berhutang: beli rumah pake kredit, beli mobil dikredit, uang sekolah, jalan-jalan ke luar negeri, atau beli panci pun kredit! Nyata benar bahwa kebutuhan MENABUNG bukan saja berguna bagi individu, tetapi juga bagi bangsa dan negara, lihat saja Jepang. Tetapi, mari kita lihat akibatnya lebih lanjut.
Di tahun 2000-an itu kredit rumah menjadi rendah, sedangkan jumlah rumah terbatas. Akibatnya, kenaikan harga rumah menjadi tinggi, mencapai 20% per tahun jauh di atas bunga kredit yang hanya 2%-an saja. Waktu itu membeli rumah merupakan tindakan yang dianggap 'cerdas', orang yang beli di awal tahun dengan bunga bank bisa menjualnya lagi di akhir tahun dengan keuntungan besar. Orang pun berlomba-lomba membeli rumah, membuat permintaan akan rumah baru dan kredit baru menjadi semakin besar. Keyakinan orang: yang namanya RUMAH pasti akan naik harganya. Keyakinan akan mendapat untung membuat orang juga berani membeli lebih awal, dengan keyakinan bahwa nanti hutangnya bisa dibayar oleh keuntungan investasi. Bukan hanya rumah, semua penjualan lain juga meningkat dan terjadilah pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.
Siapa bilang rumah akan SELALU naik harganya?
Terjadilah, para developer berlomba-lomba membangun rumah. Untuk membiayai permintaan kredit rumah, subprime mortgage diluncurkan dan dibeli oleh hampir semua bank investasi di Amerika dan Eropa. Hutang dibuat semakin besar. Persaingan penjualan rumah terjadi, sehingga orang yang tidak pantas mendapat kredit pun bisa menandatangani KPR dan memperoleh rumah yang cukup mewah, yang normalnya tidak mungkin sanggup dibayarnya. Dan semakin hari, semakin banyak orang yang tidak layak menerima kredit, bisa menandatangani akad kredit. Sementara itu, lembaga rating seperti S&P memberi peringkat tinggi kepada subprime mortgage.
Masalah dimulai dengan pertumbuhan ekonomi China dan India yang hebat, menciptakan defisit perdagangan Amerika. Ini juga merupakan dampak globalisasi, ketika banyak perusahaan Amerika merelokasi pabriknya ke China, mencari tempat produksi yang lebih murah. India juga berkembang pesat, demikian pula Rusia dan Brasil. Itu yang berkembang ekonominya. Di sisi lain, sumber dana mulai bergeser. Dahulu, para investor dan pemilik dana besar adalah orang Amerika. Sekarang, orang Amerika semakin banyak (dan boros) menghamburkan uang, sedangkan pendapatan mereka menurun. Orang-orang Timur Tengah, para raja minyak, mempunyai dana dalam jumlah yang lebih besar, suatu kumpulan dana yang disebut Sovereign Wealth Fund yang berkuasa di bursa-bursa modal dunia, yang jumlahnya mencapai triliunan dollar. Selama masa booming ekonomi di awal abad 21, dana ini membuat pasar semakin bergairah dengan saham-saham yang secara statistik jauh lebih banyak naiknya daripada turun.
Bicara saham, sebenarnya yang jadi patokan bukan harga, melainkan P/E Ratio (price/earning ratio). Di bursa Wall Street, P/E bisa mencapai 30 sampai 40, artinya harga saham 40 kali dividen yang diterima. Orang masih mau beli karena yakin kenaikan harga sahamnya lebih tinggi daripada keuntungan dividen; maka P/E pun tidak lagi diperhatikan. Transaksi saham menjadi semakin cepat, dalam praktek yang disebut short selling -- orang bisa menjual saham yang belum dipegangnya dengan keuntungan yang lumayan!
Tapi defisit perdagangan menimbulkan ancaman inflasi (ada dua penggerak inflasi: demand-pull dan cost-push) karena meningkatnya biaya-biaya yang mendorong harga naik. Lagipula, Amerika masuk dalam dua front perang: perang di Afghanistan dan di Irak yang banyak memakan biaya, sekaligus membuat defisit perdagangan Amerika semakin parah. The Fed kemudian menaikkan tingkat suku bunganya. Di saat yang sama, harga rumah tidak lagi bisa naik terlalu tinggi, karena sekarang jumlah rumah semakin banyak sedangkan permintaan rumah menurun. Rakyat Amerika pun semakin sukar membayar bunga kredit dan hipotik/gadai, dan untuk kartu kredit mereka mulai terpaksa bayar sejumlah minimum.
Krisis subprime mortgage dimulai oleh laporan, bahwa lebih dari 1 juta rumah harus disita karena pembeli tidak sanggup membayar. Tiba-tiba saja, orang sadar masalah ini sangat besar karena nilai subprime mortgage sudah sangat tinggi. Bank-bank investasi di Amerika harus mempertanggungjawabkan surat gadai yang dikeluarkan, terpaksa menanggung kerugian. Ini terjadi pada bulan September 2007. Selain itu, banyak juga hutang-hutang lain yang menjadi default, tidak dibayar. Tiba-tiba saja orang juga sadar bahwa banyak harga saham di Amerika terlalu tinggi, karena didorong oleh impian terlalu muluk. Hasilnya, pasar saham pun jatuh.
Uang Sovereign Wealth Fund yang besar itu segera berpindah dengan cepat ke pasar lain, yaitu pasar komoditas. Di dalamnya, yang paling dicari adalah komoditas pertambangan/energi dan perkebunan. Segera saja harga minyak menjadi tinggi, begitu juga harga beras, gandum, jagung, juga kedelai. Apakah kita ingat bagaimana warung tegal bermasalah dengan tempe dan tahu karena harganya naik tinggi sekali? Pasar komoditas menjadi gila-gilaan, karena ada uang besar yang masuk, berebut membeli komoditas apapun dengan harga berapa pun, padahal jumlah komoditas terbatas. Harga minyak bumi juga meningkat dengan cepat, yang pada gilirannya membuat Indonesia juga kelimpungan dengan harga minyak bumi berkaitan subsidi.
Di Amerika, lembaga-lembaga mulai berguguran. Bulan Maret 2008, Bear Sterns tidak sanggup lagi berdiri, lalu diakuisisi oleh JP Morgan dengan bantuan The Fed. Sementara itu, krisis hutang sejak 2007 membuat bank di Amrik tidak lagi mau mengeluarkan kredit dengan kriteria biasa, membuat orang makin sulit meminjam. Krisis menjadi lebih hebat dengan bank yang berguguran semakin banyak, demikian juga lembaga investasi dan asuransi di Amerika. Pemerintah Amerika akhirnya mengeluarkan UU dana talangan / bailout dengan total $ 700 milyar. Tapi, sekarang ini masalahnya adalah kepercayaan, yang tidak bisa dibeli uang. Memang bank tidak sampai hancur, tetapi krisis hutang dan ketidak-percayaan pada ekonomi membuat saham terus berguguran.
Saham di Eropa dan Asia juga mengalami hal serupa, karena dua hal. Yang pertama, banyak investor di Asia adalah orang Eropa dan Amerika. Waktu mereka mengalami kerugian di negaranya, mereka butuh likuiditas untuk menutupi kerugian. Mereka lalu mencairkan investasi, menjual saham dan obligasi di Asia dalam jumlah besar. Tentu saja pasar Asia juga jatuh. Apakah orang-orang itu menjual pada posisi rugi? Tidak juga, karena selama beberapa tahun ini pertumbuhan bursa modal di Asia mengesankan. Bagi orang asing yang sudah berinvestasi sejak tahun 2000-an, walaupun pasar di Asia sekarang jatuh (diukur dari awal tahun), mereka masih tetap menerima pengembalian yang menguntungkan, lebih besar daripada suku bunga di Amerika atau Eropa.
Yang kedua, pemain di Indonesia banyak merupakan spekulan. Sebagian adalah orang-orang yang bermain sebagai pengikut, cara kerjanya adalah melihat bagaimana posisi pasar singapore strait times dan new york wallstreet kemarin, lalu mengikuti gerakannya. Kalau di sana jual, di sini jual. Di sana beli, di sini beli. Di sana hancur, di sini panik. Sebagian lain adalah orang-orang yang memainkan pasar... mereka sekarang mencairkan saham besar-besaran, lalu menyimpan dana di deposito bank, yang bunganya tinggi. Harapannya, kalau nanti pasar mulai pulih, harga saham bisa murah sekali untuk mereka borong, sehingga bisa dapat jumlah saham jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Jual saham sekarang ramai-ramai, simpan dana di deposito 3 bulanan, bisa dapat bunga 3% (12% per tahun). Semakin hancur pasarnya sekarang, semakin baik karena harga saham semakin murah untuk dibeli lagi.
Secara garis besar, Amerika jatuh. Apakah Asia juga jatuh? Ya, pasar sahamnya. Apakah Indonesia jatuh?
Kemarin ada komentar tokoh partai yang sepertinya yakin Indonesia akan mengulangi tahun 1997-1998.
Lihatlah, nyatanya Indonesia mempunyai cadangan devisa yang jauh lebih besar. Walaupun dalam beberapa hari ini rupiah jatuh dan dollar melangit, kalau dilihat secara statistik dalam 6 bulan terakhir harga dollar relatif stabil. Dan kalau melihat dalam 3 triwulan ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3%-6,4%, posisi Indonesia lebih baik daripada Singapore yang selama 6 bulan terakhir pertumbuhan ekonominya negatif.
Indonesia istimewa karena 2 hal ini. Yang pertama, negara kita adalah penghasil komoditas, yang sekarang ini harganya baik. Mau krisis bagaimana pun, kenyataannya kita tetap bisa memproduksi kebutuhan manusia secara riil. Yang kedua, pasar saham kita diisi oleh banyak perusahaan yang monopoli dan oligopoli, sehingga praktis perusahaan-perusahaan ini tidak pernah merugi. Yang ada adalah untung sekali dan untung sedikit, seperti Telkom, Tbk. Krisis ini menjatuhkan pasar saham, tetapi ini juga membuat P/E di Indonesia menjadi di bawah 10. Kalau dilihat dari posisi IHSG sekarang, mungkin sudah di bawah 8. Krisis bisa saja berjalan, tapi earning dari perusahaan kan tidak lantas berubah.
Kalau di Indonesia sekarang terasa sulit, penyebabnya lebih karena likuiditas yang seret, karena Pemerintah juga belum membelanjakan dananya, terhimpun ratusan triliun Rupiah di BI. Begitu dana ini mencair, tentunya likuiditas di Indonesia menjadi lebih baik. Dapatkah kita menduga seperti apa ekonomi kita kelak?
Perhatikanlah, bahwa kondisi sekarang ini dipicu oleh keadaan di luar negeri, khususnya Amerika dan Eropa. Untuk Asia, di sini ada India dan China, juga Indonesia sendiri, yang posisinya masih kuat, pertumbuhannya masih tinggi, jauh berbeda dengan Amerika. Kalau dana asing keluar, tidak berarti pasarnya buruk atau ekonominya buruk. Bank di Indonesia juga tidak mempunyai masalah seperti di luar negeri, masih tetap stabil dan malah berlomba-lomba menawarkan deposito dan kredit.
"Kehancuran" pasar saham bersifat semu, karena P/E yang rendah berarti pasar ini menjadi sangat-sangat atraktif. Ini pasti akan sangat menarik untuk dana SWF yang sekarang keluar dari bursa, yang kalau nanti balik masuk bursa modal lagi pasti mencari tempat yang menguntungkan seperti Indonesia.
Pertanyaannya, kapan dana mulai masuk lagi? Tentunya saat orang tidak lagi panik. Sekarang sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk rakyat Indonesia membeli saham-saham Indonesia sendiri, mengapa membiarkan orang asing yang membeli dan memiliki perusahaan Indonesia? Krisis kali ini adalah krisis yang dipicu oleh psikologi investor. Jika sekarang kita semua tenang dan cepat-cepat membeli saham, pasti bursa modal Indonesia akan berbalik arah dengan cepat. Kita bisa berharap hasil yang menyenangkan tahun depan.
Tapi kalau kita semua terus-terusan panik tanpa alasan, panik melihat rumah tetangga terbakar, kemudian meruntuhkan rumah kita sendiri.... wah, kacau betul ya? Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mulai membeli dan bertahan dengan apa yang ada. Masa depan Indonesia ada di tangan rakyatnya sendiri.
Saat ini kondisi krisis ekonomi sudah berlangsung selama hampir 2 minggu. Tanda-tandanya sudah dimulai dari awal bulan September, tapi pada akhir September gelombang krisis mulai menerpa, dimulai dari pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers, yang sudah berdiri sejak 1889. Ini adalah gelombang berikut dari krisis akibat subprime mortgage, surat gadai rumah yang kehilangan nilainya di Amerika.
Masalahnya bukan hanya subprime mortgage; ini adalah pemicu. Masalah yang lebih dalam adalah kehidupan rakyat Amerika yang ditopang oleh hutang, sampai hutang rakyatnya mencapai 100% PDB Amerika. Mereka berhutang untuk rumah, untuk mobil, untuk bayar sekolah, dan segala kebutuhan lain dengan kartu kredit. Dimulainya kira-kira di tahun 2000, yaitu setelah pasar saham jatuh karena krisis dot.com. Waktu itu, Alan Greenspan membuat suku bunga The Fed menjadi rendah sekali, sehingga dengan mudah orang mendapatkan pinjaman dan menjalankan kembali roda ekonomi Amerika dan dunia.
Pelajaran penting bagi Indonesia, yang rakyatnya juga suka berhutang: beli rumah pake kredit, beli mobil dikredit, uang sekolah, jalan-jalan ke luar negeri, atau beli panci pun kredit! Nyata benar bahwa kebutuhan MENABUNG bukan saja berguna bagi individu, tetapi juga bagi bangsa dan negara, lihat saja Jepang. Tetapi, mari kita lihat akibatnya lebih lanjut.
Di tahun 2000-an itu kredit rumah menjadi rendah, sedangkan jumlah rumah terbatas. Akibatnya, kenaikan harga rumah menjadi tinggi, mencapai 20% per tahun jauh di atas bunga kredit yang hanya 2%-an saja. Waktu itu membeli rumah merupakan tindakan yang dianggap 'cerdas', orang yang beli di awal tahun dengan bunga bank bisa menjualnya lagi di akhir tahun dengan keuntungan besar. Orang pun berlomba-lomba membeli rumah, membuat permintaan akan rumah baru dan kredit baru menjadi semakin besar. Keyakinan orang: yang namanya RUMAH pasti akan naik harganya. Keyakinan akan mendapat untung membuat orang juga berani membeli lebih awal, dengan keyakinan bahwa nanti hutangnya bisa dibayar oleh keuntungan investasi. Bukan hanya rumah, semua penjualan lain juga meningkat dan terjadilah pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.
Siapa bilang rumah akan SELALU naik harganya?
Terjadilah, para developer berlomba-lomba membangun rumah. Untuk membiayai permintaan kredit rumah, subprime mortgage diluncurkan dan dibeli oleh hampir semua bank investasi di Amerika dan Eropa. Hutang dibuat semakin besar. Persaingan penjualan rumah terjadi, sehingga orang yang tidak pantas mendapat kredit pun bisa menandatangani KPR dan memperoleh rumah yang cukup mewah, yang normalnya tidak mungkin sanggup dibayarnya. Dan semakin hari, semakin banyak orang yang tidak layak menerima kredit, bisa menandatangani akad kredit. Sementara itu, lembaga rating seperti S&P memberi peringkat tinggi kepada subprime mortgage.
Masalah dimulai dengan pertumbuhan ekonomi China dan India yang hebat, menciptakan defisit perdagangan Amerika. Ini juga merupakan dampak globalisasi, ketika banyak perusahaan Amerika merelokasi pabriknya ke China, mencari tempat produksi yang lebih murah. India juga berkembang pesat, demikian pula Rusia dan Brasil. Itu yang berkembang ekonominya. Di sisi lain, sumber dana mulai bergeser. Dahulu, para investor dan pemilik dana besar adalah orang Amerika. Sekarang, orang Amerika semakin banyak (dan boros) menghamburkan uang, sedangkan pendapatan mereka menurun. Orang-orang Timur Tengah, para raja minyak, mempunyai dana dalam jumlah yang lebih besar, suatu kumpulan dana yang disebut Sovereign Wealth Fund yang berkuasa di bursa-bursa modal dunia, yang jumlahnya mencapai triliunan dollar. Selama masa booming ekonomi di awal abad 21, dana ini membuat pasar semakin bergairah dengan saham-saham yang secara statistik jauh lebih banyak naiknya daripada turun.
Bicara saham, sebenarnya yang jadi patokan bukan harga, melainkan P/E Ratio (price/earning ratio). Di bursa Wall Street, P/E bisa mencapai 30 sampai 40, artinya harga saham 40 kali dividen yang diterima. Orang masih mau beli karena yakin kenaikan harga sahamnya lebih tinggi daripada keuntungan dividen; maka P/E pun tidak lagi diperhatikan. Transaksi saham menjadi semakin cepat, dalam praktek yang disebut short selling -- orang bisa menjual saham yang belum dipegangnya dengan keuntungan yang lumayan!
Tapi defisit perdagangan menimbulkan ancaman inflasi (ada dua penggerak inflasi: demand-pull dan cost-push) karena meningkatnya biaya-biaya yang mendorong harga naik. Lagipula, Amerika masuk dalam dua front perang: perang di Afghanistan dan di Irak yang banyak memakan biaya, sekaligus membuat defisit perdagangan Amerika semakin parah. The Fed kemudian menaikkan tingkat suku bunganya. Di saat yang sama, harga rumah tidak lagi bisa naik terlalu tinggi, karena sekarang jumlah rumah semakin banyak sedangkan permintaan rumah menurun. Rakyat Amerika pun semakin sukar membayar bunga kredit dan hipotik/gadai, dan untuk kartu kredit mereka mulai terpaksa bayar sejumlah minimum.
Krisis subprime mortgage dimulai oleh laporan, bahwa lebih dari 1 juta rumah harus disita karena pembeli tidak sanggup membayar. Tiba-tiba saja, orang sadar masalah ini sangat besar karena nilai subprime mortgage sudah sangat tinggi. Bank-bank investasi di Amerika harus mempertanggungjawabkan surat gadai yang dikeluarkan, terpaksa menanggung kerugian. Ini terjadi pada bulan September 2007. Selain itu, banyak juga hutang-hutang lain yang menjadi default, tidak dibayar. Tiba-tiba saja orang juga sadar bahwa banyak harga saham di Amerika terlalu tinggi, karena didorong oleh impian terlalu muluk. Hasilnya, pasar saham pun jatuh.
Uang Sovereign Wealth Fund yang besar itu segera berpindah dengan cepat ke pasar lain, yaitu pasar komoditas. Di dalamnya, yang paling dicari adalah komoditas pertambangan/energi dan perkebunan. Segera saja harga minyak menjadi tinggi, begitu juga harga beras, gandum, jagung, juga kedelai. Apakah kita ingat bagaimana warung tegal bermasalah dengan tempe dan tahu karena harganya naik tinggi sekali? Pasar komoditas menjadi gila-gilaan, karena ada uang besar yang masuk, berebut membeli komoditas apapun dengan harga berapa pun, padahal jumlah komoditas terbatas. Harga minyak bumi juga meningkat dengan cepat, yang pada gilirannya membuat Indonesia juga kelimpungan dengan harga minyak bumi berkaitan subsidi.
Di Amerika, lembaga-lembaga mulai berguguran. Bulan Maret 2008, Bear Sterns tidak sanggup lagi berdiri, lalu diakuisisi oleh JP Morgan dengan bantuan The Fed. Sementara itu, krisis hutang sejak 2007 membuat bank di Amrik tidak lagi mau mengeluarkan kredit dengan kriteria biasa, membuat orang makin sulit meminjam. Krisis menjadi lebih hebat dengan bank yang berguguran semakin banyak, demikian juga lembaga investasi dan asuransi di Amerika. Pemerintah Amerika akhirnya mengeluarkan UU dana talangan / bailout dengan total $ 700 milyar. Tapi, sekarang ini masalahnya adalah kepercayaan, yang tidak bisa dibeli uang. Memang bank tidak sampai hancur, tetapi krisis hutang dan ketidak-percayaan pada ekonomi membuat saham terus berguguran.
Saham di Eropa dan Asia juga mengalami hal serupa, karena dua hal. Yang pertama, banyak investor di Asia adalah orang Eropa dan Amerika. Waktu mereka mengalami kerugian di negaranya, mereka butuh likuiditas untuk menutupi kerugian. Mereka lalu mencairkan investasi, menjual saham dan obligasi di Asia dalam jumlah besar. Tentu saja pasar Asia juga jatuh. Apakah orang-orang itu menjual pada posisi rugi? Tidak juga, karena selama beberapa tahun ini pertumbuhan bursa modal di Asia mengesankan. Bagi orang asing yang sudah berinvestasi sejak tahun 2000-an, walaupun pasar di Asia sekarang jatuh (diukur dari awal tahun), mereka masih tetap menerima pengembalian yang menguntungkan, lebih besar daripada suku bunga di Amerika atau Eropa.
Yang kedua, pemain di Indonesia banyak merupakan spekulan. Sebagian adalah orang-orang yang bermain sebagai pengikut, cara kerjanya adalah melihat bagaimana posisi pasar singapore strait times dan new york wallstreet kemarin, lalu mengikuti gerakannya. Kalau di sana jual, di sini jual. Di sana beli, di sini beli. Di sana hancur, di sini panik. Sebagian lain adalah orang-orang yang memainkan pasar... mereka sekarang mencairkan saham besar-besaran, lalu menyimpan dana di deposito bank, yang bunganya tinggi. Harapannya, kalau nanti pasar mulai pulih, harga saham bisa murah sekali untuk mereka borong, sehingga bisa dapat jumlah saham jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Jual saham sekarang ramai-ramai, simpan dana di deposito 3 bulanan, bisa dapat bunga 3% (12% per tahun). Semakin hancur pasarnya sekarang, semakin baik karena harga saham semakin murah untuk dibeli lagi.
Secara garis besar, Amerika jatuh. Apakah Asia juga jatuh? Ya, pasar sahamnya. Apakah Indonesia jatuh?
Kemarin ada komentar tokoh partai yang sepertinya yakin Indonesia akan mengulangi tahun 1997-1998.
Lihatlah, nyatanya Indonesia mempunyai cadangan devisa yang jauh lebih besar. Walaupun dalam beberapa hari ini rupiah jatuh dan dollar melangit, kalau dilihat secara statistik dalam 6 bulan terakhir harga dollar relatif stabil. Dan kalau melihat dalam 3 triwulan ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3%-6,4%, posisi Indonesia lebih baik daripada Singapore yang selama 6 bulan terakhir pertumbuhan ekonominya negatif.
Indonesia istimewa karena 2 hal ini. Yang pertama, negara kita adalah penghasil komoditas, yang sekarang ini harganya baik. Mau krisis bagaimana pun, kenyataannya kita tetap bisa memproduksi kebutuhan manusia secara riil. Yang kedua, pasar saham kita diisi oleh banyak perusahaan yang monopoli dan oligopoli, sehingga praktis perusahaan-perusahaan ini tidak pernah merugi. Yang ada adalah untung sekali dan untung sedikit, seperti Telkom, Tbk. Krisis ini menjatuhkan pasar saham, tetapi ini juga membuat P/E di Indonesia menjadi di bawah 10. Kalau dilihat dari posisi IHSG sekarang, mungkin sudah di bawah 8. Krisis bisa saja berjalan, tapi earning dari perusahaan kan tidak lantas berubah.
Kalau di Indonesia sekarang terasa sulit, penyebabnya lebih karena likuiditas yang seret, karena Pemerintah juga belum membelanjakan dananya, terhimpun ratusan triliun Rupiah di BI. Begitu dana ini mencair, tentunya likuiditas di Indonesia menjadi lebih baik. Dapatkah kita menduga seperti apa ekonomi kita kelak?
Perhatikanlah, bahwa kondisi sekarang ini dipicu oleh keadaan di luar negeri, khususnya Amerika dan Eropa. Untuk Asia, di sini ada India dan China, juga Indonesia sendiri, yang posisinya masih kuat, pertumbuhannya masih tinggi, jauh berbeda dengan Amerika. Kalau dana asing keluar, tidak berarti pasarnya buruk atau ekonominya buruk. Bank di Indonesia juga tidak mempunyai masalah seperti di luar negeri, masih tetap stabil dan malah berlomba-lomba menawarkan deposito dan kredit.
"Kehancuran" pasar saham bersifat semu, karena P/E yang rendah berarti pasar ini menjadi sangat-sangat atraktif. Ini pasti akan sangat menarik untuk dana SWF yang sekarang keluar dari bursa, yang kalau nanti balik masuk bursa modal lagi pasti mencari tempat yang menguntungkan seperti Indonesia.
Pertanyaannya, kapan dana mulai masuk lagi? Tentunya saat orang tidak lagi panik. Sekarang sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk rakyat Indonesia membeli saham-saham Indonesia sendiri, mengapa membiarkan orang asing yang membeli dan memiliki perusahaan Indonesia? Krisis kali ini adalah krisis yang dipicu oleh psikologi investor. Jika sekarang kita semua tenang dan cepat-cepat membeli saham, pasti bursa modal Indonesia akan berbalik arah dengan cepat. Kita bisa berharap hasil yang menyenangkan tahun depan.
Tapi kalau kita semua terus-terusan panik tanpa alasan, panik melihat rumah tetangga terbakar, kemudian meruntuhkan rumah kita sendiri.... wah, kacau betul ya? Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mulai membeli dan bertahan dengan apa yang ada. Masa depan Indonesia ada di tangan rakyatnya sendiri.
09 September 2008
IHSG TURUNNNNNNNN....
BREAKING NEWS
Hari ini, posisi jam 3:10pm, IHSG turun sampe posisi 1956.514. Ini lebih rendah dari posisi jumat lalu yg 1999. Jangan heran kalo NAB Equity Fund / Schroder Dana Prestasi Plus bisa turun ke bawah 10.000. Penyebabnya adalah penguatan kurs dollar US, seluruh bursa di Asia kena. Tapi kelihatannya kita yang paling parah, sampai 4% (81.484).
Kalau belum sempat top up, sekarang ini waktu yang tepat, karena efek dari penurunan ini baru akan muncul sebagai nilai aktiva bersih per unit waktu besok atau lusa. Oh ya, tekanan ini juga muncul dari harga minyak bumi yang turun ke bawah $ 106 per barrel. Bursa kita juga ekstra sepi karena puasa, investor masih sedang mengatur persiapan THR Lebaran.
Yang masih ada dana menganggur, ayo cepat-cepat ke ATM dan lakukan top up...
Hari ini, posisi jam 3:10pm, IHSG turun sampe posisi 1956.514. Ini lebih rendah dari posisi jumat lalu yg 1999. Jangan heran kalo NAB Equity Fund / Schroder Dana Prestasi Plus bisa turun ke bawah 10.000. Penyebabnya adalah penguatan kurs dollar US, seluruh bursa di Asia kena. Tapi kelihatannya kita yang paling parah, sampai 4% (81.484).
Kalau belum sempat top up, sekarang ini waktu yang tepat, karena efek dari penurunan ini baru akan muncul sebagai nilai aktiva bersih per unit waktu besok atau lusa. Oh ya, tekanan ini juga muncul dari harga minyak bumi yang turun ke bawah $ 106 per barrel. Bursa kita juga ekstra sepi karena puasa, investor masih sedang mengatur persiapan THR Lebaran.
Yang masih ada dana menganggur, ayo cepat-cepat ke ATM dan lakukan top up...
23 April 2008
Hari Bumi
Kej 2:3 Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu.
Beberapa hari terakhir, setiap pagi kota Bandung diguyur oleh hujan rintik-rintik. Di siang harinya, ada hujan besar, biasanya mengikuti panas terik yang bukan main. Dan dalam beberapa waktu lalu, malah ada banjir yang terjadi di beberapa daerah. Memang, daerah-daerah itu sudah terbiasa kebanjiran, karena terletak di tempat yang agak rendah dan dengan sistem aliran air yang buruk. Biasa banjir.
Tapi kali ini menjadi tidak biasa, karena terjadi di bulan April. Tidak pernah terjadi di bulan April, kata seorang tua yang sudah berpuluh tahun tinggal di sana.
Barangkali kita tidak terlalu memikirkannya, sampai melihat bagaimana daerah lain. Dan kalau kita beruntung, mungkin kita bisa melihat dalam jangka waktu yang lebih panjang, bukan hanya satu atau dua tahun terakhir, melainkan dalam rentang waktu yang luas. Dalam waktu 30 tahun terakhir, jumlah badai skala 4 dan 5 telah naik dua kali lipat. Nyamuk malaria kini ditemukan di pegunungan Andes, di Kolombia, pada ketinggian 7000 kaki di atas permukaan laut. Es di Greenland sudah meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Dan cuaca, seperti yang kita alami, nampaknya sudah tidak lagi mengikuti apa yang dahulu kita pelajari di Sekolah Dasar.
Itu adalah, tidak diragukan lagi, pemanasan global.
Orang mungkin berkata, "itu bukan urusan saya" terhadap pemanasan global. Beberapa merasa itu adalah urusannya pemerintah, dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang terlibat. Beberapa lagi di Indonesia mengatakan bahwa semua itu hanya akal-akalan untuk "jual beli karbon" belaka. Salah besar.
Sebagai seorang yang sekarang bekerja di bidang keuangan, asuransi dan investasi, saya harus memperhatikan lebih banyak lagi tentang situasi ekonomi, terutama yang berkaitan dengan apa yang mempengaruhi kehidupan keluarga. Kita semua menghadapi inflasi yang besar, yang mengancam struktur ekonomi di seluruh dunia. Utamanya, terjadi kenaikan harga-harga komoditas, termasuk bahan-bahan pokok seperti beras, gandum dan jagung. Kemarin ini Bulog menaikkan harga pembelian kepada petani, naik 10%. Ini harus dilakukan, karena sekarang pedagang besar beras banyak yang berburu beras langsung ke sentra-sentra produksi, untuk dikirim keluar pulau Jawa. Tidak sukar untuk ditebak, beras-beras kita akan diekspor karena mendatangkan untung besar, sementara Pemerintah nampaknya belum berhasil (atau berniat?) menghentikan penyelundupan.
Tapi, kenapa harga beras dunia begitu tinggi? Orang lain lagi bilang, itu akibat banyak uang masuk ke pasar komoditas, sebagai pelarian dari pasar modal yang memang sedang kacau balau. Sebagian memang benar, tapi kita juga harus melihat bahwa dalam 12 bulan terakhir, banyak berita kegagalan panen yang terjadi di seluruh dunia. Yang tadinya mengekspor, kini harus mengimpor karena bencana alam menghancurkan cadangan-cadangan pangan dan biji-bijian mereka. Di Indonesia sendiri, berita kegagalan panen kerap terdengar, ditambah lagi dengan berita tentang penyusutan lahan pertanian. Herannya kita masih tenang-tenang saja dan percaya bahwa Indonesia pasti siap untuk swasembada pangan.
Kondisi sebenarnya bisa dilihat dengan lebih mudah: perhatikan seperti apa reaksi Departemen Pertanian ketika mengetahui ada ijin ekspor beras dikeluarkan, walau itu hanya (katanya) Bulog saja. Departemen Pertanian lebih tahu seperti apa kondisi di lapangan, mengetahui bahwa estimasi-estimasi atas produksi pangan dibuat atas hitungan tertentu. Hitungan yang bisa jadi meleset, karena sekarang ini manusia menghadapi kondisi yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sekali lagi, pemanasan global.
Jadi, segala sesuatu berhubungan dengan erat, dan masalahnya ada pada bumi di mana manusia hidup. Pernahkah merenungkannya, memikirkannya dengan sungguh-sungguh?
Maksud saya, selama ini kita memperhatikan, prihatin, turut bersimpati, dan sungguh mengasihi manusia-manusia yang hidup di atas muka bumi. Kita menginginkan yang baik bagi mereka, dan untuk itu kepentingan bumi, tempat manusia berpijak, bukanlah sesuatu yang benar-benar jadi perhatian. Kalau kita kemudian mengusahakan bumi yang lebih baik, itu pun untuk kepentingan-kepentingan manusia.
Pertanyaannya, bagaimana jika suatu saat kita harus memilih, karena ada dua kepentingan yang berbenturan? Kepentingan bumi dan kepentingan manusia tidak lagi sejalan. Demi manusia, demi ekonomi dan kesejahteraan, bumi harus mengalah. Atau, demi bumi yang terjaga, justru manusia yang harus mengalah -- sampai titik di mana manusia mengalami kerugian? Tapi, siapa yang mau rugi! Perusahaan mengatakan, ada sekian banyak karyawan yang hidupnya bergantung dari pabrik. Pemerintah mengatakan, ada sekian besar potensi pajak yang bergantung dari omzet yang dihasilkan -- dan sekian banyak kerusakan yang terjadi. Toh ada amdal...sayangnya, tidak pernah dikatakan bagaimana pertanggung-jawaban pembuat kelayakan amdal, ketika ditemukan bahwa perusahaan itu sama sekali tidak memelihara lingkungan.
Repotnya, manusia masih memiliki ingatan yang pendek, meskipun sekarang ada internet dan kapasitas penyimpan informasi berjumlah terabytes dan lebih lagi. Kita lupa. Walaupun datanya ada di sana, grafiknya bisa kita lihat, kita tidak ingat. Yang kita utamakan adalah segala yang mendesak sekarang, tahun ini juga, bulan ini juga, hari ini juga. Jam ini juga, detik ini juga. Secara kolektif, manusia kehilangan kepekaan akan bahaya yang datang merayap perlahan-lahan.
Bagi yang suka masak, pasti tahu tentang katak di panci. Jika katak hidup dimasukkan ke air mendidih, ia langsung meloncat. Tapi kalau dimasukkan ke air dingin, dan perlahan-lahan dipanaskan, ia diam. Katak itu diam, sementara air menjadi semakin panas, semakin panas...dan ketika akhirnya sang katak tidak tahan lagi, ia sudah kehilangan tenaga untuk meloncat. Apakah umat manusia seperti itu?
Ketika pemanasan global sudah terlalu berat untuk ditanggung, manusia sudah kehabisan tenaga dan tidak bisa lagi apa-apa. Itu akan terjadi, kalau kita diam saja. Seperti katak. Tetapi syukurlah, kita bukan katak dan kita tidak diam saja selagi semuanya masih sanggup kita kerjakan. Kita masih bisa melakukan sesuatu, yang tidak terlalu drastis atau ekstrim, untuk mengatasi masalah ini. Dan kita punya kesanggupannya sekarang, kalau kita bersedia mengurangi kepentingan manusia dan mulai memperhatikan kepentingan dunia yang setiap hari kita injak.
Satu hal yang harus kita sadari: bahwa TUHAN pun ketika selesai menciptakan, Ia memberkati ciptaan-Nya, dunia ini. Jika TUHAN memberkatinya, bolehkah kita bersikap sembrono dan membiarkannya rusak? Jika masalah pemanasan global hanya berkaitan dengan pemerintah, itu hanya masalah politik. Barangkali, kita tidak perlu terlalu memusingkan hal itu. Namun sekarang kita tahu, demikian Firman Tuhan, bahwa Ia memberkati hari ketujuh dan menguduskannya. Hari ketujuh adalah puncak dari segala waktu penciptaan, mewakili keenam hari lainnya beserta segala yang diciptakan-Nya. Ini adalah hari yang dikuduskan, hari yang dipisahkan bagi TUHAN, karena Dia sudah memberi waktu-Nya selama 6 hari bagi bumi beserta isinya.
Bumi itulah yang menjadi tanggung jawab kita, sebagai satu-satunya mahluk yang berelasi khusus dengan TUHAN. Bumi yang diberikan TUHAN untuk dikelola manusia, dikuasai semuanya -- langit, darat, dan lautan. Dosa telah membuatnya terkutuk. Dosa telah membuat bumi mengeluarkan semak belukar, dan untuk sementara waktu menyusahkan hidup manusia. Tapi sekarang, manusia tidak lagi disusahkan oleh alam. Sekarang, alam yang dirusak oleh manusia, masih oleh karena dosanya.
Ketika anak-anak Tuhan telah mengalahkan kuasa dosa, seharusnya kita juga menang terhadap kuasa yang merusak bumi. Jangan lupa. Jangan tidak perduli. Ini bukan masalah politik, bukan sekedar urusan pemerintah, apalagi jika mereka bukan orang yang takut akan TUHAN! Ini adalah urusan kita, bagian kita. Hak kita, untuk memelihara bumi, untuk mengusahakannya. Kita bisa ambil bagian untuk menyelamatkan bumi, sesuai dengan kesanggupan yang Tuhan sudah berikan. Mungkin kita punya kapasitas besar untuk merumuskan kebijakan, untuk membuat keputusan di tingkat pemerintahan, atau tingkat korporasi. Tetapi, mungkin juga kita berada dalam lingkup yang lebih kecil, dengan cara yang lebih sederhana.
Seperti, mengganti bola lampu pijar yang menghamburkan daya dengan lampu hemat listrik yang sama terangnya. Atau mungkin kita bisa mengajak teman-teman kantor untuk berangkat bersama-sama dalam satu mobil, jika kita tinggal dalam satu kompleks perumahan yang sama. Kita bisa mematikan lampu yang tidak terpakai, televisi yang tidak ditonton, atau AC di ruangan yang kosong. Setiap orang bisa ambil bagian dengan caranya sendiri, bukan hanya sekedar ikut-ikutan, tetapi sebagai pewaris karunia Tuhan.
Selamat hari bumi, mari kita memenuhi tanggung jawab kita, supaya kita boleh mengangkat wajah di hadapan TUHAN yang telah menciptakannya. Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
Beberapa hari terakhir, setiap pagi kota Bandung diguyur oleh hujan rintik-rintik. Di siang harinya, ada hujan besar, biasanya mengikuti panas terik yang bukan main. Dan dalam beberapa waktu lalu, malah ada banjir yang terjadi di beberapa daerah. Memang, daerah-daerah itu sudah terbiasa kebanjiran, karena terletak di tempat yang agak rendah dan dengan sistem aliran air yang buruk. Biasa banjir.
Tapi kali ini menjadi tidak biasa, karena terjadi di bulan April. Tidak pernah terjadi di bulan April, kata seorang tua yang sudah berpuluh tahun tinggal di sana.
Barangkali kita tidak terlalu memikirkannya, sampai melihat bagaimana daerah lain. Dan kalau kita beruntung, mungkin kita bisa melihat dalam jangka waktu yang lebih panjang, bukan hanya satu atau dua tahun terakhir, melainkan dalam rentang waktu yang luas. Dalam waktu 30 tahun terakhir, jumlah badai skala 4 dan 5 telah naik dua kali lipat. Nyamuk malaria kini ditemukan di pegunungan Andes, di Kolombia, pada ketinggian 7000 kaki di atas permukaan laut. Es di Greenland sudah meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Dan cuaca, seperti yang kita alami, nampaknya sudah tidak lagi mengikuti apa yang dahulu kita pelajari di Sekolah Dasar.
Itu adalah, tidak diragukan lagi, pemanasan global.
Orang mungkin berkata, "itu bukan urusan saya" terhadap pemanasan global. Beberapa merasa itu adalah urusannya pemerintah, dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang terlibat. Beberapa lagi di Indonesia mengatakan bahwa semua itu hanya akal-akalan untuk "jual beli karbon" belaka. Salah besar.
Sebagai seorang yang sekarang bekerja di bidang keuangan, asuransi dan investasi, saya harus memperhatikan lebih banyak lagi tentang situasi ekonomi, terutama yang berkaitan dengan apa yang mempengaruhi kehidupan keluarga. Kita semua menghadapi inflasi yang besar, yang mengancam struktur ekonomi di seluruh dunia. Utamanya, terjadi kenaikan harga-harga komoditas, termasuk bahan-bahan pokok seperti beras, gandum dan jagung. Kemarin ini Bulog menaikkan harga pembelian kepada petani, naik 10%. Ini harus dilakukan, karena sekarang pedagang besar beras banyak yang berburu beras langsung ke sentra-sentra produksi, untuk dikirim keluar pulau Jawa. Tidak sukar untuk ditebak, beras-beras kita akan diekspor karena mendatangkan untung besar, sementara Pemerintah nampaknya belum berhasil (atau berniat?) menghentikan penyelundupan.
Tapi, kenapa harga beras dunia begitu tinggi? Orang lain lagi bilang, itu akibat banyak uang masuk ke pasar komoditas, sebagai pelarian dari pasar modal yang memang sedang kacau balau. Sebagian memang benar, tapi kita juga harus melihat bahwa dalam 12 bulan terakhir, banyak berita kegagalan panen yang terjadi di seluruh dunia. Yang tadinya mengekspor, kini harus mengimpor karena bencana alam menghancurkan cadangan-cadangan pangan dan biji-bijian mereka. Di Indonesia sendiri, berita kegagalan panen kerap terdengar, ditambah lagi dengan berita tentang penyusutan lahan pertanian. Herannya kita masih tenang-tenang saja dan percaya bahwa Indonesia pasti siap untuk swasembada pangan.
Kondisi sebenarnya bisa dilihat dengan lebih mudah: perhatikan seperti apa reaksi Departemen Pertanian ketika mengetahui ada ijin ekspor beras dikeluarkan, walau itu hanya (katanya) Bulog saja. Departemen Pertanian lebih tahu seperti apa kondisi di lapangan, mengetahui bahwa estimasi-estimasi atas produksi pangan dibuat atas hitungan tertentu. Hitungan yang bisa jadi meleset, karena sekarang ini manusia menghadapi kondisi yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sekali lagi, pemanasan global.
Jadi, segala sesuatu berhubungan dengan erat, dan masalahnya ada pada bumi di mana manusia hidup. Pernahkah merenungkannya, memikirkannya dengan sungguh-sungguh?
Maksud saya, selama ini kita memperhatikan, prihatin, turut bersimpati, dan sungguh mengasihi manusia-manusia yang hidup di atas muka bumi. Kita menginginkan yang baik bagi mereka, dan untuk itu kepentingan bumi, tempat manusia berpijak, bukanlah sesuatu yang benar-benar jadi perhatian. Kalau kita kemudian mengusahakan bumi yang lebih baik, itu pun untuk kepentingan-kepentingan manusia.
Pertanyaannya, bagaimana jika suatu saat kita harus memilih, karena ada dua kepentingan yang berbenturan? Kepentingan bumi dan kepentingan manusia tidak lagi sejalan. Demi manusia, demi ekonomi dan kesejahteraan, bumi harus mengalah. Atau, demi bumi yang terjaga, justru manusia yang harus mengalah -- sampai titik di mana manusia mengalami kerugian? Tapi, siapa yang mau rugi! Perusahaan mengatakan, ada sekian banyak karyawan yang hidupnya bergantung dari pabrik. Pemerintah mengatakan, ada sekian besar potensi pajak yang bergantung dari omzet yang dihasilkan -- dan sekian banyak kerusakan yang terjadi. Toh ada amdal...sayangnya, tidak pernah dikatakan bagaimana pertanggung-jawaban pembuat kelayakan amdal, ketika ditemukan bahwa perusahaan itu sama sekali tidak memelihara lingkungan.
Repotnya, manusia masih memiliki ingatan yang pendek, meskipun sekarang ada internet dan kapasitas penyimpan informasi berjumlah terabytes dan lebih lagi. Kita lupa. Walaupun datanya ada di sana, grafiknya bisa kita lihat, kita tidak ingat. Yang kita utamakan adalah segala yang mendesak sekarang, tahun ini juga, bulan ini juga, hari ini juga. Jam ini juga, detik ini juga. Secara kolektif, manusia kehilangan kepekaan akan bahaya yang datang merayap perlahan-lahan.
Bagi yang suka masak, pasti tahu tentang katak di panci. Jika katak hidup dimasukkan ke air mendidih, ia langsung meloncat. Tapi kalau dimasukkan ke air dingin, dan perlahan-lahan dipanaskan, ia diam. Katak itu diam, sementara air menjadi semakin panas, semakin panas...dan ketika akhirnya sang katak tidak tahan lagi, ia sudah kehilangan tenaga untuk meloncat. Apakah umat manusia seperti itu?
Ketika pemanasan global sudah terlalu berat untuk ditanggung, manusia sudah kehabisan tenaga dan tidak bisa lagi apa-apa. Itu akan terjadi, kalau kita diam saja. Seperti katak. Tetapi syukurlah, kita bukan katak dan kita tidak diam saja selagi semuanya masih sanggup kita kerjakan. Kita masih bisa melakukan sesuatu, yang tidak terlalu drastis atau ekstrim, untuk mengatasi masalah ini. Dan kita punya kesanggupannya sekarang, kalau kita bersedia mengurangi kepentingan manusia dan mulai memperhatikan kepentingan dunia yang setiap hari kita injak.
Satu hal yang harus kita sadari: bahwa TUHAN pun ketika selesai menciptakan, Ia memberkati ciptaan-Nya, dunia ini. Jika TUHAN memberkatinya, bolehkah kita bersikap sembrono dan membiarkannya rusak? Jika masalah pemanasan global hanya berkaitan dengan pemerintah, itu hanya masalah politik. Barangkali, kita tidak perlu terlalu memusingkan hal itu. Namun sekarang kita tahu, demikian Firman Tuhan, bahwa Ia memberkati hari ketujuh dan menguduskannya. Hari ketujuh adalah puncak dari segala waktu penciptaan, mewakili keenam hari lainnya beserta segala yang diciptakan-Nya. Ini adalah hari yang dikuduskan, hari yang dipisahkan bagi TUHAN, karena Dia sudah memberi waktu-Nya selama 6 hari bagi bumi beserta isinya.
Bumi itulah yang menjadi tanggung jawab kita, sebagai satu-satunya mahluk yang berelasi khusus dengan TUHAN. Bumi yang diberikan TUHAN untuk dikelola manusia, dikuasai semuanya -- langit, darat, dan lautan. Dosa telah membuatnya terkutuk. Dosa telah membuat bumi mengeluarkan semak belukar, dan untuk sementara waktu menyusahkan hidup manusia. Tapi sekarang, manusia tidak lagi disusahkan oleh alam. Sekarang, alam yang dirusak oleh manusia, masih oleh karena dosanya.
Ketika anak-anak Tuhan telah mengalahkan kuasa dosa, seharusnya kita juga menang terhadap kuasa yang merusak bumi. Jangan lupa. Jangan tidak perduli. Ini bukan masalah politik, bukan sekedar urusan pemerintah, apalagi jika mereka bukan orang yang takut akan TUHAN! Ini adalah urusan kita, bagian kita. Hak kita, untuk memelihara bumi, untuk mengusahakannya. Kita bisa ambil bagian untuk menyelamatkan bumi, sesuai dengan kesanggupan yang Tuhan sudah berikan. Mungkin kita punya kapasitas besar untuk merumuskan kebijakan, untuk membuat keputusan di tingkat pemerintahan, atau tingkat korporasi. Tetapi, mungkin juga kita berada dalam lingkup yang lebih kecil, dengan cara yang lebih sederhana.
Seperti, mengganti bola lampu pijar yang menghamburkan daya dengan lampu hemat listrik yang sama terangnya. Atau mungkin kita bisa mengajak teman-teman kantor untuk berangkat bersama-sama dalam satu mobil, jika kita tinggal dalam satu kompleks perumahan yang sama. Kita bisa mematikan lampu yang tidak terpakai, televisi yang tidak ditonton, atau AC di ruangan yang kosong. Setiap orang bisa ambil bagian dengan caranya sendiri, bukan hanya sekedar ikut-ikutan, tetapi sebagai pewaris karunia Tuhan.
Selamat hari bumi, mari kita memenuhi tanggung jawab kita, supaya kita boleh mengangkat wajah di hadapan TUHAN yang telah menciptakannya. Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
Langganan:
Postingan (Atom)