Bacaan: 1 Korintus 2:6-16
"Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." - 1 Kor 2:7
Gereja di Korintus memiliki banyak karunia pada banyak jemaat yang berada dalam masyarakat yang terdiri dari banyak budaya. Kita dapat membayangkan jemaat Korintus ini terdiri dari berbagai macam dan jenis orang; ada yang punya karunia bernubuat, ada yang bisa membuat mujizat, ada yang cabul, ada yang berpendidikan, ada yang kaya raya, dan lain sebagainya. Kita juga dapat membayangkan bagaimana interaksi antar anggota jemaat, misalnya bagaimana orang yang berpendidikan tinggi dalam filsafat Yunani semacam Stoic atau Epicurean memberikan respon terhadap orang yang melakukan mujizat penyembuhan. Tentu ramai sekali, mungkin penuh kekaguman, tetapi mungkin pula penuh kecurigaan.
Respon yang diberikan seseorang terhadap apa yang dilihatnya, secara umum akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki serta pengalaman yang telah dialami. Orang yang terdidik untuk amat menghargai dan menggunakan rasionya akan cenderung lebih mudah menerima filosofi rasionalisme, ketimbang seorang yang terbiasa menggunakan perasaannya dalam menilai segala sesuatu. Orang yang penuh perasaan ini mungkin akan lebih cocok dengan filosofi romantisisme. Dengan beragam latar belakang pengetahuan ini, orang memberikan respon yang berbeda terhadap segala sesuatu yang diterimanya. Bila misalnya mengalami mujizat, pikiran dan perasaan mereka terus bekerja. Yang rasional segera memikirkan bagaimana hal yang nampak seperti mujizat itu bisa terjadi. Yang romantis segera merasakan pengalaman hidup yang indah ini, Tuhan yang besar dan tak terpikirkan, yang hanya bisa dirasakan kuasa-Nya.
Ada pula orang yang tidak terbiasa berpikir atau berperasaan, mereka menggunakan pengalamannya sebagai acuan dalam memberikan respon. Ketika mengalami mujizat, misalnya, ada orang-orang yang begitu terpesona oleh mujizat dan menjadikan kuasa itu menjadi norma tanpa memikirkan kembali kebenaran dibalik peristiwanya. Membuat mujizat sebagai suatu keharusan, bukan lagi anugerah kasih karunia. Mereka tidak lagi mampu, atau mau, memikirkan makna yang ada di balik sebuah mujizat. Misalnya seperti ini: Pokoknya kalau sakit kepala, doakan saja, pasti sembuh. Apa bedanya makna mujizat itu dengan makna sebutir tablet aspirin?
Pada jemaat Korintus, Paulus memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang. Sudah matang, atau dewasa, atau sempurna, di dalam kelahiran barunya dalam Kristus. Mereka inilah orang-orang yang menggantungkan imannya bukan pada hikmat manusia, melainkan pada kekuatan Allah. Pada kita, berita ini juga diterima oleh mereka yang telah matang, yang bergantung pada kekuatan Allah.
Paulus memberitakan hikmat, bukan pengalaman atau peristiwa. Untuk menerima hikmat dan memperoleh pengertian, seseorang harus menggunakan akal budi dan nalarnya. Untuk bisa bernalar, seseorang harus memiliki pengalaman atau pengetahuan terlebih dahulu, dimana di atas pengalaman atau pengetahuan itu ia membangun nalarnya. Seorang yang berpendidikan, secara umum akan membangun nalarnya di atas pengetahuan yang dimilikinya. Seorang yang sederhana dan tidak suka berpikir panjang, lebih senang membangun nalarnya berdasarkan pengalamannya.
Namun Paulus memberitakan hikmat Allah, kebijaksanaan Allah. Dia tidak berbicara tentang kebijaksanaan yang timbul dari pengalaman dan pengetahuan manusia, bukan dari para cendekiawan atau raja-raja, melainkan dari Allah. Yang tidak dapat dipahami dan dimengerti dengan nalar yang berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan manusia, walaupun manusia telah mengalami pengalaman berjumpa dengan Allah atau mujizat-Nya. Hikmat Allah ini sungguh-sungguh tersembunyi dari manusia, padahal Allah telah memikirkan dan mempersiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sebelum dunia dijadikan, untuk kemuliaan kita.
Tuhan sudah menyediakan hal-hal yang tidak pernah dilihat, didengar, atau dipikirkan manusia bagi kita yang mengasihi Allah. Bagaimana kita bisa memahami dan mengerti? Ya, oleh Roh Kudus. Roh itulah yang menyelidiki isi hati Allah, kebijaksanaan Allah, Roh itu pulalah yang mengajarkan kata-kata pada Paulus dan para rasul, dituliskan dalam surat dan dapat kita baca sekarang. Karena itulah kita dapat meyakini kebenaran akan tulisan Paulus ini sebagai Firman, sebab disampaikan dari Roh Allah yang bekerja pada Paulus. Firman yang utuh, yang tetap merupakan Firman dan tidak bergantung kepada perasaan manusia yang memberikan respon terhadapnya atau pengalaman manusia yang berjumpa dengan Allah dalamnya.
Dapatkah hikmat manusia memahaminya? Tidak. Bagi hikmat manusia, semua itu hanya suatu kebodohan, ketidaksesuaian dengan segala sesuatu yang dapat dipikirkan atau dirasakan secara duniawi. Tidak pernah cocok, sebab hal-hal ini hanya dapat dipahami secara rohani. Tidak bisa oleh anthropologi atau sosiologi atau arkeologi atau filsafat.
Sekarang, dimana Gereja dalam memahami dan menerima hikmat Allah? Apakah para jemaat, seperti sebagian orang di Korintus, menerimanya dengan hikmat dunia, sehingga mereka menertawakan hikmat Allah itu sebagai kebodohan? Atau mereka menerimanya sebagai suatu pengalaman, yang tidak dipikirkan lagi maknanya, sehingga tidak tahu kalau mereka telah disesatkan oleh iblis yang juga bisa memberikan pengalaman ajaib?
Marilah kita menerima kebijaksanaan Allah yang rahasia, yang diungkapkan bagi kita melalui Firman dan Roh Kudus yang ada pada kita. Dan milikilah pikiran Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar