Cari Blog Ini

29 Juni 2004

KARUNIA DI BAWAH

Hikmat mengeluh. Hari ini panas sekali, sedang AC di ruang kerjanya masih rusak, menunggu tukang reparasi datang, entah kapan. Dan pekerjaannya banyak. Kertas-kertas brosur berserakan di hadapannya, nota dan buku agenda, dan layar monitor komputer. Oh Tuhan, betapa bermanfaatnya komputer itu! Tapi Hikmat tetap saja harus mengkompilasi lebih dari seribu item jenis barang yang akan dibeli, menjadi berlembar-lembar daftar yang membosankan.

Dua bulan yang lalu, pimpinan perusahaan diganti oleh anak bos lama. Ia muda, cekatan, pandai, serta amat ambisius. Sebulan setelah memangku jabatan, ia berhasil mendapatkan tender untuk pengadaan barang-barang kantor di gedung pusat pemerintah yang baru. Gedung itu berlantai enam, dengan luas hampir tiga ribu meter persegi setiap lantainya. Itu berarti ribuan barang yang harus disediakan, dengan keuntungan bersih lebih dari delapan ratus juta rupiah, setelah dipotong pajak dan lain sebagainya. Lumayan besar. Lihat saja daftarnya.

"Terlalu kecil." kata si Bos. "Masa cuma segini?"

Daftar barang itu dilihatnya kembali dengan teliti. Hikmat menggigil. Selama dua minggu itu ia habiskan waktunya untuk mendapatkan barang-barang termurah dan baik mutunya, setiap malam begadang dan berhitung, nyaris lupa tidur, lupa makan, dan bahkan lupa berdoa, apalagi bersaat teduh, atau membaca Alkitab. Tetap saja Bos tidak puas. Celaka!

Tapi si Bos ini cuma tersenyum simpatik, kemudian membawa berkasnya pergi. Keesokan harinya, si Bos datang lagi ke ruang kerja Hikmat. "Ini," katanya, "kamu tanda tangan di sini." Ia menyodorkan kertas pengesahan daftar yang baru. Di sana sudah ada tanda tangan Bosnya sendiri, jadi meskipun agak ragu, Hikmat mengambil pulpennya, lalu tanda tangan di situ.

Beberapa jam kemudian, Hikmat menyesal. Ia tidak berani bertanya, tidak berani bicara, tapi sungguh, Hikmat kesal dan menyesal. Penyesalan yang datang tepat setelah ia mulai meneliti daftar itu untuk dibuatkan P.O. nya. Seluruh barang yang harus dibeli adalah barang kelas tiga, dengan harga barang kelas satu. Bolpoint butut dihargai bolpoint Parker. Belum lagi meubel, komputer, mesin tik, dan macam yang lainnya lagi, yang berarti keuntungan lebih dari satu setengah milyar rupiah. Gila. Bagaimana kalau pengawas dari pemerintah tahu?

Hikmat baru tahu jawabannya setelah keesokan harinya si Bos datang membawa amplop putih.

"Mat, ini untuk Pak Pengawas. Sekarang dia sedang menunggu kamu, dan kamu harus sampaikan ini langsung kepadanya, mengerti?"
"Ya, Pak."
"Ya sudah, sekarang kamu pergi! Biar POnya diurus sekretaris saya."
"Ya, Pak."

Si Bos tersenyum, setelah bergalak-galak terus sepanjang hari itu.

"Nanti kamu juga dapat bagian."

Hari itu Hikmat merasa sesak sekali. Namanya yang baru tiba-tiba menjadi berat, mungkin seharusnya ia tetap memakai nama Bimba. amplop sudah disampaikan, PO sudah beres, gaji bulan ini dinaikkan tiga kali lipat, dan seharusnya Hikmat senang. Tapi Hikmat merasa sesak. Ia memikirkan semua kejadian yang dialaminya. Ia tak dapat berhenti berpikir, saat ia berjalan, saat ia berkemas, saat ia pulang, mandi, makan, nonton televisi. Ia terus berpikir dan merenung, mengais-ngais sumber kebimbangan hatinya.

Tidak, aku tidak bersalah. Aku mengerjakan semuanya dengan benar. Aku tanda tangan karena disuruh tanda tangan. Aku sampaikan karena disuruh menyampaikan. firman Tuhan sendiri bilang, taatlah kepada tuanmu. Lagipula, memangnya perintah itu bisa ditolak? Menolak perintah Bos yang bisa dengan cepat memecat orang, sama saja minta dipecat. Lalu mau kerja apa? Mau makan apa? Tidak bisa kerjakan pelayanan lagi di Rumah Tuhan. Aku tidak salah. Tidak berdosa!

Tapi Roh-Nya menggeliat, membuatnya merasa gelisah. Ia tidak mau mengakui perasaan salah, karena pikirannya bilang, Hikmat tidak bersalah. Hatinya bilang lain. Hikmat mulai meragukan kebenaran hati nuraninya.

Ah, mungkin aku saja yang terlalu berprasangka. Mungkin cuma emosi. Dipikir sudah benar kok, pasti betul. Perasaan ini aneh ya. Ah, lupakan sajalah. Mending mikirin buat apa duit gajian nanti.

Tapi Roh-Nya mengejar terus, meski Hikmat mengabaikannya. Tahu-tahu ia menyadari, dirinya tidak lagi membaca Alkitab. Tidak lagi ber-PA sendirian sebelum tidur. Bahkan berdoa juga menjadi sulit. Kebaktian Minggu tak lebih dari kumpul-kumpul biasa. Hampa. Kesadaran Hikmat membuatnya menjadi takut, kegoyahan dalam jiwa yang amat meresahkan.

Hikmat sudah belajar banyak, tapi kali ini ia seolah ingin berlari, mencari kebenaran. Ia berbicara dengan orang-orang. Ia mendengarkan setiap pembenaran, tapi makin hari rasa salahnya semakin besar. Semakin menggelisahkan, mengacaukan kehidupan.

Dan apa kata Tuhan? Dimanakah Dia? Dimanakah jawaban-Nya? Apakah Tuhan sudah meninggalkannya? Apakah Tuhan akan mengabaikan umat-Nya?

Sore itu pamannya datang berkunjung kerumahnya. Ia baru saja menjemput anaknya -- sepupu Hikmat -- yang baru masuk SMP. Pamannya ingin meminjam mesin tiknya, barangkali punya pamannya sedang rusak. Hikmat sama sekali tidak keberatan, dan memang perhatiannya tidak tertuju ke situ. Ia tertarik memperhatikan paman dan sepupunya, karena sejak datang si paman masih memarahi anaknya. Penasaran, Hikmat bertanya.

"Kenapa si Badu, Paman?"
"Itu tuh, ulangannya jelek!"
"Wah, itu kan biasa? Tumben Paman marah begitu."
"Paman marah bukan karena nilainya jelek. Apa artinya nilai di awal masuk sekolah? Paman marah karena ia bohong. Anak ini bohong dan sombong."
"Bagaimana, Paman?"
"Semua anak pasti bikin salah. Badu juga bukan anak yang amat pandai, meski tidak bodoh. Kemarin dulu ia sibuk dengan kegiatan pramuka di sekolah. Tentu saja tidak bisa belajar. paman sudah tanya, mau nggak diajar, dia bilang tidak usah, Badu bisa sendiri. Kemarin Badu ulangan, dia tidak bilang apa-apa. Barusan ulangannya dibagi. Kebetulan Paman iseng, lalu bongkar tasnya sambil menunggu dia jajan, ternyata hasil ulangannya jelek sekali. Eh, Badu bilang gurunya yang salah. Tidak beri soal sesuai dengan bahan. Harus Paman marahi, biar ia tahu. Kesalahannya dalam ulangan tidak sebesar kesalahannya karena tidak jujur dan sombong, karena menganggap diri bisa semuanya."
"Ya, Paman. Harus dimarahi."

Ya, harus dimarahi. Apa bedanya Hikmat dengan Badu? Hikmat yang sombong, yang baru belajar menjalani kehidupan dengan semua ilmu dari persekutuan, kelas Alkitab, dan diskusi. Tidakkah Hikmat menjadi sombong, dan berani bilang tahu semuanya? Bukankah Hikmat juga harus dimarahi?

Malam itu Hikmat memandang semuanya dengan lebih seksama. Ia menoleh ke belakang, kepada kehidupannya seminggu ini. Ia berdoa sungguh-sungguh, mohon diterangi hatinya.

Apa artinya kehidupan Kristen? Tentu bukan sekedar kata-kata manis, nasehat dan anjuran. Kehidupan inilah yang harus dijalani, dengan jujur dan berani. Ampuni aku Tuhan, karena tidak jujur dan sombong. Karena merasa tahu semua, membenarkan semua. Sehingga tidak berani menatap kesalahan yang dibuat sendiri, yang sebenarnya disadari dari dulu. Aku tahu sekarang, iman tidak diletakkan pada perbuatan yang baik saja. Iman justru ada pada kesalahan, kesalahan yang diakui di hadapan Tuhan, lalu diampuni oleh Tuhan. Karena selama masih hidup, manusia masih diikat oleh dosa dan melakukan dosa.

Terima kasih, Tuhan, karena Engkau sudah lahir ke dunia. Karena Engkau, maka manusia dapat disucikan dari dosa. Karena Engkau, maka semua karunia bisa dirasakan, dan dibagi. Terima kasih Tuhan, karena Engkau mengampuni hamba-Mu, yang seharusnya memang pantas dimarahi ini. Aku rasakan sekarang, betapa besarnya kasih setia-Mu padaku!

Hikmat merasa bebas. kadang ia merasa bodoh sekali jika memikirkan kehidupannya, tapi itulah berkat Tuhan, mengajarinya hal-hal yang baru dari kebodohan. Kelimpahan dalam hidup justru datang dari kemalangan, jika manusia tetap menggantungkan dirinya kepada Tuhan. Apakah jalan Tuhan itu mulus dan lurus? Apakah Tuhan memanggil umat-Nya untuk hidup dengan mudah? Apakah jalan keluar dari suatu masalah adalah yang terpenting dalam kehidupan?

Kasih setia Tuhan datang dan disyukuri, justru dalam jalan yang sukar. Bukan di saat tegak kita bisa menyanyikan kesetiaan Tuhan dengan sungguh-sungguh, melainkan di saat badai menghempas, saat Tuhan datang dan menggendong kita. Saat yang akan datang, dan harus dihadapi dengan kejujuran dan ketulusan di hadapan Allah. Karunia itu tidak pernah bisa dibagi, jika manusia tidak mau mengakui bahwa ia membutuhkan karunia Tuhan. Jika orang tidak menyadari dosanya, apa yang bisa ia sesali saat bertobat?

Hikmat tahu, kasih Tuhan Yesus-nya abadi, tak pernah berubah. Tuhannya rela dan mau menggendongnya dalam hidup yang berat. Tapi Hikmat takkan pernah digendong Tuhan, jika ia merasa bisa sendirian menempuh hidup dengan baik setelah ia mempelajari seluruh Firman Tuhan, tahu segala hal yang dikhotbahkan Pendeta atau dibicarakan dalam persekutuan.

Malam itu Hikmat terlelap. Senyum bahagia menghiasi wajahnya.

Natal, 1992

Tidak ada komentar: