Cari Blog Ini

29 Juni 2004

RENDAH HATI

Bacaan: 1 Korintus 4:6-21

"Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?" - 1 Kor 4:7

Betapa mudahnya menjadi tinggi hati.

Ketika pengetahuan bertambah, punya pengertian lebih tinggi dari orang kebanyakan, hati pun turut menjadi tinggi. Ketika kekuatan bertambah, punya tenaga lebih besar dari orang kebanyakan, hati pun turut menjadi tinggi. Ketika pengalaman diperoleh, punya kisah hidup yang tidak pernah dialami oleh orang lain, sekali lagi hati pun turut menjadi tinggi. Betapa mudah dan menyenangkan untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain, terutama bila memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Seluruh kesederhanaan dan kerendahan hati dilupakan dan hati pun menjadi tinggi tatkala perbandingan yang dibuat dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa diri kita lebih daripada orang lain: lebih bernilai, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya. Terlebih lagi, bila kelebihan itu dibayar oleh tiap butir keringat dan tetesan air mata yang kita keluarkan. Siapa yang dapat bertahan untuk tidak menjadi sombong?

Di Gereja, kita melihat bahwa para jemaat - kita - tidak lepas dari jerat kesombongan ini. Dari keberhasilan kecil ke keberhasilan besar, seorang aktivis yang tadinya rendah hati, sederhana, penuh semangat, selalu mau diajar, dan menghormati orang lain kini menjadi orang yang sombong, yang omongannya rumit tidak karuan, yang pesimis akan kemampuan orang, tidak boleh dikritik, dan menuntut penghormatan dari orang lain. Seorang pendeta muda yang semula penuh perhatian dan jiwa yang bertekad untuk melayani jemaat, kini menjadi orang yang memikirkan diri sendiri beserta segenap reputasi dan jabatan yang disandangnya tanpa mempedulikan orang lain, apalagi melayani. Seorang organisatoris yang semula amat memperhatikan pribadi demi pribadi, kini menjadi seorang yang tidak ragu untuk mengorbankan dua atau tiga orang demi "kepentingan bersama".

Satu hal yang seragam terjadi pada orang-orang baik yang menjadi tinggi hati ini: pandangan mereka terhadap apa yang mereka telah perbuat telah berubah, dari semula menerima keberhasilan sebagai anugerah, menjadi keberhasilan sebagai prestasi. Dari tadinya melihat segala sesuatu adalah kasih karunia, jadi melihat bagaimana rencana yang baik dan teliti telah berhasil dilaksanakan melalui komitmen diri, kedisiplinan, kecerdasan, dan keuletan dalam mengatasi masalah. Dari ketergantungan pada kekuatan Allah, berubah ke ketergantungan pada kekuatan organisasi. Perlahan-lahan, orang-orang yang berhasil ini mengembangkan sendiri standar-standar mereka. Kalau perlu, standar itu dibuat melampaui apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Mereka mulai memilih-milih apa yang penting dan apa yang kurang penting pada Alkitab, mengutamakan yang satu dari yang lain, dan menjadi sombong tatkala berhasil berprestasi dalam area yang mereka anggap penting.

Bukankah kita dapat melihat, seperti apa kebanggaan beberapa hamba Tuhan yang memperoleh karunia untuk menyembuhkan orang sakit? Atau kebanggaan seorang yang menguasai ilmu teologia walaupun ia adalah seorang awam yang tidak mendapat pendidikan formal teologia? Atau kebanggaan seorang yang telah berjasa pada Gereja, sehingga aktivitas dapat berjalan dan pembangunan gedung gereja dapat dilanjutkan? Orang-orang ini berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal-hal terpenting, dan bila bisa melakukannya dengan baik maka mereka telah berhasil menjadi seorang Kristen. Mereka menyempitkan area keberhasilan seorang Kristen, bahkan sebenarnya agak mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam kekristenan. Terkadang, pada akhirnya orang yang sombong mengabaikan hal yang terpenting dalam kekristenan: mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan dengan segenap akal budinya.

Padahal, tak ada satupun anugerah yang berasal dari prestasi seorang atau sekelompok manusia. Anugerah adalah pemberian, diberikan oleh Allah menurut kerelaan dan kemurahan hati-Nya. Diberikan sebagai kasih karunia, perwujudan kasih Allah bagi manusia yang tidak layak untuk dikasihi. Tapi orang-orang, termasuk hamba-hamba Tuhan, para pendeta, yang menerima kasih ini menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Anugerah yang diterima menjadi kebanggaan diri, dan karya Allah diklaim sebagai hasil keringat sendiri. Atas prestasi itu, mereka menuntut imbalan dan pengakuan dari Allah dan manusia. Antara lain katanya, "Saya adalah seorang ahli yang sudah lama mendalami ilmu penginjilan dan pelayanan. Kalau mau mengundang saya ke sana harus booking 6 bulan di muka dan mohon disediakan tiket penerbangan untuk seluruh keluarga saya dan tolong juga disediakan akomodasi di hotel bintang lima. Biaya ceramah yang saya berikan bisa didiskusikan dengan manajer saya sesuai dengan tarif standar."

Paulus memiliki caranya sendiri untuk menutup mulut orang-orang yang tinggi hati ini.
Lihatlah aku, kata Paulus, bukankah aku ini rasul? Orang yang memiliki jabatan yang tinggi di antara jemaat pengikut Kristus? Dan bila jemaat adalah raja-raja yang harus dilayani, maka terlebih lagi seorang rasul yang lebih tinggi posisinya daripada jemaat? Tetapi menurut pendapatku Allah memberikan kepada kami, para rasul, tempat yang paling rendah, sam aseperti orang-orang yang telah dijatuhi hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. Para rasul adalah orang-orang yang hina, bagaikan sampah dunia, yang posisinya jauh ada di bawah jemaat yang mereka layani yang menginginkan hidup seperti raja.

Bila rasulnya serendah itu, bagaimana mungkin jemaat dapat mengambil posisi yang lebih tinggi? Para rasul, yang telah membuktikan diri sebagai utusan-utusan Tuhan sendiri, telah menjumpai dan berbicara dengan Allah sendiri sehingga layak untuk ditinggikan di antara manusia, ternyata sedemikian rendahnya. Mereka kelaparan, kehausan, telanjang, dipukul, hidup mengembara dalam kemiskinan. Secara kontras kita melihat beberapa pendeta jaman sekarang -- yang sebagian mengklaim dirinya juga sebagai rasul -- memposisikan diri sebagai orang yang berkelimpahan dalam harta kekayaan, tidak boleh sakit, tidak boleh menderita atau kekurangan karena segala sesuatunya harus dicukupkan oleh Tuhan. Betapa sombongnya, sampai Tuhan pun harus menuruti kehendaknya!

Paulus juga menunjukkan bahwa dirinya adalah Bapa Gereja. Orang yang membawakan Injil Yesus Kristus ke dalam jemaat, sehingga mereka bisa memiliki pengertian tentang Tuhan dan karya-Nya. Sudah sepatutnya jemaat sebagai anak mengikuti petunjuk dan teladan bapanya untuk hidup menurut jalan Kristus. Bukannya meninggikan diri, sebaliknya melepaskan segala sesuatu, mengosongkan diri, sama seperti Kristus telah mengosongkan diri-Nya dan hidup dalam ketaatan kepada Bapa di Sorga agar kekosongan itu diisi oleh kasih karunia Allah. Kekuatannya milik Allah. Kemuliaannya milik Allah.
Bagi orang-orang yang tetap tinggi hati, Paulus ingin menantang mereka, melihat seperti apa kuasa yang sesungguhnya mereka miliki. Bila orang-orang sombong ini membual-bual dengan apa yang mereka miliki dan kuasai, Paulus ingin melihat apakah semua itu hanyalah kata-kata biasa atau sungguh-sungguh memiliki kuasa. Tantangan ini juga berlaku bagi kita, bila kita menjadi sombong. Ketika kita berhasil melakukan ini dan itu, dan mengklaim dengan kata-kata kita bahwa segalanya adalah hasil kerja kita. Siapakah yang memiliki dan memberikan kuasa, sehingga segala sesuatu bisa berjalan dengan lancar? Bila kuasa itu dicabut, dapatkah kita tetap sombong dan menepuk dada atas apa yang kita perbuat?

Marilah kita menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang rendah hati!

Tidak ada komentar: