Bimba mengganti namanya. Hikmat Setialayani. Hatinya berbunga-bunga, serasa baru dibasuh air murni, air kembang yang wangi. Hidupnya kini menjadi baru, dengan keyakinan yang teguh, pemikiran yang lebih maju. Bimba sudah tiada, Hikmat telah lahir. Ia bahagia, karena Yesus Tuhannya.
Di kota yang penuh dengan hiruk pikuknya manusia, Hikmat berjuang mengais-ngais kehidupan, bekerja membanting tulang. Tapi setiap hari ia senantiasa memohon agar Tuhan menguatkan dirinya. Ia belajar untuk dekat kepada Tuhan, dan Hikmat dikuatkan. Setiap hari Minggu Hikmat tidak pernah meninggalkan kebaktian, dengan khidmat dan keagungannya. Hikmat belajar, bagaimana Tuhan sayang padanya. Ia tahu sekarang, dirinya berharga bagi Tuhan, sebagaimana Tuhan amat berharga baginya. Sekalipun setiap hari, setiap kali ada saja masalah yang datang, Hikmat telah mampu menerimanya dengan hati yang lapang dan tangan terentang.
Jiwanya berkobar-kobar. Hikmat ingin melayani, lebih daripada sebelumnya. Tak mampu ia tanggung sendiri anugerah yang sedemikian besar, kasih yang meluap-luap dari Tuhan Allahnya. Dan saatnya pun telah tiba, dimana Gereja sibuk merayakan kelahiran Tuhan, Yesus Kristus, Allah yang Maha Kudus.
Hikmat mendatangi pendeta. Ia bertanya, "Adakah tempat untuk saya?" Jawab Pendeta, "Kaulah orang pertama. Tentu saja tempat ada. Maukah kamu menjadi Ketua?" Hikmat mau. Tapi tak urung dia menjadi bingung. Aku adalah orang baru. Baru dibaptis, diangkat menjadi anggota gereja. Tak adakah orang lain yang lebih baik untuk jabatan itu? lalu belakangan ia tahu, ternyata yang lain ada, tetapi tidak mau.
Ternyata mencari anggota panitia tak semudah menjadi Ketua. Dan untuk mengadakan rapat susahnya sama saja. Jadi Hikmat memutuskan untuk berbicara, bertanya, dan mendengarkan saudara saudarinya seiman.
"Hai. Sorry ya, tapi pingin tahu, kenapa sih nggak mau jadi panitia?" "Jadi panitia? Wah, bukannya tidak mau, tapi saya mah teu bisa euy. Soalnya teh, saya benar-benar tidak bisa apa-apa, jadi kalau jadi panitia juga pan malahan mengganggu yang lain. Daripada begitu, biarlah, saya menonton saja." Hikmat tercenung. Hikmat termenung. Apa memang ada orang yang tidak mampu sama sekali untuk melayani Tuhan? Ia bertemu yang lain.
"Panitia? Aah, begini ya Mat. Kita ini orang Kristen, tentu harus melayani Tuhan. Tapi Tuhan kan tidak mengharuskan kita jadi panitia? Apalagi saya, saya kan sibuk? Tanggung jawab saya ada di mana-mana. Saya tidak suka ikut rapat-rapat panitia. Kalau ada apa-apa bisa berabe nanti. Sudahlah ya Mat, kita kan bisa saja melayani langsung. Nanti kalau panitia mulai kerja, kamu bisa panggil saya kapan saja, oke?" Hikmat heran. Orang ini sibuk, tapi bisa dipanggil kapan saja. Dia itu sibuk, atau tidak suka rapat, atau tidak mau memikul tanggung jawab?
"Nggak ah Mat. Saya nggak mau. Habis, panitia yang lain nggak suka sama saya sih. Lagian, temen-temen saya juga nggak pada ikutan jadi panitia. Kita kan masih remaja. Biasanya nanti juga kita dianggap enggak ada. Nggak mau ah, mending juga panitia Natal Remaja!" Kenapa? pikir Hikmat. Ia cerdas, juga cekatan, baik tangan maupun otaknya. Kalau mau, ia dapat banyak sekali membantu. Kenapa kepanitiaan yang sepenuhnya pelayanan pribadi, harus dikaitkan dengan teman-teman? Atau lebih lagi: tergantung siapa yang telah jadi panitia? Atau memang yang muda dan yang tidak dikenal dianggap tidak berharga?
Hikmat menemukan yang lain mempunyai alasan yang itu-itu juga. Memang beberapa ada yang lebih masuk akal: membuat skripsi, mau menikah, dan sebagainya. Tapi sebagian besar begitu saja menolak, dengan alasan yang lalu menjadi amat sering terdengar. Di mana berkat Tuhan bagi mereka? Atau mereka tidak tahu, tidak merasakan dan mensyukuri? Atau mereka tahu, tapi tidak rela membagi? Atau mereka ingin membagi, tapi takut? Hikmat tidak tahu. Hikmat menjadi takut. Mengapa dulu saya mau menjadi Ketua? Mengapa dulu tidak ada yang mau menjadi Ketua? Pasti ada sebabnya! Tapi apa?
Menjelang Natal, pertanyaan Hikmat terjawab. Tanggungannya menjadi berat, diisi oleh rapat2 yang penuh adu debat. Dan ancaman.
"Hikmat, saya tidak mau jij atur seperti itu. Itu kan merugikan saya? Apa kata orang nanti kalau saya melakukan itu? Pokoknya kalau jij taruh saya bekerja dengan dia, saya keluar dari kepanitiaan ini, biar dia kerja sendiri!" Astaga. Si Tante mukanya merah, Tante yang sudah tua, sudah ada di Gereja jauh sebelum ia ada di tengah dunia. Lalu yang tersisa di ruangan itu cuma si ibu tua, mengangkuti gelas dan piring kosong.
Hikmat pun bertanya kepada pak Pendeta, tapi Pendeta bilang, "Aah, Dik Hikmat jangan kuatir. Ini hal yang biasa, ada di mana-mana. Pokoknya kalau jadi ketua, buat semua orang menjadi gembira. Kan itu yang Tuhan minta. Pokoknya kita lakukan yang aman-aman saja." Astaga. Pak Pendeta bicara sedemikian tenangnya. Padahal ia sudah tua pula. Hikmat geleng-geleng kepala. Sudut matanya memperhatikan si ibu tua mengangkati cangkir-cangkir, setenang Pak Pendeta.
Panitia yang lain juga Hikmat tanyai. Lalu Hikmat semakin cemas. Orang-orang yang senior, yang berpengalaman, termakan oleh pengalamannya sendiri. Kadang tidak berani, amat hati-hati. Lain kali mereka bijaksana, terlalu bijaksana, sehingga tidak ada yang berani bilang 'tidak' waktu yang terucap adalah 'ya'. Dan waktu dua orang senior bertentangan, berarti rapat hari itu berakhir tanpa keputusan. Hikmat menjadi kecut. Ia sendiri takut. Tak ada keputusan. Cuma si ibu tua, lagi-lagi mengangkuti gelas dan membereskan meja.
Orang-orang junior, yang baru, biasanya tidak memegang jabatan penting. Mereka bekerja keras, tanpa kata keluhan. Murni pelayanan, tapi tanpa pengalaman. Jada kadang-kadang pekerjaannya kacau, mereka menjadi bingung, Hikmat juga bingung, dan yang senior sedikitpun tidak membantu. Sepertinya Tuhan juga tidak mau membantu. Kenapa? Ini kan semuanya untuk Tuhan? Tempat rapat itu kosong. Kecuali si ibu tua yang masih membereskan meja.
Hikmat bertanya, "Ibu, ibu sudah lama di sini?"
"Lama. Lama sekali."
"Tidak bosan membereskan meja?"
"Tidak. Cuma ini yang ibu bisa, membereskan meja."
"Apa ibu tidak mengerjakan hal lain? Bekerja di tempat lain?"
Ibu tua berhenti bekerja. Tatapannya sejuk pada Hikmat, lalu ia duduk di sisi pak Ketua yang muda.
"Dik, hanya ini yang tersisa. Ibu sudah tua, tidak bertenaga. Ibu hanya bisa berdoa, dan membereskan meja. Tapi meski pelayanan ini sederhana, ibu yakin kalau Tuhan dengan senang akan menerima. Memang tidak sebesar dan sebanyak bapak-bapak atau Adik telah berikan, tapi asal Tuhan senang, ibu senang. Ibu ini dulu orang berdosa, orang tidak bersusila. Tidak sekolah atau berpendidikan. Tidak berharga. Ibu lalu dikenalkan dengan Tuhan, dan ibu tahu ibu sudah diselamatkan. Yaah, memang cuma ini yang ibu tahu. Tapi di dalam sini rasanya bahagia sekali. Ibu ingin melayani. Ibu sayang kepada Tuhan, tidak akan bosan. Sayang, hal lain tidak ibu mengerti. Tapi dulu, waktu ibu muda, seorang istri juga tidak perlu tahu banyak tentang suami. Kalau ia dicinta, maka istri juga mesti mencinta. Ibu mencinta, sayang ibu sudah tidak punya apa-apa. Cuma bisa membereskan meja." Wajahnya menjadi sendu, tapi senyum dari muka yang keriput itu terasa begitu lekat dan menyejukkan. Dengan cinta si ibu tua tidak pernah berhenti tersenyum. Pancaran kasihnya menyejukkan hati Hikmat yang gelisah dan marah.
Mau tidak mau Hikmat ingat cerita tentang Yesus. Dulu Yesus sedang duduk dan memperhatikan kotak persembahan. Orang-orang mengisi kotak itu dengan uang mereka yang bergemerincing. Persembahan itu diberikan untuk dua pihak: Allah yang menerima uang, dan orang itu sendiri, yang menerima kekaguman dan pujian karena amat dermawan. Dan mereka tetap saja kaya, karena sebanyak-banyaknya mereka memberi, jumlahnya masih kecil dibandingkan dengan seluruh kekayaan yang dimiliki. Lalu ada janda tua. Yang miskin. Dan hanya dua keping uang dengan nilai yang rendah, satu-satunya yang dimiliki oleh janda tua itu. Yang diberikan dengan cinta dan penyembahan, sehingga tiba-tiba nilainya menjadi jauh lebih besar daripada segala persembahan yang gemerincing bunyinya. Meski cuma dua keping uang. Meski cuma bisa membereskan meja.
Hikmat serasa ingin memeluk ibu tua itu. Begitu sederhana dan bodohnya ia, sekaligus begitu besarnya ia. Betapa kecil dirinya dibandingkan ibu tua ini. Kalau ia ingat semua amarahnya, Hikmat menjadi malu. Ia sudah mementingkan dirinya, menginginkan dirinya mendapat yang terbaik. Ia adalah ketua, jangan ada yang menganggap rendah padanya. Ia adalah ketua, semua harus tunduk padanya. Ia adalah ketua, ingin lebih dari semua, di atas semua. Betapa kecil dan hinanya, dibanding ibu tua yang pelayan ini.
Di Surga, yang terbesar adalah yang menjadi pelayan. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. Hikmat tahu sekarang, dan bersyukur karena ia kini memperoleh hikmat: ialah ketua dan ialah pelayan. Kini ia tahu. Ia Hikmat. Ia pelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar