Cari Blog Ini

29 Juni 2004

DI BENTARAN SUNGAI

Bentaran sungai itu landai. Airnya bening mengalir perlahan, di antara batu-batu kali hitam yang terbenam dalam-dalam. Di belakangnya petak-petak sawah hijau berundak-undak nampak berombak ditiup angin. Burung pipit bermain-main diudara, sesekali hinggap di pematang sawah untuk mematuk ulat kecil, lalu membawanya pergi ke sarang di atas pohon di mana anak-anaknya mencicit menunggu makanan. Di sisi lain, burung tekukur dalam sangkar yang tergantung tinggi berkicau nyaring. Suaranya terpantul dari bukit di hulu sungai. Semuanya nampak indah dan permai. Tapi hati Hikmat tidak damai.

Hikmat mengumpat. Dia jarang mengumpat, tapi sekali ini hatinya kesal, dan udara pagi itu terasa lembab -- menyesakkan nafas. Dalam hati ia ingin berteriak keras-keras, tapi malu didengar penumpang lain. Waktu itu memang kereta api yang ditumpangi Hikmat mengalami kecelakaan, baut relnya longgar sehingga salah satu gerbong selip dan keluar jalur. Untung tidak sampai terbalik, namun biar bagaimana pun menyebabkan perjalanan terhenti berjam-jam. Akibatnya rapat menjadi terlambat -- Hikmat membawa berkas-berkas utama rencana kerja untuk Indonesia Bagian Timur. Apes.

Di antara semua kesialannya, Hikmat justru merasa paling menderita karena penumpang di sekitarnya. Dia, sendirian di kelas eksekutif, dikelilingi segerombolan anak muda yang pasang musik metal keras-keras, merokok terus menerus (padahal di kelas eksekutif ada AC-nya), minum bir banyak-banyak, teriak-teriak, pokoknya segala hal yang tidak masuk akal untuk dilakukan di atas gerbong kereta api oleh orang yang sopan-sopan. Hikmat tidak dapat tidur, juga tidak dapat bangun, karena kesadaran atas lingkungan sekitarnya menyebabkan penderitaan di sepanjang perjalanan yang berjam-jam ini.

Jadi di waktu mogok yang mengesalkan ini, Hikmat berjalan-jalan sepanjang bentaran sungai, berusaha mengganti asap di paru-parunya dengan udara pegunungan yang segar. Hatinya masih panas, mukanya muram dan gelap. Ia duduk di atas batu besar, melepas sepatu dan kaus kaki, lalu merendam telapak kakinya di air yang dingin dan jernih. Pandangannya disapukan ke seluruh daerah yang indah itu, lalu berhenti ke seberang kali kecil di sebelahnya. Ada seekor kadar di situ.

Kadal besar, atau binatang serupa kadal yang berwarna abu-abu yang besar, keluar dari kumpulan semak yang lebat, meminum air kali dengan moncongnya yang lancip. Sekejap kemudian, binatang itu berbalik, masuk lagi ke rimbunan semak. Hikmat memandang dan meresapi pemandangan itu. Suatu hal tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Hikmat ingat perkataan Tuhan Yesus, "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup."

Berapa banyak mahluk yang sudah diberi hidup oleh sungai kecil ini? Sawah yang luas, pepohonan, burung pipit, kadal, manusia, semua diberi dengan cuma-cuma. Awalnya adalah karunia Allah, semua tumbuhan, semua hewan, semua manusia, baik berdosa maupun tidak, mendapatkan karunia alam yang berlimpah-limpah. Hikmat mengangkat kepalanya, lalu mulai hanyut oleh kekaguman atas keindahan bentang alam di hadapannya. Allah tidak pernah memilih-milih dalam mengasihi manusia. Secara mendasar, Allah telah memberikan karunia alam yang baik kepada semua mahluk. Manusia yang berdosalah yang mengubahnya menjadi buruk dan tidak teratur -- kebanyakan karena manusia merasa terlalu pandai dan serakah untuk menguasai semuanya.

Hikmat memikirkan orang-orang di dalam gerbong kereta. Anak-anak muda itu, bukankah mereka juga dikasihi oleh Allah? Tapi mereka dibutakan oleh jaman, sehingga tidak meminta kepada Tuhan, dan tidak mendapatkan air hidup itu. Yah, mungkin mereka tidak peduli. Atau tidak mendengar. Tapi mungkin juga tidak ada yang memberitakan. Tiba-tiba ayat hafalan yang lain terlintas di benaknya: Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakannya?

Ya, bagaimana? Bahkan untuk berjam-jam, Hikmat sudah keburu merasa kesan dan sebal melihat anak-anak itu, apalagi untuk berbicara. Apalagi memberitakan karunia Tuhan! Kedengarannya seperti kisah Yunus yang kabur pergi ke Tarsis, dan menolak ke Niniwe. Apa hanya orang yang nampak baik-baik yang boleh mendengar berita dari Tuhan?

Tahu-tahu Hikmat sadar, bahwa ia seringkali memilih-milih. Ketaatannya ada di tempat yang nyaman, tempat yang tingkat keberhasilannya tinggi dan resikonya kecil. Saat di Gereja, Hikmat taat. Di persekutuan, Hikmat taat. Di kantor, kereta api, restoran, hotel, nanti dulu. Berhakkan Hikmat memilih orang macam apa yang pantas diselamatkan?

Ketaatan macam apa yang Hikmat punya? Padahal selama ini Hikmat merasa taat. Ia taat bersaat teduh, taat berdoa, taat beribadah. Tapi orang Farisi dan ahli Taurat jaman dulu juga taat beribadah. Mereka yang taat, menjadi sombong secara rohani, dan menjadi orang-orang celaka! Hikmat menjadi gentar. Apakah Hikmat juga sudah menjadi sombong secara rohani, merasa diri pandai, hebat, dan taat, sehingga justru menjadi sangat tidak taat dan celaka?

Bersamaan dengan naiknya matahari, nurani Hikmat seperti diterangi dan diperbaharui. Ia merasakan berkat besar didapatkannya di atas batu besar yang teduh, ditengah alam yang indah. Hikmat merasa diri kecil, namun bahagia, karena dalam kelemahannya, Allah memakainya sebagai alat-Nya. amarahnya hilang, seperti juga asap di paru-parunya. Masalahnya dalam sisa perjalanan, dalam ruangan rapat, masih menanti, tapi ia mau menghadapinya dengan ketaatan yang bulat kepada Tuhan. Suara burung tekukur yang nyaring kembali tergema dari bukit yang permai di bentaran sungai.

Paskah 1993

Tidak ada komentar: